in

Gubernur Jateng Mengaku Ditawari Uang

Ketika Bersaksi di Sidang Megakorupsi E-KTP

Ada fakta menarik yang terungkap dalam sidang lanjutan e-KTP di Pengadilan Tipikor, Jakarta, kemarin (30/3). Ternyata, dugaan “bagi-bagi” uang seperti yang berkembang selama ini, mendekati kebenaran.

Mantan Wakil Ketua Komisi II DPR Ganjar Pranowo mengungkapkan itu ketika memberi kesaksian dengan terdakwa Irman dan Sugiharto. Pria yang kini menjadi Gubernur Jawa Tengah itu mengaku sempat ditawari uang saat pembahasan program e-KTP. Pihak yang menawarkan uang itu sesama koleganya sesama anggota DPR.

“Saya tidak terima, tapi memang ada (tawaran uang, red),” ujar di depan majelis hakim yang dipimpin John Halasan Butarbutar. Tak hanya sekali, kader PDIP itu mengaku beberapa kali ditawari uang oleh koleganya itu. Namun, Ganjar menolak tawaran politikus Golkar tersebut. 

“Itu ditawari sekali dua kali atau kalau saya tidak lupa. Dan ini saya bilang enggak usah,” katanya. Ganjar menambahkan, dia juga pernah dititipi bingkisan oleh orang yang tidak dikenalnya. Mulanya Ganjar menduga bingkisan itu berisi buku. 

Namun, kata Ganjar, bentuknya aneh seperti bukan sebuah buku. Karenanya, dia mengembalikannya. Bingkisan itu ditawarkan pada saat Ganjar berbincang-bincang dengan teman-teman dan juga seorang stafnya di DPR. “Itu sikap awal, tidak mau sentuh itu,” ujar dia.  

Dalam kesaksiannya, Ganjar menganggap surat dakwaan korupsi e-KTP lucu. Pasalnya, Ganjar yang merasa tak pernah menerima uang terkait e-KTP justru dalam surat dakwaan disebut kecipratan uang dari orang yang sudah meninggal dunia.

“Maaf, majelis hakim. Saya tidak pernah menerima uang tersebut. Menurut saya dakwaan ini lucu,” katanya di depan majelis hakim. Dalam surat dakwaan, Ganjar disebut menerima USD 250 ribu di ruang kerja anggota Komisi II DPR periode 2009-2014 mendiang Mustokoweni pada November 2010.

Ganjar menuturkan, Mustokoweni pada November 2010 sudah meninggal. Namun, justru dalam surat dakwaan Ganjar disebut menerima duit dari politikus Golkar yang sudah almarhumah itu. “Saya berdasarkan keterangan saya, saya tidak pernah menerima uang,” ujar Ganjar.

Mantan Menteri Keuangan Agus Martowardojo yang juga dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan perkara korupsi e-KTP itu, dicecar majelis hakim soal perubahan peraturan soal kontrak tahun jamak atau multi-year untuk memuluskan proyek senilai Rp 5,9 triliun itu.

Sebelumnya, Agus sebagai menkeu menolak skema pembiayaan tahun jamak untuk proyek e-KTP. Alasannya, berdasar surat permohonan dari Gamawan Fauzi selaku menteri dalam negeri pada 2010, proyek e-KTP belum memenuhi persyaratan menggunakan anggaran tahun jamak.

“Apakah perubahan ini ada kaitannya dengan proyek e-KTP?” ujar Ketua Majelis Hakim John Halasan Butarbutar saat memimpin sidang e-KTP, Kamis (30/3). Namun, Agus membantahnya. Dia menjelaskan, pada 26 Oktober 2010 ada persyaratan yang harus dipenuhi Kemendagri.

“Waktu itu, Kemendagri ajukan anggaran multi-years dan dibahas, tapi kami tolak,” katanya. Selanjutnya, kata Agus, Kemendagri memperbaiki permohonan dan mengajukannya lagi ke Kemenkeu. “Baru dikabulkan permohonannya,” ungkap Agus.

Sebagaimana tertulis dalam surat dakwaan atas Irman dan Sugiharto, Kemendagri memperoleh persetujuan anggaran e-KTP secara multi-year pada 17 Februari 2011 yang ditandatangani Dirjen Anggaran Kemenkeu Herry Purnomo. Persetujuan itu mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 56 tahun 2010.

Hakim John kembali menelisik kebijakan Agus yang kemudian merevisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 56 Tahun 2010 menjadi PMK Nomor 194 Tahun 2011. Kebijakan itu memungkinkan pengajuan anggaran tahun jamak bisa langsung ke Dirjen Anggaran. 

“Ini tapi perubahannya bersamaan dengan proyek e-KTP. Apa ada kaitannya dengan proyek e-KTP?” tanya John lagi. Agus kembali membantahnya. Dia menyebut perubahan PMK karena saat itu banyak kementerian yang sedang mengerjakan infrastruktur tapi tidak bisa menggunakan skema anggaran tahun jamak.

Novel: Miryam Sering Bicara soal Uang

Di sisi lain, penyidik KPK Novel Baswedan memberi penjelasan terkait keterlibatan mantan anggota Komisi II DPR Miryam S Haryani dalam sebuah operasi tangkap tangan (OTT) 2010.

Di depan majelis hakim Pengadilan Tipikor, Novel menceritakan bahwa dia memiliki bukti pembicaraan Miryam soal uang. Bukti itu merujuk pada transkip sadapan yang dimiliki KPK pada proses OTT 20l0-2011. Namun, Novel tidak menjelaskan OTT tersebut terkait kasus apa.

“Saya tunjukkan adanya transkrip, yang bersangkutan pernah terlibat dalam proses OTT 2010-2011. Pembicaraan penyadapan itu soal uang,” ujar Novel, Kamis (30/3).

Ditambahkannya, pada transkip penyidikan itu belum sampai pada penangkapan. Karena hal itu masih dilakukan pengembangan. Akan tetapi, tegas mantan perwira menengah (Pamen) Polri, Miryam sering membicarakan mengenai uang.

“Penyidik berkeyakinan yang bersangkutan terbiasa melakukan itu, bicara soal uang dan terima uang terkait tugasnya sebagai anggota DPR,” katanya. 

Sebelumnya, Miryam S Haryani bersikukuh bahwa penyidik KPK melakukan penekanan terhadap dirinya. Penekanan itu, ulasnya, terjadi saat awal pemeriksaan pada tanggal 1 Desember 2016 lalu. Dalam pemeriksaan itu Novel menyebut, seharusnya Miryam akan ditangkap pada tahun 2010.

“Itu sebelum ditanya (lakukan pemeriksaan) Novel langsung ngomong begitu. Saya langsung pusing dan drop,” ujar Miryam di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (30/3).

Seperti diketahui, sebelumnya Miryam dalam berita acara pemeriksaan (BAP)-nya mengakui, mendapatkan perintah dari Chairuman Harahap yang kala itu menjabat Ketua Komisi II DPR untuk mengambil uang dari Sugiharto, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek e-KTP. Lantas, Miryam pun yang membagi-bagikan uang ke pimpinan Komisi II DPR.

Dalam BAP, Miryam menjelaskan secara rinci kronologi penerimaan uang dalam proyek e-KTP. Bahkan, politikus Partai Hanura itu menyebut nama-nama anggota DPR lain yang ikut menerima suap. Namun pada saat bersaksi di Pengadilan Tipikor beberapa waktu lalu, perempuan kelahiran Indramayu, Jawa Barat tiba-tiba mencabut BAP.

Menurutnya, selama menjalani pemeriksaan dirinya diancam oleh tiga penyidik KPK. Salah satunya Novel Baswedan. Sehingga, dia mengaku tertekan dan asal memberikan keterangan.

Miryam menyebut penyidik KPK menakut-nakutinya dengan mengatakan mereka telah memeriksa dua anggota Fraksi dari Partai Golkar, Aziz Syamsuddin dan Bambang Soesatyo dalam kasus e-KTP. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Harga Kopi di Kafe Termasuk Pajak dan Biaya Layanan

Ke Yogyakarta, Bertemu Perupa-perupa Ternama Indonesia -2/Habis