in

Ngadiono, gigih kembang biakkan sapi secara komunal

Palembang (ANTARA Sumsel) – Sore itu, belasan pria duduk santai di dekat sebuah kandang sapi sederhana yang hanya berpondasi kayu dan beratap seng, Selasa (18/10/2016). 
Para petani karet asal Desa Sugih Waras, Kecamatan Sukakarya, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan ini berkumpul untuk melakukan aktivitas yang telah sepekan terakhir ditekuni, yakni membudidayakan sapi secara komunal.
Tak lama berselang, seorang pria paruh baya berperawakan kurus bergegas menghampiri mereka. “Ayo, kita mulai bersih-bersihnya, nanti keburu gelap,” kata pria tersebut dengan logat Jawa yang kental.
Pria ini bernama Ngadiono, yang dipercaya menjadi ketua dalam kelompok para petani tersebut yakni Kelompok Lestari Tani. Meski suara yang dikeluarkan cenderung berintonasi rendah, namun perintahnya segera dipatuhi. 
Rekan-rekan Ngadiono yang berusia sekitar 20-50 tahun itu bergegas bangkit dari duduk dan mulai bekerja. Ada yang membersihkan kandang, mengangkut kotoran sapi, menebas rumput, merapikan jalan, dan meratakankan tanah. 
Sebagai pemimpin Ngadiono tidak hanya berpangku tangan. Ia tak kalah cekatan mengayunkan aritnya menebas rumput di sekitar kandang.
Selama kegiatan gotong royong, tak banyak kata yang keluar dari bibir lelaki kelahiran Sugih Waras, 12 Agustus 1970 ini. Dia hanya tersenyum bila anggotanya ada yang bercanda di sela-sela kerja.
“Nah, jika sudah bersih begini, sapinya pasti sehat dan gemuk,” kata Ngadiono setelah kegiatan bersih-bersih kandang sapi usai. Kala itu, matahari kian condong ke barat menyisakan sinar yang redup. Mereka pun bubar pulang ke rumah masing-masing, begitu juga Ngadiono.
Di rumah, saat santai usai shalat Maghrib dan menikmati santap malam, Ngadiono pun menuturkan suka dukanya mengembangkan budidaya sapi bersama warga kampungnya yang tergabung dalam Kelompok Budidaya Sapi Lestari Tani I, Desa Sugih Waras.
Usaha tersebut dimulai tahun 2011 saat ada bantuan hibah dari Jepang berupa hewan sapi untuk menjalankan program tumpang sari plus peningkatan hasil pertanian sekaligus peternakan. Ketika itu kelompok yang dipimpin Ngadiono mendapat bantuan tujuh ekor sapi.
Awalnya, sapi dipelihara dengan sistem komunal dalam satu kandang yang berada sekitar 50 meter dari jalan poros desa. Namun lama-lama warga mengeluhkan bau tidak sedap berasal dari kandang. Walau kandang tersebut dibangun di lahan miliknya, Ngadiono tetap menanggapi keluhan warga. 
Setelah berembug dengan anggota, akhirnya disepakati menutup kandang komunal tersebut dan menyerahkan pemeliharaan sapi kepada anggota sebagai penggaduh. 
“Banyak omongan tidak enak di telinga dari tetangga, daripada tidak enak terus jadi kandang komunal terpaksa ditutup dan hanya termanfaat selama 4,5 bulan,” kata Ngadiono. 
Tanpa sistem komunal, diatur ketentuan bahwa anggota yang mendapat kepercayaan memelihara indukan sapi, harus menjaga ternak itu hingga beranak. Lalu anggota itu harus menyerahkan seekor sapi betina berusia enam bulan ke anggota lain, baru kemudian boleh memiliki sapi induk yang dipeliharanya.
Ngadiono yang menjadi ketua kelompok berharap semangat anggota tidak pernah padam sampai seluruh anggota kelompok mendapatkan bagian untuk memelihara sapi. “Sementara ini baru 11 orang yang tergilir, masih ada 14 orang lagi yang menunggu, termasuk saya, ketua ya belakangan,” kata Ngadiono sambil tersenyum. 
Rupanya, menyerahkan pemeliharaan sapi kepada anggota bukan tanpa persoalan. Walau telah mengawasi, sebagai ketua, Ngadiono pernah kecolongan. Pada tahun ketiga, ada seorang anggota menjual sapi indukan yang dipelihara, dengan alasan sedang terimpit tekanan ekonomi. 
Bukan hanya dihadapkan pada kelakuan anggota yang nakal, pengembangan sapi yang menjadi tujuan program bantuan ini juga relatif lambat. Sejak 2011 hingga 2015, dari tujuh ekor sapi yang dipercayakan kepada kelompokini, hanya bertambah lima ekor.
Kondisi ini membuat Ngadiono gundah karena merasakan tujuan dari pemberian bantuan belum tercapai sepenuhnya. Beruntung, di tengah kegundahan itu, PT Pertamina EP Asset II Field Pendopo yang beroperasi di Kabupaten Musi Rawas memberikan bantuan berupa pendampingan tenaga ahli. 
Perusahaan yang memiliki sejumlah sumur minyak di Kecamatan Sukakarya ini mendatangkan seorang dokter hewan lulusan Institute Pertanian Bogor (IPB) untuk mengajarkan tata cara memelihara sapi untuk mencapai target pengembangbiakan.
Selama ini, penduduk setempat memelihara sapi dengan cara konvensional yakni cukup memberi makan rumput. Padahal dalam pemeliharaan yang baik, sapi harus diberi makanan tambahan seperti silase (campuran rumput dan dedak), konsentrat (campuran ampas tahu dan dedak), serta vitamin. Selain itu, pembiakan sapi bisa dilakukan dengan inseminasi buatan sehingga tak harus menunggu masa birahi ternak.
Walau hanya lulusan SMP namun Ngadiono sangat antusias untuk maju. Dia pun terbuka menerima arahan yang disampaikan oleh Community Development Officer (CDO) PT Pertamina EP Asset II Field Pendopo, Drh Aji Agung Cahyadi yang sejak Maret 2016 mengajarinya cara beternak sapi.
“Selama ini kami berpikir yang penting sapinya beranak, tidak peduli sapinya gemuk atau kurus. Rupanya itu salah,” ujar Ngadiono.
Tak hanya untuk diri sendiri, Ngadiono juga menggerakkan anggotanya agar mau mempelajari dan menerapkan cara beternak sapi yang benar. Salah satu yang mulai diterapkan anggotanya yakni pemberian pakan sapi dengan volume disesuaikan usia sapi. 
Selama ini, sapi-sapi terbilang kurang mendapatkan asupan makanan sehingga bobotnya rendah, hanya berkisar 185 kilogram/ekor. Padahal sapi yang dipelihara kelompok Lestari Tani I merupakan jenis sapi Bali yang lazim dipasarkan dengan berat 200 kilogram/ekor. 
Untuk memperkenalkan teknik baru ini, beberapa pertemuan mulai digelar guna mengajarkan anggota cara membuat makanan tambahan yakni silase dan konsentrat. Setelah itu, anggota kelompok juga dipandu cara membuat pakan tambahan tersebut untuk dibagikan ke anggota yang sedang kebagian memelihara sapi.
Memang, demi menjaga kebersamaan, Ngadiono menggerakkan seluruh anggotanya ikut membantu membuat pakan ternak, termasuk anggota yang belum kebagian memelihara sapi. 
Pada tahap ini Ngadiono benar-benar diuji kesabaran dalam memimpin kelompok. Selain harus mempelajari dan memahami cara membuat pakan ternak yang disampaikan pendamping, ia juga harus bisa menjaga semangat anggotanya untuk menerima cara baru dalam memelihara sapi. 
Ini memang bukan perkara mudah. Buktinya ada saja anggota yang enggan hadir apalagi membantu membuat pakan ternak dengan alasan terlalu merepotkan. Mereka tetap berpendapat, yang terpenting adalah sapi beranak.
Menghadapi anggota yang bertingkah seperti ini, Ngadiono tidak berputus asa. Ia terus melakukan pendekatan dan menjelaskan bahwa sapi yang sehat dan gemuk, harga jualnya juga lebih tinggi. Tak jarang, ayah dari tiga anak ini menjemput anggotanya. 
“Jika tidak mau, saya datangi, bahkan sampai saya jemput supaya mereka mau. Tapi jika belum mau juga, tidak usah dipaksa, mana tahu nanti jadi mau,” kata Ngadiono dengan nada penuh sabar.
Bukan hanya terus berusaha membujuk anggotanya, Ngadiono juga tak pernah lelah memantau perkembangan sapi yang dipelihara rekan-rekannya. Ia selalu antusias mengajak dokter hewan yang diutus pihak Pertamina, untuk memberi suntikan vitamin kepada sapi-sapi dan melakukan program inseminasi buatan.
Namun, Ngadiono tetap merasa ada kelemahan yang harus diwaspadai jika sapi dipelihara anggota. Akhirnya, ia mengutarakan usulan agar sapi-sapi kembali dipelihara dengan sistem komunal. Keberanian mengajukan usul itu muncul setelah berkonsultasi dengan tenaga pendamping yang menjelaskan jika kandang sapi dapat disiasati supaya tidak mengeluarkan bau menyengat.
Tanpa ragu Ngadiono menawarkan lahannya yang berada agak jauh dari pemukiman, untuk dijadikan lokasi kandang sapi. Usul ini ternyata diterima anggota lain. Ngadiono sendiri mengaku terkejut karena ia mengira usulnya tidak bakal diterima.
“Mungkin karena tenaga ahli mengatakan jika dikelola bersama-sama itu akan lebih irit tenaga karena akan dibagi tugas sesuai jadwal piket, mulai dari ngarit dan jaga malam,” kata dia.
Kesepakatan dan dukungan dari anggota membuat semangat Ngadiono kembali menggebu. Mereka bergotong royong membangun kandang sapi baru berdasarkan desain yang dibuatkan tenaga ahli.
Kini, kandang berukuran 13×3 meter persegi telah siap walau belum sempurna. Lantai kandang diatur dengan kemiringan tertentu sehingga kotoran dan air seni sapi dapat mengalir ke saluran untuk kemudian ditampung dalam drum guna dijadikan bahan baku pupuk. 
Meski kandang ini masih sangat sederhana, tapi terbilang layak untuk menjadi kandang komunal yang sehat. Dari 11 sapi yang dipelihara kelompok ini, lima ekor telah menempati kandang baru.
Begitu semangatnya Ngadiono menerapkan budidaya sapi secara komunal. Hingga dia tak sayang mengeluarkan uang lebih banyak dibanding anggota. Dari dana sekitar Rp5 juta yang telah habis untuk membangun kandang, sebagian besar berasal dari kantong pribadi Ngadiono. 
“Sementara begini dulu, mana tahu nanti anggota terbuka lagi pemikirannya sehingga ada keinginan untuk memperbesar kandang, yang penting yang ada ini disyukuri dulu,” kata Ngadiono.
Semangat Ngadiono memotivasi kelompoknya bukan tanpa alasan. Semangat itu terbit setelah dia dikirim Pertamina ke Bogor selama lima hari untuk mengikuti pelatihan singkat di IPB pada Maret 2016. Di sana, dia melihat langsung peternakan sapi modern.
Ia optimitis jika peternakan sapi komunal ini dikelola dengan serius akan mampu meningkatkan kesejahteraan anggota, bukan hanya memiliki sapi tapi juga memiliki sejumlah produk turunan, seperti biogas untuk memasak dan pupuk untuk perkebunan sayur dan buah.
Khusus untuk usaha kebun sayur dan buah, di Desa Sugih Waras sudah terbentuk Kelompok Wanita Tani yang memanfaatkan kotoran sapi untuk pupuk di kebun yang berada di halaman rumah masing-masing. “Namun, semua itu harus dimulai dari langkah yang kecil,” kata pria yang cenderung pendiam ini. 
Field Manager Pendopo PT Pertamina EP Asset II Heri Aminanto mengatakan, semangat Ngadiono dan anggotanya membuat perusahaannya berminat membantu dengan mengirim tenaga ahli untuk memberi bimbingan dalam hal beternak sapi. 
“Anggota kelompok ini aktif bertanya seputar pemberdayaan. Ini menunjukkan mereka memiliki keinginan kuat untuk meningkatkan perekonomian, karena itu kami ingin merealisasikan program CSR pada kelompok ini,” kata Heri.
Dengan mengirim seorang tenaga ahli sebagai pendamping, Pertamina berharap anggota kelompok Lestari Tani I bisa leluasa belajar tentang cara budidaya sapi. Baik mengenai cara beternaknya maupun cara mengelola administrasi dan memanajemen peternakan. 
Bila sapi-sapi sudah diternakkan dengan cara yang baik dan benar, tentu usaha ini dapat memberi keuntungan guna meningkatkan taraf kehidupan seluruh anggota. “Bila kelompok ini sudah bisa melakukan kegiatan secara mandiri, akan dilakukan exit program dan akan dikembangkan ke kelompok yang lain sehingga visi CSR perusahaan maju bersama masyarakat dapat terwujud,” jelas Heri. 
Ulet dan Amanah
Tinggal di kampung membuat Ngadiono tampil sederhana. Bahkan berbicara pun seadanya. Tapi siapa sangka, lelaki yang mengenyam pendidikan hanya sampai bangku SMP ini, punya pemikiran untuk terus maju dan berkembang.
Di balik sikapnya yang tenang dan low profile, ternyata Ngadiono cukup bisa diandalkan. Terbukti ia sering mendapat kepercayaan warga. Selain menjadi ketua dalam kelompok tani, suami dari Sukarti ini pernah mengemban amanah sebagai bendahara Komite SD Negeri 2 Sugih Waras. Tak tanggung-tanggung, amanah itu dipercayakan kepadanya hingga 11 tahun. 
“Saya akhirnya yang mengajukan pengunduran diri, jika tidak dipaksa begitu maka tidak akan ada yang mau maju. Maksud saya, ada kader,” ujar Ngadiono.
Wajar bila banyak yang enggan menjadi bendahara komite sekolah. Jabatan strategis ini ternyata sering diusik oknum tak bertanggung jawab yang berusaha mencari keuntungan. Hal ini pun dialami Ngadiono. 
Suatu waktu, ia pernah didatangi dua oknum anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berusaha mencari-cari kesalahan komite untuk kemudian minta uang damai.
Usikan ini tak membuat Ngadiono gentar. Sebaliknya, dia menantang kedua oknum tersebut agar jangan datang berdua saja supaya cukup orang untuk memeriksa ke lapangan dan membuktikan apakah ada pelanggaran atau semua sudah sesuai dengan pengeluaran dana yang ada di catatan. 
Tanggung jawab menjalankan amanah juga ditunjukkan Ngadiono kala dipercaya memimpin kelompoknya. Kartiwa, tenaga penyuluh dari Unit Pelaksana Teknis Balai Penyuluhan Yudha Karya, Kecamatan Sukakarya, Musi Rawas, menilai, jiwa kepemimpinan itulah yang membedakan Ngadiono dengan warga lain di kampungnya.
Kartiwa menilai, Ngadiono mampu mengajak orang lain untuk mengikutinya dengan cara persuasif tanpa melalui kekerasan. Selain itu, Ngadiono juga sosok yang ulet dan mau belajar. “Saya pernah mengajak dia belajar budidaya lele, meski dia tidak pelihara lele tapi tetap mau ikut,” kata Kartiwa.
Selain supel dalam bergaul, lulusan SMP Negeri Bangun Rejo ini dikenal sebagai sosok yang tekun dan rajin di mata anak dan istrinya. Aktivitas kesehariannya terbilang padat. Selepas Subuh Ngadiono sudah berada di kebun karet seluas satu hektare peninggalan orangtuanya untuk menyadap getah. Saat matahari mulai meninggi, ia sudah berada di ladang melakukan sejumlah aktivitas berkebun.
Sebenarnya, bisa saja  Ngadiono bersantai setelah menyadap, seperti yang dilakukan warga kampung. Namun, pesan orangtua agar tidak pernah meninggalkan bercocok tanam, demikian membekas di benaknya. Alhasil, Ngadiono selalu memanfaatkan lahannya untuk menanam berbagai macam tanaman seperti kedelai, jagung, sayur, dan buah-buahan.
Setiap siang, di tengah kesibukannya Ngadiono menyempatkan diri pulang untuk bersantap makan siang bersama istri dan anak-anak. Setelah itu ia akan disibukkan mengurus kambingnya hingga petang. “Begitulah bapak, tidak pernah diam, kerja terus dari pagi hingga petang,” kata Sukarti.
Selain rajin bekerja, Ngadiono juga dipandang sebagai sosok ayah yang hangat dan suami penyayang. Anak keduanya, Unun Arfa Firdani (15), mengaku kerap curhat ke ayahnya.“Saya ketemu bapak itu sering, siang dia pulang, malam sudah dirumah. Jadi banyak waktu untuk cerita, dan bapak juga mau mendengarkan,” kata Unun.
Kehidupan keluarga yang harmonis ini menjadi sandaran Ngadiono untuk terus berusaha. Saat harga karet anjlok pada tahun 2012, dia semakin rajin menggarap ladangnya. Walau musim kemarau sering membuat gagal panen, seperti terjadi tahun lalu, toh Ngadiono tak patah semangat. 
“Tahun ini saya juga coba lagi, dan semoga saja berhasil setidaknya buat makan,” kata putra kedua dari tiga bersaudara ini. 
Ia berharap, pendapatan lain dari menanam padi dapat menambah pemasukan keluarga karena harga karet sungguh diluar harapannya yakni dari Rp13.000 per kilogram anjlok menjadi Rp6.000 per kilogram sejak tiga tahun terakhir.
Pendapatan Ngadiono pun menurun drastis dari sebulan sekitar Rp6 juta menjadi hanya sekitar Rp2,5 juta. Sementara di  sisi lain, ia masih membutuhkan uang untuk menghidupi tiga anaknya yang masih bersekolah yakni Nuzrul Redianto yang kuliah semester akhir di STIE Lubuklinggau, lalu Unun Arfa Firdani dan Nana Kurnianto masih di bangku SMP.
Akan tetapi, semua ada hikmahnya bagi Ngadiono. Dia melihat sisi positif dari penurunan harga karet ini. Kini warga kampungnya tidak lagi membiarkan lahan mereka tak termanfaatkan. Setidaknya, sudah ada yang ikut menanam padi seperti yang dilakukannya.
Pjs Kepala Desa Sugih Waras Urip Santoso mengakui bahwa kehidupan masyarakat Sugih Waras menurun sejak tiga tahun terakhir. Warga kampung kini hidup sederhana. Jika sebelumnya, di jalan poros kampung ramai lalu lalang sepeda motor, kini terasa lengang.
“Itulah sayangnya, terkadang saat punya uang justru beli motor, bukan beli ladang. Kini jadi susah sendiri, terpaksa sewa, beruntung bagi mereka yang sudah berpikir ke depan, seperti Ngadiono,” kata Urip.
Perkebunan karet memang menjadi tumpuan hidup warga Desa Sugih Waras, atau sebagian besar warga Kabupaten Musi Rawas, selain pertanian padi. Lokasi desa yang berada di dataran tinggi menjadi alasan warga untuk lebih fokus pada tanaman karet, karena padi hanya bisa ditanam di sawah tadah hujan. 
Kedua orangtua Ngadiono yakni pasangan Markim dan Barinem pun awalnya bersawah. Kemudian pada 1982, pemerintah mengenalkan program karet rakyat ke warga transmigran dengan memberikan lahan dan bibit secara cuma-cuma. Sejak saat itu, penduduk Sugih Waras bertumpu pada perkebunan karet dan menjadikan sawah serta ternak sapi sebagai sampingan.
Puluhan tahun bertumpu pada karet yang menjadi komoditas unggulan membuat penduduk desa ini terlena. Pendapatan belasan juta per bulan telah membuat mereka malas mengolah sawah dan ternak.
Desa paling ujung Kecamatan Sukakarya ini, atau tepatnya bersebelahan dengan Desa Bangun Rejo di sebelah Utara dan Desa Muara Kati di bagian Selatan, kini diterpa badai paceklik yang belum tahu kapan akan berakhir. 
Desa yang memiliki luas 1.312 meter persegi dengan jumlah penduduk 2.100 jiwa atau 600 kepala keluarga dan sudah dialiri listrik ini, mau tidak mau harus berusaha keras jika ingin keluar dari impitan ekonomi akibat penurunan harga karet.
Meski sejauh ini sebagian besar dari mereka masih terpuruk lantaran tetap melihat perkebunan karet sebagai tumpuan utama, tapi sudah muncul orang-orang yang optimitis bisa menjadikan sawah dan ternak sebagai sumber penghidupan baru. Salah satunya ya Ngadiono. 

Editor: Indra Gultom

COPYRIGHT © ANTARA 2016

What do you think?

Written by virgo

Gara-Gara Ahok Setitik, Rusak se Indonesia

Menpar Arief Yahya Berpantun di Festival Bahari Kepri 2016