Mahkamah Agung memerintahkan PT Aetra Air Jakarta, PT PAM Lyonnnase Jaya (Palyja), dan Pemprov DKI Jakarta untuk menyetop swastanisasi air.
JAKARTA — Gubernur DKI Jakarta terpilih, Anies Baswedan, akan mematuhi putusan Mahkamah Agung (MA) untuk menghentikan swastanisasi pengelolaan air bersih di Jakarta. “Semua yang menjadi keputusan pengadilan, yang memiliki kekuatan hukum akan kita jalankan,” kata Anies seusai menerima laporan hasil kerja tim sinkronisasi di Jakarta, Jumat (13/10).
Anies akan dilantik menjadi gubernur pada Senin (16/10) mendatang. Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat, mengatakan belum mendapatkan salinan putusan MA yang baru dipublikasi Selasa (10/10). “Saya belum tahu. Suratnya dari MA belum saya terima, saya belum bisa pelajari. Biro hukum juga masih lihat, seperti apa.
Saya harus pelajari dulu seperti apa karena itu sudah berjalan dengan pihak dan Aetra sejak berapa tahun yang lalu. Makanya saya belum mengerti,” katanya. Seperti diketahui, MA memerintahkan PT Aetra Air Jakarta, PT PAM Lyonnnase Jaya (Palyja), dan Pemprov DKI Jakarta untuk menyetop swastanisasi air.
MA juga meminta agar mengembalikan pengelolaan air minum di Provinsi DKI Jakarta sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13 Tahun 1992 dan peraturan perundang-undangan lainnya. “Melaksanakan pengelolaan air minum di Provinsi DKI Jakarta sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai hak asasi manusia atas air sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 dan 12 Konvenan Hak Asasi Ekonomi, Sosial dan Budaya sebagaimana telah diratifikasi UU Nomor 11 Tahun 2015 junto Komentar Umum Nomor 15 Tahun 2012 hak atas air komite PBB untuk hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya,” demikian putusan MA.
Gugatan privatisasi air di DKI Jakarta dilayangkan warga yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ). KMMSAJ yang terdiri atas LBH Jakarta, ICW, KIARA, KRUHA, Solidaritas Perempuan, Koalisi Anti Utang, Walhi Jakarta, dan beberapa LSM lain mengajukan gugatan terhadap Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, Menteri Keuangan, Menteri Pekerjaan Umum, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta, dan PT Perusahaan Air Minum Jaya serta PT PAM Lyonnaise Jaya dan PT Aetra Air Jakarta sebagai pihak turut tergugat.
Pelanggaran Perjanjian Kuasa hukum pemohon dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Alghifari Aqsa, mengatakan terdapat sejumlah pelanggaran yang dilakukan PT PAM Lyonnaise Jaya dan PT Aetra Air Jakarta. Salah satunya pelanggaran perjanjian kerja sama dengan Pemprov DKI, dalam hal ini PAM Jaya. “Ada tindakan KKN dengan penerbitan surat dari Presiden Soeharto yang saat itu memerintahkan agar pengelolaan air beralih ke swasta,” ujar Alghifari.
Selain itu, Alghifari juga menyoroti penyimpangan aset dari Aetra dan Palyja hingga menimbulkan kerugian keuangan negara. Dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2015 setidaknya muncul kerugian negara hingga 1,4 triliun rupiah dari perjanjian kerja sama tersebut.
“Swastanisasi air ini juga menimbulkan terjadinya pelanggaran hak atas air. Warga Jakarta tidak dapat mengakses air bersih,” katanya. Bahkan menurutnya, kebijakan swastanisasi air ini merugikan warga dari sisi finansial karena tarif yang cukup mahal, yakni mencapai 7.000 rupiah per meter kubik tidak dibarengi dengan kualitas air bersih.
Ia membandingkan dengan harga air di daerah lain yang tak lebih dari 5.000 rupiah per meter kubik. “Ini privatisasi yang sangat buruk. Nanti orang yang tidak mampu bayar langsung di-cut, padahal kualitas airnya memang buruk,” ucapnya.
pin/AR-2