in

Ibadah Haji dan Kekuatan Kaum Muslim

Hari ini sekitar 2,1 juta jamaah haji dari seluruh penjuru dunia berkumpul di Padang Arafah untuk menunaikan salah satu rukun haji, yaitu wukuf di Arafah yang dilakukan hingga matahari terbenam. Kita patut berbangga, karena tahun ini merupakan rekor jamaah haji terbanyak dalam sejarah bila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Untuk Padang sendiri, tahun ini diikuti 1.206  jamaah haji atau meningkat dibandingkan tahun lalu hanya 950 jamaah.

Peningkatan jumlah jamaah haji tahun ini secara teknis, karena memang Pemerintah Arab Saudi menambah kuota sebesar 20 persen seiring rampungnya perluasan mataf Masjidil Haram. Sedangkan secara ideologis, menurut hemat saya, besarnya jumlah jamaah haji tahun ini dapat dibaca sebagai sinyal meningkatnya ketertarikan masyarakat dunia memeluk agama Islam, selain juga dampak pertumbuhan umat muslim. Bersebab jumlah muslim dunia semakin besar itu pulalah, Pemerintah Saudi memperluas mataf Masjidil Haram.

Berbicara ibadah haji, saya teringat kisah bagaimana Rasulullah SAW saat melaksanakan haji pertama kalinya sekaligus yang terakhir kali dalam hidupnya yang dikenal dengan Haji Wada’ atau Haji Perpisahan. Potongan kisah tersebut juga tercantum dalam buku berjudul “Muhammad, Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik” ditulis Martin Lings (Abu Bakar Siraj Al-din) dan buku “Abu Bakar The 1st Khalifa” ditulis Misbah Em Majidy MA. Kisah hajinya Rasulullah dalam kedua buku tersebut dapat saya sarikan sebagai berikut:

Tahun ke-9 Hijriah, usai berperang melawan pasukan Romawi atau lebih dikenal dengan Perang Tabuk, saat tiba di Madinah Rasulullah berniat melaksanakan ibadah haji. Namun beliau memutuskan menundanya tahun itu, seiring masih banyaknya para penyembah berhala melakukan ritual tawaf dengan bertelanjang. Nabi tidak ingin ibadah hajinya nanti terkotori oleh ulah mereka.
Oleh sebab itu, Nabi menugaskan Abu Bakar untuk menjadi Amirul Hajj atau pemimpin rombongan haji yang berjumlah 300 calon jamaah haji tahun itu. Rasulullah juga mengutus Ali bin Abi Thalib mengikuti rombongan haji Abu Bakar dan meminta Ali membacakan Surat At Taubah di hadapan kaum musyrik saat berada di Ka’bah.

Rencana yang disusun Rasulullah berjalan lancar, Abu Bakar melaksanakan tugas selaku Amirul Hajj dengan sangat baik. Abu Bakar tidak hanya mengawal kelancaran ibadah haji, tetapi juga mengajari kaum muslimin tata laksana (manasik) haji sesuai ajaran Islam. 

Sementara Ali bin Abi Thalib berhasil pula mengumandangkan At Taubah di hadapan penyembah berhala Kota Mekkah dan menyampaikan pesan dari Nabi yang menjelaskan bahwa tidak ada seorang pun sesudah tahun ini yang diperbolehkan tawaf di Ka’bah bertelanjang. Tahun ini adalah kesempatan terakhir bagi kaum musyrik.

Mendengar maklumat yang disampaikan Ali tersebut, maka ciutlah nyali kaum musyrik. Mereka menggerutu dan pasrah atas larangan tidak ada lagi tawaf menyembah berhala di sekitar Ka’bah, lagipula saat itu telah banyak petinggi Quraisy masuk Islam sehingga kaum muslim semakin banyak. Kaum Musyrik benar-benar tidak berani melawan keputusan itu.

Tahun berikutnya, yakni tahun ke-10 Hijriah barulah Nabi melaksanakan ibadah Haji Wada’. Nabi sendiri yang memimpin jamaah haji. Berita disebarkan, sehingga orang berbondong-bondong tiba dari segala penjuru. Mereka bergembira mendapatkan kesempatan berhaji bersama Rasulullulah. Mereka juga bergembira, karena ibadah haji tahun itu berbeda dengan yang dilakukan beratus-ratus tahun silam, karena sudah tidak ada lagi para penyembah berhala mencemari Ka’bah. Hari itu, Nabi turun langsung memimpin 30.000 orang jamaah haji. Saat wukuf di Padang Arafah, Rasulullah menyampaikan khutbah lebih panjang dibanding biasanya.

Rasulullah selalu meminta kesaksian pada setiap tausiahnya, beliau berkali-kali bertanya, “Bukankah aku telah menyampaikannya kepada kalian?” 

Lalu segenap jamaah berkali-kali pula menjawab, “Benar wahai Rasulullah, engkau telah menyampaikannya.”
“Ya Allah, saksikanlah!” ujar Nabi seakan ingin melaporkan tugas kenabian-Nya di hadapan Allah SWT.

Akhirnya beliau berkata, “Aku tinggalkan untuk kalian dua petunjuk yang jelas. Jika kalian berpegang teguh padanya, maka terhindar dari semua kesalahan. Keduanya Kitab Allah dan sunahku. Hai umatku, dengarkanlah kata-kataku dan pahamilah.”

Usai Shalat Ashar pada hari Arafah itu, saat Rasulullah berada di atas untanya, turunlah wahyu Allah SWT sebagai berikut: “…pada hari ini, telah Aku sempurnakan agamamu untukmu dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu… “ (QS Al Maidah, ayat 3). 

Inilah wahyu terakhir yang diterima Rasulullah. Sejak saat itu, tidak ada lagi wahyu ketuhanan yang turun pada beliau.
Ketika menerima wahyu terakhir itu, Nabi merasa lemas hingga beliau bersandar di punggung untanya dan si unta pun merunduk. Saat itu datanglah Malaikat Jibril menemuinya dan berkata, “Wahai Muhammad, sungguh agamamu benar-benar telah sempurna pada hari ini. Tugas kenabian yang dibebankan Allah kepadamu juga telah engkau kerjakan dengan sempurna. Maka dari itu, beritakan kepada para sahabat dan umatmu bahwa aku tidak lagi membawa wahyu Allah kepadamu setelah hari ini.”

Tatkala rombongan haji sampai kembali ke Madinah, Rasulullah mewartakan yang telah disampaikan Jibril kepada seluruh kaum muslim. Serta merta seluruh sahabat dan kaum muslim yang mendengarnya bergembira, “Agama kita telah sempurna, Agama kita telah sempurna.” Kata mereka penuh suka cita. Namun tidak demikian dengan Abu Bakar, ia sangat sedih mendengar berita itu dan langsung pulang ke rumahnya, lalu menutup dan mengunci pintu rapat-rapat.

Di dalam rumah Abu Bakar tenggelam dengan rasa duka, ia menangis sepanjang siang dan malam. Mendengar hal itu, para sahabat menanyakannya pada Abu Bakar, mengapa dirinya menangis serupa itu.

Abu Bakar lalu berkata,”Wahai sahabat-sahabatku, kalian tidak menyadari bahwa duka nestapa yang mendalam akan menimpa diri dan umat kita. Bukankah kalian memahami bahwa sebuah tugas yang dikatakan telah sempurna berarti telah selesai? Wahyu yang turun ini mewartakan kepada kita tentang perpisahan, tentang Hasan dan Husein yang akan ditinggalkan oleh kakek terkasih mereka, dan tentang istri-istri Rasulullah yang akan menjadi janda!”

Para sahabat yang mendengar penjelasan Abu Bakar tersebut seketika menangis pilu. Para sahabat yang berada di luar rumah Abu Bakar heran dan bingung atas apa yang terjadi. Lalu, mereka melaporkan kejadian itu pada Rasulullah dan Rasulullah langsung beranjak pergi ke rumah Abu Bakar. Setiba di rumah Abu Bakar, Rasulullah mendapati tangisan para sahabat yang rupanya belum juga berhenti. Nabi bertanya, “ada apa dengan kalian? Apa yang membuat kalian menangis seperti ini?”

Ali bin Abi Thalib menjawab, “Kami baru saja mendengar penjelasan Abu Bakar bahwa wahyu yang engkau bacakan di hadapan kami itu adalah isyarat kepergianmu ke alam baka. Benarkah yang dijelaskan Abu Bakar ini ya Rasulullah?

“Apa yang dijelaskan Abu Bakar kepada kalian itu adalah benar.” Jawab Nabi tegas. Mendengar jawaban Nabi itu Abu Bakar langsung jatuh pingsan, Ali bin Abi Thalib bergetar tubuhnya, seluruh sahabat yang mendengar menangis semakin pilu. Adapun 81 hari setelah kejadian itu, Rasulullah kembali ke haribaan Allah Azza wa Jalla. 

Membaca kisah tersebut, terus terang membuat saya juga tak tahan menahan air mata. Seakan tampak di pelupuk mata, bagaimana suasana penuh duka yang melanda diri para sahabat kala itu, begitu besarnya cinta mereka pada Nabi, saat mengetahui bahwa dalam waktu dekat Rasulullah tidak lagi berada di tengah-tengah mereka. 

Namun demikian, melihat perkembangan umat muslim saat ini, apalagi menyaksikan mereka yang akan wukuf di Arafah hari ini, seluruh bangsa dunia bersatu dalam suatu hamparan luas tanpa melihat perbedaan warna kulit, asal negara, gelar kebangsawanan, jabatan politik, kaya-miskin dan sebagainya. Bayangkan, dari semula 300 orang jamaah haji yang dipimpin Abu Bakar di tahun 9 Hijriah, sekarang di tahun 1438 Hijriah telah 2,1 juta orang melaksanakan ibadah haji. Oleh karena itu, hanya ketakjuban akan kebesaran Ilahi yang dapat kita panjatkan. Kita bersyukur, hal ini menunjukkan bahwa Islam benar-benar menjadi agama yang rahmatan lil ‘alamin.

Namun demikian, terlepas dari hasil perkembangan dan pertumbuhan umat muslim saat ini, sejatinya kekuatan umat Islam adalah tetap menjaga kualitas keimanannya, karena hanya dengan keimanan lah, maka sesungguhnya umat muslim tertinggi derajatnya di mata Allah SWT. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Ancam Pakai Senpi, Uang Rp 38 Juta Digondol

Kejar Target 1 Juta Wisatawan, AP I Terus Poles Bandara Juanda