Presiden Joko Widodoresmi menunjuk sebagian wilayah kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara sebagai calon ibu kota baru pengganti Jakarta. Meski pindah ibu kota bukan rencana yang baru kita dengar, tetap saja mengejutkan. Sebab penunjukan lokasi berlangsung cepat. Malah pekan lalu pemerintah mengaku masih belum menentukan final lokasi ibu kota baru, lantaran masih ada kajian yang belum rampung.
Pengumuman resmi awal pekan ini memunculkan polemik dan tanda tanya. Bukan saja soal keseriusan Jokowi tapi dasar kajian yang melandasi pemilihan dua lokasi itu. Hingga saat ini publik tidak tahu menahu seperti apa hasil kajian komprehensif, jika benar sudah dilakukan.
Tentu saja kita tidak puas dengan dokumen powerpoint yang berisi paparan Menteri PPN yang beredar di media sosial. Yang publik butuh adalah hasil kajian mendalam secara ekonomi, ekologis, sosial, budaya yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademik. Yang demikian itu untuk menjawab berbagai pertanyaan yang kini berkembang liar di luar sana.
Sebesar apa beban Jakarta berkurang dengan tidak lagi menyandang predikat sebagai ibu kota? Benarkah relokasi ibu kota tidak menimbulkan masalah baru? Benarkah risiko bencana minim di kawasan yang membentang melintasi kabupaten Penajam Paser Utara dan kabupaten Kutai Kartanegara? Bagaimana konsep tata ruang yang bersahabat dengan alam dan masyarakat lokal? Dan sebagainya.
The devils are in the details . Hal yang terlihat kecil bisa jadi kelak sangat berpengaruh terhadap hal yang lebih besar. Jangan sampai anggaran sebesar Rp 466 triliun –pun tidak menggunakan APBN– jadi mubazir lantaran perencanaan yang tidak matang.