Putusan itu diambil dalam sidang putusan uji materi tentang keserentakan pemilu yang diatur dalam Pasal 167 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Pasal 201 Ayat (7) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (26/2).
Majelis hakim MK menegaskan bahwa penggabungan penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden, DPR, serta DPD bertujuan menguatkan sistem presidensial di pemerintahan Indonesia. Apa makna dari putusan Mahkamah Konstitusi itu? Berikut wawancara Koran Jakarta dengan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari.
Apa maksud dari putusan Mahkamah Konstitusi tentang pemilu serentak itu?
Dalam mendesain sistem pemilihan umum ke depan, pembuat undang-undang harus patuh pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Pasalnya, MK baru saja membuat putusan yang menegaskan bahwa pemilu serentak harus menggabungkan antara pemilihan presiden-wakil presiden, anggota DPR, dan DPD. Keputusan itu bersifat final dan mengikat. Dengan demikian, DPR sebagai pembuat undang-undang tidak boleh keluar dari konsep itu.
Majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menyebutkan bahwa keserentakan pemilihan umum yang diatur di Undang-undang Pemilu dan UU Pilkada dimaknai sebagai pemilihan umum untuk memilih anggota perwakilan rakyat di tingkat pusat, yaitu presiden dan wakil presiden, DPR, serta DPD. Artinya, ketiga pemilihan wakil rakyat itu tak bisa dipisahkan satu sama lain.
DPR sebagai pembuat undang-undang harus sesuai dengan enam model yang sudah ditentukan MK itu dalam memastikan keserentakan proses penyelenggaraan pemilu ke depannya.
Selain menegaskan bahwa pemilu serentak dilaksanakan dengan menggabungkan pilpres, pemilihan DPR dan DPD, MK juga memberikan enam model yang bisa digunakan oleh pembuat undang-undang mendesain pemilu, apa maksudnya?
Model pertama, pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, dan pemilihan anggota DPRD. Kedua, pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, gubernur, bupati/ wali kota. Ketiga, pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, anggota DPRD, gubernur, dan bupati/wali kota.
Keempat, pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, dan beberapa waktu setelahnya dilakukan pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, pemilihan gubernur, dan bupati/ wali kota.
Kelima, pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilu serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD provinsi, gubernur, dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilakukan pemilu serentak kabupaten/kota untuk memilih DPRD kabupaten/kota dan memilih bupati/wali kota.
Terakhir, pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden dan wakil presiden.
Apa maksud dari enam alternatif model yang diberikan MK itu? Mana alternatif yang ideal?
Meski MK memberi sejumlah pilihan, DPR harus mempertimbangkan banyak hal untuk menentukan model yang dipilih. Jangan sampai, pemilu ke depan justru didesain tidak efektif dan menyulitkan penyelenggara.
Pembuat undang-undang juga harus mempertimbangkan itu, tidak kemudian asal konstitusional kemudian dijadikan pilihan. Jadi, selain dia konstitusional juga baik untuk diterapkan.
Dari enam model yang diberikan oleh MK, yang paling ideal adalah membagi pemilu menjadi dua, yaitu pemilu nasional dan lokal. Pemilu nasional digelar untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, serta DPD. Sedangkan pemilu lokal untuk memilih anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, gubernur, serta bupati atau wali kota. Artinya dua pemilu serentak. n P-4