Cakupan imunisasi Indonesia belum memuaskan. Angkanya 82 persen. Ketaatan memberikan imunisasi kepada anak menunjukkan tren menurun dalam beberapa tahun terakhir. Dokter Kenny Peetosutan dari Unicef menyatakan, banyak faktor penyebab kondisi tersebut. Mulai faktor demografi sampai isu haram.
“Indonesia negara yang besar sekali. Tantangannya pun banyak,” ungkap Kenny kepada koran ini saat ditemui di kantor Unicef, Jakarta (28/4).
Lima imunisasi wajib dari pemerintah, menurut Kenny, sudah diberikan merata di seluruh Indonesia. Yogyakarta menjadi wilayah dengan cakupan imunisasi paling besar. Yakni, 98,1 persen. Sayang, tidak semua wilayah seperti Yogyakarta.
Di luar Yogyakarta, banyak sekali kendala untuk mendistribusikan vaksin imunisasi. Terutama daerah pelosok. Faktor geografis Indonesia yang dipisahkan menjadi pulau-pulau, serta kontur wilayah, khususnya di wilayah timur, yang didominasi hutan dan gunung membuat imunisasi sulit menjangkau daerah-daerah tertentu.
“Daerah-daerah yang memiliki kendala itu, cakupannya juga tidak tinggi. Papua paling kecil, di angka 56 persen,” ucap dia.
Selain faktor geografis dan SDM, ada faktor lain yang tidak kalah penting. Yakni, bermunculannya kampanye negatif tentang imunisasi. Kampanye itu datang dari orang yang bisa dibilang terpelajar.
Mereka mempertanyakan khasiat imunisasi yang terus digaungkan selama ini. Tidak sedikit juga yang mengklaim bahwa anak-anak mereka bisa terhindar dari penyakit tanpa harus imunisasi.
Mungkin selama ini mereka mendapatkan info yang salah. Anak mereka tidak terserang virus bukan serta-merta karena tubuh mereka yang tanpa perlindungan imunisasi sudah kuat. Namun, bisa saja mereka yang tidak mendapat imunisasi terlindung oleh lingkungan mereka yang sudah diimunisasi.
“Vaksin tidak hanya melindungi orang per orang, tapi juga melindungi orang lain di lingkungannya,” terang Kenny.
Kenny mengungkapkan, dengan munculnya kampanye-kampanye negatif itu, pemerintah jadi punya pekerjaan rumah besar lainnya yang harus segera diselesaikan. Yakni, melakukan sosialisasi dan edukasi yang menjangkau semua kalangan. “Dengan begitu, kampanye negatif bisa dihalau,” ucapnya.
Selain itu, masalah minimnya pengetahuan calon ibu dan ibu soal imunisasi tersebut masih jadi salah satu kendala utama. Capaian imunisasi hingga 100 persen tidak akan bisa terlaksana bila kesadaran dan pengetahuan ibu soal pentingnya imunisasi masih kurang.
“Kita tidak bicara koridor pendidikan. Kalau pendidikan, seperti Mbak Grace tadi kan pendidikan tinggi. Tapi, pengetahuan kurang. Kata kuncinya itu meningkatkan pengetahuan,” ujar Direktur Jenderal (Dirjen) Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan (Kemenkes) M Subuh.
Kondisi itu akhirnya berakibat pada besarnya angka dropout dan tidak imunisasi di Indonesia. Dari sekitar 5 juta bayi dan balita Indonesia, sebanyak 9,7 persen tidak mendapat imunisasi sama sekali. Sementara itu, angka dropout mencapai 15 persen.
Subuh menyatakan, untuk dropout, pemicunya beragam. Mulai kegiatan orangtua yang kerap berpindah hingga kekhawatiran soal halal-haram. Di beberapa daerah, isu imunisasi jadi begitu sensitif sampai membuat capaian imunisasi drop. Aceh, misalnya, cakupan imunisasi turun dari 85 persen menjadi 25 persen.
Akibatnya, muncul kejadian luar biasa (KLB) penyakit difteri. Kalau sudah begitu, tugas pemerintah semakin berat. Selain harus menelusuri kontak penyakit, pemerintah harus melakukan outbreak response immunization.
Memberikan imunisasi kepada semua anak usia 2 bulan sampai 15 tahun untuk imunisasi di daerah KLB. Otomatis, biaya yang dikeluarkan pun semakin bengkak. “Terlepas dari itu, tentu yang mengkhawatirkan adalah kondisi mereka,” ungkapnya.
Mengatasi problematika yang muncul, Subuh mengaku sudah menerapkan beberapa skema. Untuk daerah-daerah dengan kondisi geografis kurang baik, pihaknya sudah mengintegrasikan imunisasi dengan kegiatan kesehatan lain. Dengan begitu, setiap saat bisa dilakukan imunisasi tanpa menunggu jadwal seminggu sekali melalui posyandu.
Kualitas pelayanan juga ditingkatkan melalui vaksin yang berkualitas dan ketersediaan cold chain. Dengan demikian, kualitas vaksin terjaga. “Sweeping juga dilakukan pada sasaran yang belum imunisasi,” katanya.
Sedangkan untuk isu halal-haram, pihaknya terus melakukan komunikasi dengan para ulama setempat untuk menjelaskan posisi imunisasi itu. Diharapkan, para ulama bisa menyampaikan kepada masyarakat sehingga mau memvaksin buah hati mereka.
Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta, Nasaruddin Umar turut mengimbau agar imunisasi bisa jadi bahan dakwah. Mungkin bisa disampaikan dalam bab berumah tangga dengan tambahan penjelasan soal pentingnya imunisasi ini. “Dengan begitu, masyarakat bisa paham pentingnya imunisasi ini,” ujarnya saat ditemui dalam kesempatan sama.
Mantan wakil menteri agama itu tidak menampik bahwa isu halal-haram vaksin tersebut sangat sensitif. Dia menuturkan, umat Islam tentu harus hati-hati dan tidak boleh meninggalkan ajaran agama.
“Produsen vaksin saat ini sudah ramai-ramai membuat vaksin halal sehingga tidak perlu khawatir,” ungkapnya. ”Pun, bila memang tidak ada (halal), dibolehkan untuk memakai yang ada bila dalam kondisi darurat,” sambungnya.
Seruan untuk imunisasi itu sudah sangat masif. MUI bahkan telah mengeluarkan fatwa untuk pelaksanaan imunisasi tersebut. “Karena peran imunisasi ini memang sangat penting. Kita punya kewajiban untuk menjaga generasi kita agar jadi lebih baik,” jelasnya.
Anggota Satuan Tugas Imunisasi IDAI dr Hartono Gunardi menambahkan, orang tua tak perlu risau bila anaknya missed salah satu imunisasi. Sebab, imunisasi masih bisa disusulkan. Tak ada kata terlambat.
“Memang yang ideal mengikuti jadwal sehingga antibodi akan optimal. Tapi, kan kadang ada yang kelupaan sehingga tertinggal. Jadi, bisa diimunisasi lagi sehingga antibodi bisa pulih lagi,” jelasnya. (*)
LOGIN untuk mengomentari.