in

Harus Percaya Media Mainstream

MENKOMINFO Rudiantara dan Ketua DPD RI Saleh memukul gong tanda dibukanya seminar Buku “koeli Kontrak Tempo Doeloe “ dalam ranka HUT ke – 70 Harian Waspada didampingi Gubsu HT. Erry Nuradi berserta istri, angggota DPD RI Parlindungan Purba dan Pemimpin Umum Harian Waspada Hj. Rayati Syafrin di aula Martabe Kantor Gubsu, Rabu [11/01] ( Repro/WSP/Rizky Rayanda/C

* Menkominfo Pada HUT Ke-70 Waspada

MEDAN ( Berita ) : Kepercayaan masyarakat terhadap media mainstream (cetak dan televisi) mulai hilang. Saat ini masyarakat menganggap media online dan media sosial lebih bisa dipercaya. Padahal dari sekira 43 ribu media online atau yang mengaku media online, tidak lebih dari 300 yang terverifikasi.

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan itu saat membuka Seminar/Bedah Buku Koeli Kontrak Tempo Doeloe karya Alm. H Mohd Said di Aula Martabe Pemprovsu Jl. Diponegoro Medan, Rabu (11/1). Seminar bertemakan ‘Mengembalikan Kejayaan Perkebunan Sumatera Utara’ dilaksanakan Harian Waspada dalam menyambut HUT Ke-70 Waspada bekerjasama dengan Pemprovsu dan DPD RI.

“Tantangan media mainstream luar biasa. Media mainstream kehilangan ‘kepercayaan’. Akibatnya, satu-satunya masyarakat mendapatkan informasi dari media online dan sosial, sehingga terjadi euphoria. Media sosial dan online dianggap lebih dipercaya, padahal di media online yang terverifikasi hanya 300 dari 43 ribu. Berarti secara nalar kita, yang harus lebih dipercaya yaitu media mainstream, tapi kenyataannya berbalik,” sebut Rudiantara.

Media online yang terverifikasi menurut Rudiantara, adalah media yang mengikuti kaidah UU Pers. “Padahal sertifikasinya mudah, pertama media online harus berbadan hukum, jelas pemimpin redaksi atau ada yang bertanggungjawab atas isi atau kontennya, ketiga ada alamatnya. Namun untuk memenuhi itu saja banyak yang tidak menyanggupi. Ini hasil diskusi kami dari Dewan Pers, dan Dewan Pers sedang mendatanya,” katanya lagi.

Maraknya media online atau yang mengaku media online dan media sosial, lanjut Rudiantara, sebenarnya karena di masyarakat ada semacam ‘demand’ atau permintaan. Akibatnya, media mainstream yang saat zaman orba menjadi rujukan, sekarang tidak lagi.

“Dulu tidak ada yang lain selain media mainstream, tetapi setelah reformasi, ada UU Pers maka tidak lagi ada izin yang dibutuhkan dari pemerintah. Bisa dikatakan peran pemerintah tidak lagi ada karena sudah digantikan UU Pers yang rujukan pertamanya adalah Dewan Pers, ini salah satu UU yang tidak ada peraturan pemerintah dan peraturan menterinya, karena mengaturnya dari UU langsung ke masyarakat pers,” ujarnya.

Menurutnya, dengan kondisi ini sebenarnya luxury atau keistimewaan yang diperoleh insan pers, selama tetap memegang teguh kaidah jurnalistik. “Kebebasan pers di Indonesia ini diapresiasi, tetapi kita lihat sekarang media cetak mulai berguguran karena banyak media online dan media sosial, televisi pun mulai berguguran. Secara izin ada 1.000 lebih televisi jaringan yang mempunyai izin, tapi yang benar-benar mampu bersiaran tidak lebih dari 100 televisi yang berjaringan, selebihnya kembang kempis kondisi siarannya, atau hanya ada izin tapi tidak bersiaran,” terang Rudiantara.

Dia juga menjelaskan dari aspek psikologis di masyarakat yang ingin menjadi terkemuka dan pertama dalam mendapatkan informasi. Akibatnya, setiap mendapat informasi dari media online atau media sosial, masyarakat segera memforward atau meneruskannya kepada yang lain.

“Seolah-olah dia yang pertama mengetahui itu. Ini yang mempengaruhi atau membawa hingar-bingarnya media sosial atau yang tidak benar isinya kita sebut hoax atau berita bersifat direkayasa, bohong dan lainnya,” sebutnya.

Pemerintahan Jokowi–JK melalui Kementerian Kominfo bersama masyarakat dan komunitas anti hoax sedang merapikan, menata kembali sehingga masyarakat benar-benar mendapatkan informasi yang sehat.

“Persepsi masyarakat saat ini pemerintah atau Kominfo kerjaannya hanya melakukan blokir, sebetulnya tidak, karena blokir media sosial itu sebenarnya adalah upaya terakhir, yang dilakukan pemerintah adalah literasi, sosialisasi dan mengajak, memberdayakan masyarakat, komunitas sebanyak-banyaknya karena memang harus dimulai dari diri kita, rumah tangga, sekolah dan lingkungan,” tuturnya.

Saat ini ada sekira 30 ribu facebooker yang rajin mengecek keabsahan dari informasi atau berita yang didapat di media online dan sosial. “Kalau ibu/bapak mau mengetahui informasi ini fakta atau hoax bisa diklik di www.turnbackhoax.id, di situ ada kategorinya. Disitu akan terlihat mana yang hoax dan yang fakta karena ribuan konten kategori hoax akan disandingkan dengan faktanya sehingga membuat masyarakat Indonesia lebih sehat,” ungkapnya.

Menurutnya lagi, Presiden RI Jokowi orang yang sangat toleran terhadap dunia maya, media sosial serta mengetahui besarnya peran media secara umum apakah itu media mainstream dan sebagainya. “Beliau juga tahu kunci kemenangannya pada saat Pilpres adalah dukungan netizen,” imbuhnya.

Namun kemudian yang membuat pemerintah menjadi gerah karena kontennya yang sudah kebablasan. “Nah, dalam rangka menangani konten yang kebablasan tentunya pemerintah lebih mengedepankan pendekatan pendidikan, walaupun punya perangkat, yakni UU ITE dan KUHP dan sebagainya. Sebagai contoh, apabila ada situs yang dianggap kontennya bertentangan dengan aturan, kami tidak melihat asal usul siapa yang memiliki media online, media sosialnya, tetapi kami fokus pada kontennya,” ujarnya.

Dia berharap ada perubahan dan tanggungjawab terhadap konten isi berita yang disiarkan di media. “Kalau kebebasannya sudah diperoleh, tetapi kebenaran dan tanggungjawab dari konten yang disajikan yang perlu kita benahi. Konten yang kami takedown akan kami aktifkan kembali jika berjanji tidak mengulanginya lagi, karena itu bisnis dan banyak menghidupi para jurnalis di media online tersebut,” katanya menjelaskan. (WSP/h02/K)

What do you think?

Written by virgo

Apa Karia: Ilong Hana Kumeujanji 1 Juta/KK

Ditabrak Beat, Pengendara Vario Tewas