Sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam kasus pengaduan kubu Setya Novanto (Setnov) terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) cukup melegakan. Presiden memang tidak menyebut secara lugas agar polisi mengkaji ulang penyidikan kasus pemalsuan surat dengan terlapor Ketua KPK Agus Rahardjo dan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang. Seperti biasa, presiden selalu memberikan pernyataan normatif dalam kasus hukum. Ia minta jajaran kepolisian menghentikan berbagai tindakan hukum yang tidak disertai bukti dan fakta.
Pernyataan presiden mengulangi lagi berbagai pernyataannya seputar kriminalisasi pimpinan KPK. Jokowi pernah mengatakan akan berada di belakang KPK. Dia juga mengingatkan, jangan ada pelemahan terhadap KPK. Pernyataan lain, presiden menegaskan bahwa KPK tetap dperlukan karena menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi di tanah air. Pendek kata, pemihakan presiden sudah jelas kepada KPK.
Namun, yang ironis, kejelasan sikap presiden itu tidak mempan. Para pihak pembenci KPK justru makin gila. Tensi serangan terhadap pimpinan KPK makin naik. Di Senayan, anggota DPR tetap mengobok-obok KPK dengan membeber kebobrokan kinerja dan dugaan penyalahgunaan wewenang pimpinan KPK. Bahkan, kubu tersangka korupsi Setya Novanto memolisikan dua pimpinan KPK. Masalahnya lagi, polisi menindaklanjuti pengaduan Setnov dengan menerbitkan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP).
Polisi memang wajib menerima seluruh pengaduan warga negara. Tak terkecuali dari kubu Setya Novanto. Namun, polisi juga berkewajiban mengesampingkan pengaduan atas kasus turunan dalam perkara korupsi. Artinya, proses hukum kasus korupsinya harus tuntas terlebih dahulu. Selanjutnya, jika kasus pokoknya tidak terbukti, baru polisi bisa menindaklanjuti pengaduan tersebut. Itu sudah diatur dalam MoU kesepakatan antar penegak hukum.
Tak berlebihan bila publik bertanya-tanya mengapa presiden harus berkali-kali menegaskan sikap dalam kasus serangan kepada KPK. Terkesan ada semacam pengabaian instruksi lisan presiden tersebut. Aparat penegak hukum seolah-olah berjalan tanpa komando pimpinan. Kapolri bilang, penyidik harus berhati-hati dalam menangani kasus yang berkaitan dengan pimpinan KPK. Namun, di level pelaksana, penyidik begitu seenaknya melakukan tindakan hukum. Ada komunikasi yang terputus antara presiden atau Kapolri dan penyidik. Atau, jangan-jangan aparat bermain di dua kaki dalam kasus Setnov dan KPK. Entahlah.
Yang pasti, penegak hukum harus satu komando. Hierarki kebijakan penegakan hukum harus tergambar di tingkat pelaksana. Andai saja presiden atau Kapolri bilang hentikan proses hukum, tentu penegak hukum harus mengikutinya. (*)
LOGIN untuk mengomentari.