Integritas KPK sebagai garda terakhir pemberantasan korupsi bakal dipertaruhkan dalam menangani kasus korupsi e-KTP. Sebab, lembaga antirasuah itu disebut sudah menyebut aliran dana haram megaproyek itu dalam dakwaan Irman dan Sugiharto.
Kini, tinggal apakah KPK berani memproses para penerima rasuah itu sebagai tersangka. Irman dan Sugiharto merupakan mantan pejabat di Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil.
Dakwaan keduanya sudah bocor ke publik sejak kemarin. Dalam dakwaan mereka, KPK menyebut sejumlah nama pejabat tinggi negeri ini ikut menikmati aliran dana. Dalam dokumen tersebut, Ketua DPR saat ini Setya Novanto disebut sebagai pihak yang bersama-sama melakukan atau turut serta melawan hukum.
Tak hanya Setnov, sejumlah nama yang kini memegang jabatan strategis di negeri ini juga ikut disebut sebagai pihak yang diperkaya dari proyek e-KTP. Antara lain Olly Dondokambey (Gubernur Sulawesi Utara), Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah), dan Yasonna H Laoly (Menteri Hukum dan HAM).
Praktik rasuah dalam megaproyek ini bermula dari proses penganggaran di DPR. Awalnya, Menteri Dalam Negeri saat itu Gamawan Fauzi mengirimkan surat pada Menteri Keuangan dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) terkait usulan pembiayaan proyek e-KTP. Pembiayaan diubah dari dana pinjaman hibah luar negeri (PHLN) ke anggaran rupiah murni.
Dari situ terjadinya pembahasan di Komisi II DPR dan terjadilah permintaan uang. Ketua Komisi II saat itu Burhanudin Napitupulu disebut meminta uang pada Gamawan.
Gamawan awalnya tidak bisa memenuhi permintaan itu. Mulailah dicari sebuah solusi. Pemberian uang untuk DPR dicarikan dari rekanan yang biasa mendapatkan proyek di Kemendagri.
Sejumlah pembahasan informal dilakukan pejabat di Kemendagri, DPR dan rekanan. Akhirnya terjadilah kesepakatan. DPR menyetujui anggaran e-KTP sebesar Rp 5,9 triliun secara multiyears.
Namun uang sebanyak itu tidak seluruhnya untuk keperluan proyek. Hampir setengahnya disebut dibagi-bagikan. Apa yang ada dalam dakwaan itu sebenarnya persis “nyanyian” M Nazaruddin (terpidana kasus korupsi Wisma Atlet yang juga terlibat perkara e-KTP) selama ini.
Selama ini Nazar, panggilan Nazaruddin sering menyebut aliran uang e-KTP ke sejumlah pejabat. Termasuk, Setya Novanto, Anas Urbaningrum (mantan Ketua Umum Partai Demokrat yang sudah menjadi terpidana kasus korupsi Hambalang) dan Ganjar Pranowo. Uang dari proyek e-KTP yang dibagi-bagikan nilainya bervariasi. Disebut antara USD 5 ribu–USD 500 ribu.
Dikonfirmasi terkait beredarnya dokumen-dokumen dakwaan tersebut, KPK masih menutup diri.
“Kami belum tahu draf yang beredar benar atau tidak. Yang pasti proses di KPK pasca pelimpahan ke PN (pengadilan) sudah kami serahkan. Ada dakwaan dan berkas perkara untuk dua orang tersangka yang akan menjadi terdakwa,” ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah, kemarin. KPK juga tidak bisa memastikan dari pihak mana berkas itu bocor.
Febri mengatakan, secara umum pihaknya sudah menjalankan tugas sesuai kewenangan. Terkait indikasi berkas dakwaan yang bocor, Febri memastikan itu bukan dari pihak jaksa penuntut umum (JPU) KPK.
“Kami tidak mengetahui apakah benar itu dokumen yang sama. Dari KPK kami pastikan (dakwaan) baru bisa disampaikan ketika hari Kamis (9/3) nanti secara lengkap,” terangnya.
KPK sejauh ini tetap memfokuskan pembuktian dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP yang disangkakan ke mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri Sugiharto.
Di pembuktian itu, jaksa KPK akan menguraikan proses penyidikan e-KTP yang dilakukan lebih dari dua tahun. Terutama yang berkaitan dengan indikasi penyimpangan di beberapa tahapan pengadaan.
Di perencanaan, misalnya. Menurut Febri, sebelum anggaran formal disepakati, penyidik menemukan indikasi-indikasi pertemuan sejumlah pihak untuk membicarakan proyek senilai Rp 6 triliun tersebut.
Berkas dakwaan nantinya akan menguraikan pembahasan anggaran formal yang melibatkan DPR dan unsur pemerintah. Di tahapan itu, KPK mengindikasi adanya praktik ijon dalam proyek kakap tersebut.
“Ada indikasi cukup banyak pihak yang juga menikmati aliran dana e-KTP,” ujarnya. Kemudian di tahap pengadaan, KPK akan menguraikan bentuk penyimpangan penggelembungan harga atau mark up.
Indikasi penyimpangan-penyimpangan itu yang akan dibuktikan KPK di persidangan. Nama-nama elite politikus, nantinya akan banyak terungkap saat tahap pembahasan anggaran.
Sebagai catatan, pembahasan proyek pengadaan e-KTP melibatkan Kemendagri dari unsur eksekutif dan Komisi II DPR dari kalangan legislatif. Pengadaan menggunakan pagu anggaran 2011-2012.
Meskipun masih menutup rapt dakwaannya, sejumlah nama yang disebut dalam dakwaan yang beredar ke publik itu memang pernah diperiksa KPK. Bahkan beberapa nama disebut sudah mengembalikan uang ke KPK.
Sementara itu, bocornya berkas dakwaan dikhawatirkan dimanfaatkan tokoh-tokoh politik yang masuk dalam daftar nama penikmat aliran dana korupsi untuk melakukan intervensi.
Koordinator Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S Langkun mengatakan, KPK dan perangkat hukum lain mesti fokus dengan tugas masing-masing. “Hambatan politik bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan.”
Tama mengatakan, publik sudah cerdas untuk menilai mana yang benar dan salah. Dengan demikian, pihak-pihak yang akan bermain dalam persidangan e-KTP pasti akan tercium.
Begitu pula sebaliknya, masyarakat pasti akan banyak yang membela ketika tokoh-tokoh besar mengancam aparat penegak hukum. Terutama KPK. “Kalau politik urusannya menang kalah, kalau soal pembuktian itu soal benar dan salah,” terangnya.
Tama menyarankan KPK berani menindaklanjuti nama-nama yang terseret dalam kasus e-KTP. Terutama nama-nama yang sudah mengembalikan uang hasil korupsi. Menurutnya, pengembalian itu secara otomatis menimbulkan akibat hukum. Seperti gratifikasi.
“Selebihnya kita tunggu putusan yang berkekuatan hukum tetap. Kalau uang itu itu dimaksudkan untuk memuluskan e-KTP, berarti bisa dijerat pasal suap,” imbuhnya.
KPK menerima pengembalian uang sebesar Rp 250 miliar dari konsorsium sejumlah perusahaan dan 14 orang yang mayoritas anggota Komisi II DPR periode 2009-2014. Sementara itu, mantan penasihat KPK Abdullah Hehamahua mengingatkan KPK agar memproses semua pihak yang terlibat dalam perkara e-KTP.
“Pers harus mengawal KPK dan pengadilan untuk menegakkan adagium dalam dunia hukum, yakni biar langit runtuh hukum harus ditegakan,” ujar pria asal Maluku itu.
Menurut dia, pihak-pihak yang disebut dalam dakwaan menikmati aliran dana e-KTP harus semuanya diproses hukum. Sekalipun mereka telah mengembalikan uang yang diterimanya. “Sebab hal tersebut sudah jelas diatur dalam UU Tipikor,” ujarnya.
Menurut dia, dalam pasal 11 B UU Tipikor disebutkan bahwa penerima gratifikasi harus melapor ke KPK dalam jangka waktu 30 hari setelah penerimaan. Jika lewat dari masa itu, apalagi pengembaliannya ketika terjadi penyelidikan dan penyidikan, hal tersebut sudah masuk kategori suap.
“Harus diproses hukum. Sebab, pengembalian itu tidak bisa menghapuskan unsur pidananya,” tegasnya. Apa yang disampaikan Abdullah memang seperti yang terjadi pada penanganan perkara di KPK selama ini. Dalam beberapa kasus, pihak yang menikmati aliran dana haram kasus korupsi tetap di pidana.
Salah satu kasus yang belum lama terjadi ialah suap yang dilakukan Gatot Pujo Nugroho (saat itu Gubernur Sumatera Utara) pada sejumlah DPRD setempat.
Ketika perbuatan Gatot terungkap KPK.
Sejumlah anggota DPRD Sumut ramai-ramai mengembalikan uang yang pernah diterima dari Gatot. Tapi satu per satu anggota DPRD akhirnya tetap diproses sebagai penerima suap. Termasuk, mereka yang telah berstatus mantan anggota DPRD.
Membantah
Terpisah, Ketua DPR Setya Novanto membantah keterlibatannya dalam dugaan korupsi pengadaan e-KTP, saat dia menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Golongan Karya periode lalu.
Setnov, sapaan Novanto menegaskan bahwa tudingan yang dilontarkan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin itu tidak benar adanya.
”Nama saya dikait-kaitkan mungkin karena kondisi psikologis M Nazaruddin yang sedang ada masalah dengan partainya. Saya pastikan pernyataan itu tidak benar dan mengada-ada,” kata Setnov di gedung parlemen, Jakarta, kemarin (7/3).
Setnov menyatakan, sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar, dirinya disebut meminta fee sebesar 5-10 persen dari anggaran e-KTP. Ketua Umum Partai Golkar menyebut tudingan itu tidak benar. Karena sebagai Ketua Fraksi, dirinya tidak pernah membahas masalah terkait anggaran e-KTP ataupun dana apapun.
”Saya membatasi hal-hal yang berkaitan masalah uang dan pendanaan, hal itu (meminta fee, red) tidak mungkin saya lakukan,” ujarnya.
Setnov menjelaskan, dirinya telah memberi keterangan kepada penyidik KPK terkait hal ini. Bahwa anggota Fraksi Partai Golkar, tidak hanya di Komisi II DPR diminta melaporkan perkembangan pembahasan yang ada. Khusus e-KTP, kebutuhan untuk pengadaan identitas elektronik pada saat itu dirasa penting demi kepentingan negara.
“Kami menilai e-KTP tujuannya baik untuk negara, bisa mendeteksi identitas secara online, karena itu Golkar mendukung,” ujarnya.
Sebagai pimpinan DPR, lanjut Setnov, dirinya sudah memenuhi panggilan KPK sebanyak dua kali. Berbagai penjelasan menurut Setnov sudah disampaikan kepada penyidik.
Karena itu, Novanto mengaku prihatin dengan beredarnya nama-nama anggota Komisi II periode lalu yang disebut menerima dana terkait persetujuan anggaran e-KTP. Menurut dia, informasi semacam itu justru bisa menjadi liar jika tidak segera diklarifikasi.
“Kasihan anggota DPR, mereka tidak pernah menerima tapi terus diberitakan menerima suap. Kasihan keluarga dan anak-anaknya. Sebab, kadang-kadang hal yang belum pasti kebenarannya sudah menjadi isu liar,” ujarnya.
Dikonfirmasi terpisah, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan, proses hukum korupsi pengadaan e-KTP tidak menghalangi lembaganya untuk melanjutkan proses perekaman e-KTP. (*)
LOGIN untuk mengomentari.