in

Indonesia, Turki, dan Demokrasi

Presiden Joko Widodo melakukan lawatan kenegaraan ke Turki (6–8 Juli) sebagai balasan atas kunjungan Presiden Recep Tayyip Erdogan ke Jakarta pada 2015. Jokowi akan memanfaatkan kunjungan tersebut untuk meningkatkan hubungan kerja sama kedua negara dalam berbagai bidang. Terutama peningkatan kerja sama di bidang ekonomi, industri strategis, hingga pemberantasan terorisme.

Selain itu, Indonesia dan Turki merupakan dua negara dengan mayoritas penduduk muslim di mana Islam dan persoalan demokrasi mendapat tempat persemaiannya. Kedua negara mampu menempatkan Islam dan demokrasi secara kompatibel. Bahkan, oleh banyak peneliti Barat seperti Martin van Bruinessen, Indonesia dan Turki dinilai sebagai objek menarik karena sejarah politik tak begitu kentara terlihat di mana Islam dan demokrasi menjadi begitu dipertentangkan.

Berbeda dengan negara-bangsa lain dengan mayoritas masyarakat muslim, wacana Islam dan demokrasi tampaknya belum terkebumikan dalam arena politik praktis. Padahal, isu Islam dan demokrasi sejak dekade 90-an menjadi tren global, terutama di kalangan akademisi. Ada yang menganggap kompatibel. Ada juga yang menganggap inkompatibel. Setidaknya, pengalaman Islam dan demokrasi antara Indonesia dan Turki menjadi contoh yang baik karena bisa menunjukkan kompatibilitas keduanya.

Dalam buku berjudul The Third Wave Democratization (1997) Samuel Huntington menyatakan, gelombang ketiga pertumbuhan negara-bangsa, wacana dan praksis demokratisasi mendapat tempatnya kembali. Variabel yang menunjukkan gelombang demokratisasi yang meningkat itu, menurut Huntington, antara lain, bertumbangannya rezim-rezim otoriter; peran sipil yang menonjol menggantikan dominasi militer; terjadinya proses pemilu secara jujur, adil, dan transparan serta tidak ada dominasi kepartaian; dan terbukanya kebebasan berpendapat yang direpresentasi dengan kebebasan pers.

Namun, tren demokratisasi yang berkembang itu kurang begitu tampak di negara-bangsa Islam selain Indonesia dan Turki. Menurut laporan yang berjudul Freedom in the World: The Democracy Gap, sejak awal dekade 70-an ketika demokratisasi gelombang ketiga dimulai, di dunia Islam umumnya sangat begitu minim yang mengapresiasi keterbukaan politik (political openess), kurang respek terhadap persoalan-persoalan HAM, serta kebebasan pers dan transparansinya yang tersumbat. Celah demokrasi (democracy gap) antara dunia Islam dan tatanan negara-bangsa yang tengah dilanda gelombang ketiga demokratisasi itu terlihat sangat begitu dramatis (Azyumardi Azra, Indonesia, Islam and Democracy, Singapura: Solstice, 2006).

Sebanyak 121 di antara 192 negara-bangsa di dunia saat ini telah melaksanakan pemilu secara demokratis. Namun, di negara-bangsa di mana muslim menjadi mayoritas, hanya 11 di antara 47 (atau hanya 23 persen) yang sudah membentuk pemerintahan secara demokratis. Padahal, di dunia non-Islam, 110 di antara 145 negara (atau lebih dari 76 persen) telah melangsungkan pemilu secara demokratis. Kesimpulan dari laporan Freedom in the World menandakan bahwa negara-bangsa non-Islam lebih menyukai tatanan demokratis daripada negara-bangsa Islam.

Sebelas di antara 31 negara-bangsa non-Arab telah melaksanakan pemilu secara demokratis, sedangkan 16 dari negara-bangsa Arab; satu (Tunisia) masih menggunakan sistem presidensial yang otoriter; dua (Libya dan Irak) keduanya didominasi sistem kepartaian yang diktator; empat (Aljazair, Mesir, Syria, dan Yaman) adalah negara-bangsa dengan sistem kepartaian yang didominasi partai tertentu. Namun, meski demikian di sana masih ada kekuatan politik oposisi, sedangkan sembilan negara-bangsa Arab masih menggunakan sistem kerajaan (monarki).

Fenomena yang menggambarkan titik-titik terang (bright spots) demokrasi di sebagian kecil negara-bangsa non-Arab tapi muslim menjadi mayoritas seperti Indonesia, memang menunjukkan bahwa hubungan antara Islam sebagai sebuah ajaran (yang diwahyukan) dan demokrasi sebagai produk kreasi manusia masih memiliki dinamika tersendiri, maksudnya demokrasi belum sepenuhnya diterima atau diaktualisasi sebagai suatu aturan main bagi terlaksananya tatanan negara-bangsa.

Melihat kasus di Indonesia, misalnya, meski dinamika demokratisasi tidak akan pernah bisa dilepaskan dari fenomena Islam dan masyarakat muslim, kebijakan politik luar negeri Indonesia tidak pernah melibatkan Islam sebagai faktor yang memengaruhinya.
Merujuk Hasjim Djalal dan Sofyan Wanandi (1999), kebijakan politik luar negeri Indonesia dipengaruhi kebutuhan-kebutuhan fundamental dalam rangka penguatan kenegara-bangsaan Indonesia itu sendiri.

Pertama, faktor pengembangan konsep pembangunan nasional, secara khusus lagi dalam ranah pembangunan sosial dan ekonomi. Kebijakan luar negeri Indonesia berorientasi pada pengembangan konsep pembangunan itu sendiri yang diaktualisasi seperti mempromosikan bahwa Indonesia adalah bangsa yang stabil dan damai, pertumbuhan sosial dan ekonomi yang signifikan dan kooperatif berhubungan dengan negara-negara asing.

Kedua, mengangkat isu-isu domestik tentang persatuan nasional bahwa Indonesia adalah sebuah negara-bangsa yang pluralistis-multikulturalistis, terdiri atas beragam etnis, suku bahasa, kebudayaan, agama, dan banyak provinsi serta kepulauan.
Ketiga, mengangkat isu ke dunia luar dalam mempromosikan penegakan keadilan dan hukum. Salah satu hal mutakhir wacana yang menggema di tengah-tengah masyarakat adalah penegakan keadilan dan hukum. Wacana itu pun dianggap efektif sebagai upaya yang diperjuangkan Indonesia dalam kebijakan politik luar negerinya.

Keempat, faktor pengusungan isu-isu demokratisasi dan HAM bahwa Indonesia tengah berjuang menegakkan demokrasi dan HAM sebagai tuntutan mendasar dari zaman reformasi. Namun, meski faktor Islam tidak diperhitungkan dalam kebijakan politik luar negeri Indonesia, secara domestik Islam justru menjadi dinamika tersendiri dalam pentas politik dan pada masa transisi demokrasi Indonesia.

Menurut Robert Hefner dalam Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia (2000), demokrasi bisa tumbuh di negara-negara Islam. Islam di Indonesia yang ditemukan melalui penelitiannya adalah contoh bagaimana Islam dan demokrasi tidak memiliki posisi yang saling berhadapan untuk meniadakan satu sama lain. Islam dan demokrasi bisa berjalan seiring karena keduanya memiliki roh yang sama dalam menghargai hak asasi manusia, kesetaraan, dan mendukung partisipasi masyarakat. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Lubuakalai-Gunuangmalintang Rusuh

Konsumen Untung, Produsen Buntung