Mulutmu harimaumu. Itulah kata pepatah yang seringkali diulang-ulang oleh guru SD ketika saya sedang belajar di level dasar di sebuah Sekolah Dasar Inpres Teupin Mane, Kecamatan Jeumpa, Aceh Utara (Kini Kecamatan Juli, Bireuen). Kata itu terus diulang-ulang oleh sang Wali Kelas agar kami mawas diri dan selalu mengingat bahwa mulut–apabila disalahgunakan–akan menjadi malapetaka. Konon lagi, kala itu pepatah: Diam Itu Emas, masih cukup masyur seantero negeri. Karena siapapun yang suka bertingkah mulutnya pada siang hari, esoknya –biasanya–telah kaku di pinggir jalan, dengan kepala tertembus peluru.
Lupakan tentang kisah tidak elok di era lampau yang terjadi di Aceh. Minimal, dalam tulisan ini tidak ada pembahasan lanjutan tentang betapa dulu kita tidak memiliki kekebebasan sedikitpun. Karena berbeda cara pandang dengan alat negara dianggap tidak biasa.
Adalah Ahok alias Baskui Tjahaya Purnama, Gubernur DKI yang menggantikan Joko Widodo yang kini menjadi Presiden Republik Indonesia, telah lancang mulutnya pada sebuah pertemuan dengan masyarakat Kepulauan Seribu pada 27 September 2016. Dengan pakaian dinas selaku Gubernur Jakarta, ia berbicara tentang sesuatu yang sangat sensitif.
“Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak-Ibu gak bisa pilih saya. Ya kan dibohongin pake surat Al Maidah 51 macem-macem itu…(hadirin tertawa). Itu hak Bapak-Ibu, ya. Jadi Bapak-Ibu perasaan gak bisa pilih nih karena ‘saya takut masuk neraka’…dibodohin itu…ngga papa. Karena itu panggilan pribadi Bapak-Ibu.”
Ini adalah klimaks bagi Ahok. Ia memang sudah tidak disukai karena gaya bicaranya yang bertentangan dengan norma kesopanan. Di berbagai acara ia kerapkali menggunakan kata-kata tak pantas untuk menunjukkan kekesalannya kepada sesuatu. Bahkan, nyaris tiap kali wawancara atau acara, ia tampil tidak tenang. Selalu marah-marah dan sulit untuk diarahkan untuk bersikap biasa.
Ahok, kala itu menggunakan kata “PAKE” atau memakai. Dia beranggapan bahwa ada sebagian pihak yang telah menggunakan surah Al-Maidah ayat 51 untuk membuat black campaign terhadap dirinya yang non muslim.
Pasca ia menyinggung Al-Maidah, gelombang protes pun muncul. Banyak pihak termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyebutkan bahwa Ahok telah melakukan penistaan terhadap Al-Quran. “Menyatakan bohong terhadap ulama yang menyampaikan ayat Alquran merupakan penghinaan terhadap ulama dan umat Islam hal ini memiliki konsekuensi hukum,” ungkap Ketua Umum MUI Pusat KH Ma’ruf Amin, di gedung MUI, Selasa, (11/10/2016).
gara-gara sikap MUI yang tegas tersebut, gelombang protes meminta agar MUI dibubarkan pun dilakukan oleh kelompok yang pro kepada Ahok. Dua kubu pun saling berperang opini. Kubu yang meminta Ahok diproses hukum pun turun ke jalan-jalan. Yang mendukung Ahok, melakukan provokasi di media sosial. Mereka tidak turun ke jalan.
Namun karena kepolisian seakan “melambat” dalam kasus ini, protes dari elemen Islam pun semakin gencar. Puncaknya adalah rencana aksi akbar 4 November 2017 di Jakarta dalam rangka meminta POLRI menindak Ahok atas kesalahan yang telah ia perbuat.
Menghadapi isu besar tersebut, terjadilah simpang siur informasi, sampai akhirnya ada kabar bahwa lahirnya surat penyataan kondisi Siaga I dari Wadankobrimob POLRI yang ditandatangani pada 28 Oktober 2016. Isinya: pelaksanaan Siaga I terhitung mulai tanggal 28 Oktober 2016 sampai dengan ada pencabutan. (Semoga surat ini hoak)
Juga ada perintah tembak ditempat orang-orang yang dianggap sebagai perusuh pada demo 4 November nanti. Walau Kapolri sudah membantah adanya perintah itu, namun Pengamat kepolisian, Bambang Widodo Umar melihat hal itu serius. Ia mengatakan, perintah tembak di tempat kepada provokator demo 4 November sangat berbahaya. Apalagi jika perintah tersebut ditujukan kepada polisi yang ada di lapangan.
“Sebab, petugas lapangan yang umumnya anak-anak muda polisi berpangkat bripda/bripka wawasan sosial dan psikologis masanya belum luas,” ujar Bambang.
Menurut Bambang, akan sulit memilah antara pendemo dengan perusuh. Karena itu jika petugas dengan cepat mengambil tindakan tembak di tempat situasi akan berubah menjadi chaos. Bambang meminta polri memperbanyak intelijen, reserse dan bimas di lapangan. Petugas di lapangan juga harus tidak melakukan ancaman dengan cara kekerasan.(Republika.co.id, Senin, 31/11/2016)
***
Hidup di negeri ini memang serba tidak menentu. Apalagi menjelang momen pemilihan umum. Banyak pihak yang mengaku nasionalis, meminta kepada umat muslim agar tidak membawa-bawa agama dalam politik. Permintaan ini seakan-akan sangat dewasa. Dengan dalih bahwa Indonesia bukan negara agama. Namun sebagai negara bangsa yang berpatron pada Pancasila.
Pancasila selalu dijadikan tameng untuk memisahkan umat Islam dan agamanya. walau Sila Ketuhanan yang Maha Esa merupakan hal pertama dibahas dalam Pancasila, namun tetap saja mayoritas dianggap rasis, fundamentalis sakit, bila sudah menyebut Islam sebagai fondasi mereka. Lalu tentu kita harus bertanya, bila Islam tidak boleh dibawa dalam negara lantas agama siapa yang boleh dibawa ke sana? Ataukah umat muslim di Indonesia harus atheis semua ketika bicara politik? Haruskah kami (saya dan muslim lainnya) meninggalkan Islam hanya demi politik?
Tentu ini salah kaprah. Islam dalam berbagai hal di negara ini, memang diperlakukan secara tidak adil. Walau hidup dalam jumlah mayoritas, namun kebijakan negara kerapkali menyudutkan muslim. Ketika Islam tidak boleh masuk dalam politik –dikampanyekan oleh ultra nasionalis– tetapi gezah agama lain sangat mendominasi.
Benar bahwa Al-Maidah 51 versi Ahok telah dipergunakan untuk kepentingan pemilu untuk membungkam lelaki kelahiran Bangka Belitung itu. Namun menjadi tidak benar, bila Ahok pun tidak bisa diperiksa dan tidak bisa mendapatkan hukuman atas kelancangan dirinya mempergunakan Al-Maidah untuk membenarkan dirinya. Konon lagi itu diucapkan di depan publik yang beragama Islam.
Saya melihat ada sesuatu yang tidak beres. Ahok begitu sulit disentuh hukum. Padahal apa yang dia lakukan sudah sangat jelas. Ini berbeda sekali dengan upaya pemberantasan mereka yang diduga teroris. Mereka yang dituduh ekstrimis kanan, kerap kali harus mati di pinggir jalan, di dalam mesjid, sedang berjualan bubur. Mereka ditembak mati oleh Densus 88 tanpa proses peradilan.
Pada akhirnya saya pribadi berharap agar pihak kepolisian segera memeriksa Ahok. Presiden Joko Widodo harus segera memeberikan izin pemeriksaan terhadap mantan rekan kerjanya di DKI dulu. Bila kita sepakat untuk menjaga Indonesia, maka mari hormati hukum. Yang salah tetaplah salah. Agar jangan hanya gara-gara Ahok seorang, rusak se Indonesia.
“Wahai orang-orang yang beriman. Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai aulia (mu); mereka satu sama lain saling melindungi. Barang siapa di antara kamu yang menjadikan mereka aulia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS Al Maidah: 51)