Petani karet di Kabupaten Sujunjung menjerit akibat harga getah karet tak kunjung naik sejak dua bulan terakhir. Sekarang di tingkat pengepul hanya dipatok Rp7.000 – 7.200 per kilogram.
Petani karet di Nagari Palangki, Kecamatan IV Nagari, Kairul, 57, menuturkan harga getah karet sekarang sangat murah. Setelah dihitung-hitung, harga jual tidak sesuai dengan biaya operasional yang harus dikeluarkan.
“Bila dihitung-hitung, akhirnya harga jual getah sekarang pada tauke tidak sesuai dengan biaya operasional. Sehingga yang dapat hanyalah capeknya saja,” tutur Khairul, Senin (21/11).
Lebih lanjut dijelaskannya, turunnya harga karet sudah berlangsung sejak dua bulan terakhir, dan kini berada pada situasi terburuk. “Dari Rp 12.000 turun ke Rp 11.500, lalu turun lagi menjadi Rp 10.000, lanjut Rp 8.000, hingga sekarang dibeli hanya Rp 7.000 – 7.200 per kilogram,” ungkapnya.
Dikatakannya, ia kebetulan punya sebidang kebun karet tidak jauh dari rumah. Lahan garapan tersebut sekaligus menjadi satu-satunya andalan mata pencaharian guna memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Termasuk untuk membiayai biaya sekolah empat orang anak-anaknya, mulai tingkat Sekolah Dasar (SD) – SMA.
Hasil pendapatan panen tiap seminggu sekali paling banyak berkisar Rp 700 ribu, dan hasil penjualan itu pun harus dibagi tiga karena proses menyadap getah tiap harinya ada tiga orang.
Sehingga setelah dikalkulasikan masing-masing dapat bagian tidak sampai Rp 250.000 per minggu. Belum lagi biaya ini dan itu yang terkadang tidak dapat untuk dielakkan. “Biaya operasional masing-masing kami saja tiap hari paling sedikit Rp 40.000. Maka, jika dihitung-hitung, tak ada hasil yang bisa dibawa pulang,” cetus Khairul.
Hal serupa juga dikeluhkan Saprizal, 43, petani getah karet di Nagari Padangsibusuk, Kecamatan Kupitan, Kabupaten Sijunjung. Namun Saprizal mengaku tidak punya pilihan. Untuk sementara waktu terpaksa berhenti dulu menyadap getah di kebunnya.
“Harganya terlalu murah, maka kami berhenti dulu menyadap getah, dan itu sudah berlangsung sejak seminggu lalu. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga, saya menjadi buruh proyek,” beber Saprizal.
Akibat harga jual anjlok, kini petani karet di Kabupaten Sijunjung makin banyak terlilit utang, dan mereka kian merasa depresi. Ditambah harga barang-batang kebutuhan hidup malah terasa semakin tinggi.
“Untuk hidup sehari-hari pun kami meminjam uang dari para tetangga dan saudara. Lantaran di rumah kami juga tidak punya tabungan,” akunya. (atn)