in

Harsiarnas Satukan Negeri

Tidak terasa Hari Penyiaran Nasional (Harsiarnas) memasuki usia ke-84 tahun. Umur penyiaran yang tidak muda lagi. Di usia yang lebih dari setengah abad, dunia penyiaran Indonesia mengalami berbagai pergolakan zaman dalam berbagai dinamika penyiaran di setiap zamannya. Perjalanan panjang dunia penyiaran patut direnungkan dan direaktualisasikan dalam kehidupan penyiaran modern. 

Perayaan Harsiarnas tahun 2017 dilaksanakan di Bengkulu mengangkat tema “Semangat Nawacita untuk Ketahanan Bangsa melalui Penyiaran yang Berkarakter dan Mencerdaskan”. Pada peringatan inilah seluruh stakeholders penyiaran Indonesia berkumpul memperkukuh rasa persaudaraan antar-insan penyiaran, menyatukan pandangan, mengurai pemikiran dan mencari solusi yang tepat untuk memperbaiki dunia penyiaran negeri ini untuk kemajuan masyarakat, bangsa dan negara.

Berbicara Harsiarnas, alangkah eloknya jika kita paparkan dimensi historis Harsiarnas. Dalam album sejarah Indonesia, dituliskan peristiwa deklarasi Harsiarnas tahun 2009 di Solo, lalu setiap tahun diperingati stakeholders penyiaran sebagai Harsiarnas yang memiliki benang merah dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan. Pada kalimat lain, spirit Harsiarnas diinspirasi dari peristiwa sejarah penyiaran tanah air. 

Hari Wiryawan, salah seorang tokoh penyiaran Indonesia, melalui bukunya Mangkunegoro VII & Awal Penyiaran Indonesia (2011), menuliskan bahwa pada 1 April 1933 KGPAA Mangkunegoro VII menggagas didirikannya Solosche Radio Vereeniging (SRV) yang menjadi radio pertama milik bangsa Indonesia. 

Tatkala mendirikan SRV, Mangkunegoro menyumbangkan uangnya sebanyak 600 gulden untuk membeli pemancar dan memberikan sumbangan tanah seluas 6.000 meter persegi bagi pendirian SRV. Penggalan sejarah Mangkunegoro dan SRV menjadi gambaran sepenuhnya pengorbanan besar ditunjukkan kaum pribumi dalam mendirikan penyiaran secara mandiri. Media penyiaran dijadikan alat perjuangan bangsa. 

Sejarawan Indonesia, Asvi Warman Adam (2010), melalui tulisannya Mangkunegoro dan SRV, pernah menulis bahwa SRV menyiarkan berita, program agama dan kebatinan, pembacaan dongeng anak-anak, petunjuk praktis bagi pendengar (aneka masakan, bordir, dan olahraga), serta musik tradisional. Klenengan atau gamelan dan keroncong sering juga diperdengarkan radio ini, di samping wayang kulit purwo. Memutar lagu tradisional dan menolak musik Barat merupakan perlawanan budaya terhadap penjajah di samping menumbuhkan kecintaan khazanah kesenian lokal. 

Inspirasi Harsiarnas

Fakta sejarah penyiaran ini memberikan banyak teladan dan inspirasi untuk kita hidupkan dalam kehidupan dewasa ini yang dikenal dengan era keterbukaan informasi public, serta zaman industrialisasi media dan penyiaran. Pelajaran penting dari peristiwa sejarah Harsiarnas adalah tentang pengorbanan pribadi untuk kemaslahan bersama, solidaritas kebangsaan, cinta terhadap tanah air dan bangsa. Pentingnya penyiaran digunakan sebagai alat perjuangan bangsa, membela harga diri, serta martabat bangsa yang berdaulat dan bermartabat di mata bangsa lain.

Nilai-nilai sejarah penyiaran seharusnya kita hidupkan dalam konteks penyiaran masa kini untuk menatap masa depan penyiaran Indonesia yang lebih baik, lebih sehat dan bermartabat. Tantangan era digitalisasi penyiaran, konvergensi media, monopoli kepemilikan, konten siaran yang belum banyak mengedukasi publik, maraknya hoax, siaran politik yang belum adil dan proporsional, dominasi rezim rating, profit oriented media—merupakan realitas kekinian penyiaran kita. 
Value (nilai) sejarah penyiaran seharusnya dimasukan dalam dunia penyiaran modern agar kondisi penyiaran tidak terjebak pada hal-hal yang berbau pragmatisme, individualisme, lebih memprioritaskan kepentingan pribadi maupun kelompok dan tujuan-tujuan meraih kepentingan ekonomi.

Merealisasikan semangat Harsiarnas membutuhkan empati tinggi dan solidaritas berbagai pemangku kepentingan penyiaran. Pemerintah, Komisi Penyiaran Indonesia, masyarakat, akademisi, lembaga penyiaran dan komponen bangsa yang lain sudah seharusnya menyatukan pemikiran, serta melangkah bersama memberi kontribusi nyata dunia penyiaran pada bangsa dan negara termasuk terhadap kemanusian dan dunia. Jadikan perbedaan sebagai kekuatan untuk menyatukan bangsa, sudahi saling menyalahkan, tapi mari saling menguatkan atas perbedaan-perbedaan yang ada.  

Pengawalan terhadap dunia penyiaran membutuhkan kekuatan dan energi besar komponen bangsa. Bahasa lain, kekompokkan, serta pengorbanan tulus untuk kepentingan bangsa yang besar dari seluruh komponen masyarakat adalah keniscayaan. Sebab, nilai-nilai dan pelajaran sejarah penyiaran inilah yang ditunjukkan tokoh-tokoh penyiaran nasional pada kita semua. Dengan peringatan Harsiarnas, mari tanamkan spirit kebersamaan dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, dan UUD 1945. Melalui Hari Penyiaran kita satukan negeri. Selamat Harsiarnas. Jayalah terus penyiaran Indonesia. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Awang Ramadhan, Owner Tali’ka Coffe

Erick Hariyona Pimpin MPW PP Sumbar