Hengdian, Zhejiang (ANTARA News) – Sutradara Cina Julius Liu memilih memboyong para pemeran dan krunya ke Bali agar film karyanya yang berjudul “Island Dreamzz” benar-benar memiliki ruh pulau kayangan tersebut.
Dari total produksi film bergenre remaja senilai Rp60 miliar itu, sekitar Rp20 miliar dihabiskan untuk biaya produksi di Bali.
Saat ditemui di salah satu kafe di Shanghai, belum lama ini, Julius tidak ingat perincian dana yang dihabiskannya untuk pembuatan film yang saat ini masih dalam proses pascaproduksi itu.
Namun, jika menyimak “trailer” filmnya uang miliaran rupiah tersebut lebih banyak untuk penyewaan properti, seperti helikopter dan biaya akomodasi pemain dan kru selama di Bali pada tahun 2015.
Bagi seorang seniman, uang sebesar itu tidak seberapa demi sebuah karya seni, meskipun hingga 2 tahun pascaproduksi tidak kunjung terpublikasikan karena masih di tangan lembaga sensor di Cina yang dikenal kelewat ketat.
Demikian pula dengan Jonathan Shen yang telah menyiapkan dana hingga 30 juta dolar AS untuk film terbarunya berjudul Tsunami.
Ia terobsesi ingin memboyong pemain dan kru ke Aceh dan daerah-daerah lain di Indonesia setelah baru saja merampungkan film Kungfu Yoga yang dibintangi Jacky Chen itu.
Jonathan rela malam-malam terbang dari Beijing ke Shanghai untuk menemui beberapa pejabat Badan Ekonomi dan Kreatif (Bekraf) RI guna mendapatkan izin syuting di Indonesia.
Kepada pejabat Bekraf, dia memaparkan sedikit sinopsis tentang film berlatar belakang bencana tsunami yang melanda Aceh di akhir 2004.
“Kami ingin terus membangkitkan semangat warga Aceh dari trauma yang dialaminya pada masa lalu,” kata Jonathan yang pada saat bencana alam menyita perhatian dunia itu terjadi masih bekerja di CCTV, stasiun televisi terbesar milik pemerintah Cina.
Saat peristiwa itu terjadi dia yang menjabat produser mengerahkan hampir seluruh personelnya terjun ke Aceh, menyuguhkan laporan yang paling dinanti masyarakat Cina.
Selanjutnya, dia turut mengumpulkan para artis untuk melakukan penggalangan dana di Cina, Hong Kong, dan Taiwan.
Sejauh ini memang belum pernah ke Aceh. Namun, Jonathanlah yang mengoordinasikan para artis tersebut untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan langsung kepada para korban bencana tsunami di Aceh.
“Saya berharap pada bulan Agustus atau September tahun ini sudah bisa melakukan syuting di Aceh agar tahun depan film Tsunami sudah bisa tayang,” ujarnya.
Selain untuk membantu mengatasi trauma pascabencana, film Tsunami tersebut sebagai bagian dari upaya pemerintah Cina mempererat hubungannya dengan Indonesia dalam kerangka kerja sama internasional Jalur Sutra dan Sabuk Maritim (One Belt, One Road/OBOR).
Saat ini Jonathan masih melakukan tahap persiapan pembuatan film yang diproduksinya bersama produser Kazakhstan.
Kazakhstan merupakan negara yang pertama kali Presiden Cina Xi Jinping menyampaikan gagasannya mengenai One Belt, sedangkan Indonesia menjadi kesempatan pertama bagi Xi untuk berbicara di Gedung DPR RI pada tahun 2013 mengenai konsep One Road.
Tidak mau ketinggalan sutradara muda Wang Yimin juga menyampaikan minatnya untuk memproduksi filmnya berjudul Equatorial Love di Indonesia.
Wang jauh-jauh hari telah menyampaikan permohonan izin untuk bisa “syuting” Palembang, Sumatera Selatan, karena film drama percintaan itu berlatar belakang pekerja pembangkit listrik tenaga uap yang jatuh hati pada gadis Tiongkok.
Selain PLTU, dia telah merencanakan kegiatan pengambilan gambar pada bulan depan di Sungai Musi dan salah satu rumah sakit di Palembang.
“Harapannya, tahun depan film ini sudah bisa kami ikutkan dalam Festival Film Cannes,” kata Wang.
Ketiga film tersebut tidak hanya diproduksi di Indonesia, tetapi juga melibatkan pemeran, kru, dan produser film dari Indonesia.
Apalagi, pada tahun ini ada lima film lain garapan sutradara Cina yang sedang antre mendapatkan izin “syuting” di Indonesia, demikian Red and White, lembaga berpusat di Beijing yang memfasilitasi kepentingan sutradara Cina dengan pemerintah Indonesia, mengenai makin menggeliatnya film berbahasa Mandarin itu.
Dengan demikian, maka sudah barang tentu Indonesia akan mendapatkan tambahan devisa dari sektor lain yang selama ini tidak pernah diperkirakan.
Menyadari bahwa lokasi “syuting” bisa menghasilkan pendapataan, pemerintah Indonesia menetapkan Banyuwangi, Bojonegoro (keduanya di Jawa Timur), Yogyakarta, Bandung, dan Siak (Riau) sebagai daerah yang memiliki potensi.
Yogyakarta sudah merasakan keuntungannya begitu film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) 2 tayang dan “booming” beberapa waktu lalu.
Beberapa tempat, termasuk rumah makan yang pernah menjadi lokasi syuting film drama remaja tersebut ramai dikunjungi wisatawan.
Hal itu mengingatkan Belitung yang sangat fenomenal setelah meledaknya film “Laskar Pelangi” dan “Sang Pemimpi” yang didaptasi dari novel dengan judul yang sama karya Andrea Hirata.
Jumlah wisatawan yang meningkat 400 persen telah menjadi berkah tersendiri bagi masyarakat Belitung seiring dengan makin menipisnya cadangan tambang timah.
Mulai dari persewaan mobil, penginapan, aneka makanan tradisional, hingga budaya masyarakat setempat kini telah menjadi komoditas pariwisata yang tak terhingga.
Meskipun tidak masuk dalam daftar lokasi syuting film potensial Bekraf, Tanjung Kelayang, salah satu pantai di Pulau Belitung, menjadi bagian penting dari 10 destinasi wisata andalan Nusantara.
Untuk menarik minat sutradara, baik dalam maupun luar negeri, bergantung kepada pemerintah dan masyarakat di lima daerah tersebut.
Tidak ada salahnya membandingkan kelima daerah tersebut dengan Hengdian Wold Studios yang dari segi kualitas tidak berbeda jauh dengan Hollywood atau Universal Studios.
“Oh, Anda mau ke Hollywoodnya Cina,” kata Wen Zhang, General Manager Croton, produsen drama serial televisi yang berpusat di Shanghai, kepada Antara sebelum bertolak menuju Hengdian di akhir pekan lalu.
Perjalanan darat ke arah selatan Shanghai yang membutuhkan waktu 4,5 jam sama sekali tidak terasa melelahkan begitu sampai di Hengdian, sebuah kawasan yang dulunya bekas lokasi pabrik tekstil.
Udara yang sangat sejuk pada musim panas terasa bersahabat walaupun tidak mengenakan jaket atau baju pelapis lainnya.
Sejauh mata memandang terdapat bangunan beraneka gaya arsitektur, baik yang dikembangkan oleh pemerintah maupun masyarakat setempat.
Mata pun dibuat terbelalak saat berada di dalam kompleks Hengdian World Studios. Bangunan bergaya Tiongkok kuno yang didominasi ukiran dan pahatan naga sama persis dengan bangunan aslinya di Kota Terlarang, Beijing.
“Asal mau teliti, pahatan batu ini yang membedakan dengan Kota Terlarang. Di Kota Terlarang batu pahatnya utuh, di sini ada sambungannya meskipun tidak kentara,” kata CEO Red and White Gandhi Priambodho yang sudah dua kali mengunjungi Hengdian.
Sayangnya langkah wisatawan tidak bisa bergerak bebas lantaran di lokasi itu banyak kegiatan syuting film.
Beberapa kru memasang rambu-rambu tertentu saat ada proses pengambilan gambar. Bicara pun harus pelan agar tidak mengganggu jalannya syuting.
Namun, wisatawan dan warga setempat sangat mungkin beruntung mendapatkan pengalaman unik bertemu bintang film pujaan hatinya.
Bahkan, tidak sedikit di antara warga setempat dan wisatawan yang mendapatkan pengalaman berharga karena secara kebetulan dilibatkan dalam film tersebut meskipun dalam peran yang sangat minim atau sekelas figuran.
Untuk figuran ini, pengelola Hengdian World Studios telah menetapkan honor 50 RMB (Rp100 ribu) per jam plus makan dan minum gratis yang disediakan oleh produser film.
Besaran honor tersebut sama rata untuk film dalam tema apa pun, termasuk figuran yang harus memerankan prajurit perang, juru rawat, atau pemeran pelengkap lainnya.
Kostum dan aksesori telah disediakan oleh pihak pengelola sesuai dengan permintaan sutradara film. Demikian pula dengan properti, semuanya ada di kawasan yang berjarak sekitar 18 kilometer dari Dongyang, Ibu Kota Provinsi Zhejiang.
“Produser tinggal datang saja ke sini. Semua fasilitas tersedia, termasuk hotel untuk menginap para pemain dan kru,” kata Chen Nan Zheng selaku pengelola Hengdian.
Sutradara dari daratan Tiongkok dan AS pun bersedia menempuh perjalanan jauh ke Hengdian karena selain fasilitas dan penunjang produksi film sangat lengkap, pemanfaatan lokasi syuting pun tidak dikenai biaya sewa alias gratis.
Oleh sebab itu, bukan hal yang sangat mengherankan jika sepanjang 2016 tercatat 271 judul film diproduksi di Hengdian.
Demikian halnya dengan sektor pariwisata. Sepanjang 2016 tercatat sekitar 16 juta orang mengunjungi objek wisata tersebut.
Selain dapat menyaksikan proses pembuatan film, wisatawan dapat menikmati aneka wahana permainan dan beragam pertunjukan seni yang memadukan tarian dan akrobat serta adu ketangkasan pacuan kuda ala dinasti Cina.
Deputi Pemasaran Bekraf Joshua PM Simandjuntak secara terang-terangan mengaku ingin menerapkan model bisnis seperti itu di lima daerah di Indonesia.
Menurut dia, dari segi daya tarik dan potensi, Hengdian tidak jauh berbeda dengan Banyuwangi, Bojonegoro, Siak, Bandung, apalagi Yogyakarta.
“Namun, yang terpenting bagi kita saat ini adalah bagaimana menerapkan konsep fans economic. Pendapatan bukan didapat dari sewa lokasi syuting, tapi faktor penunjang sehingga masyarakat turut merasakan manfaatnya,” ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA 2017