PADEK.CO—Suku Mentawai di Provinsi Sumatera Barat memiliki kebudayaan yang sangat kuat dan masih terjaga dari terjangan arus modernisasi. Beberapa kebudayaan masyarakat Mentawai yang terkenal seperti tato, tradisi meruncingkan gigi, Sikerei, Turuk Laggai, dan rumah adat Uma.
Kabupaten Kepulauan Mentawai ini memiliki empat pulau utama; Pagai Utara, Pagai Selatan, Sipora, dan Siberut. Jumlah penduduknya sekitar 30 ribuan jiwa, diyakini, para nenek moyang suku Mentawai telah bermigrasi ke wilayah ini antara 2000-500 SM.
Kebudayaan Suku Mentawai sudah menjadi identitas sekaligus keunikan yang lestari hingga kini. Tato sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia (WBTbI) tahun 2014, Sikerei (2019), Uma (2020), Kirekat (2022), Pasikut Abag (2022).
Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Sumbar, Syaifullah, melalui Kabid Warisan Budaya dan Bahasa Minangkabau, Aprimas, mengungkapkan tahun 2023 ini ditetapkan 7 WBTb dari Kepulauan Mentawai ditetapkan sebagai WBTb Indonesia (WBTbI) tahun 2023. WBTb tersebut yakni, Pangurei, Panunggru Mentawai, Pasipiat Sot Mentawai, Opa Mentawai, Mone Mentawai, Turuk Laggai, Gajeumak Mentawai.
Berikut penjelasan Dinas Kebudayaan Sumbar terhadap 7 warisan budaya masyarakat Kepulauan Mentawai yang telah ditetapkan jadi WBTbI:
Pangurei
Pangurei merupakan pesta pernikahan adat secara tradisional Suku Mentawai. Pesta Pangurei adalah sebuah keharusan. Karena menjadi keabsahan perkawinan menurut adat-istiadat masyarakat Suku Mentawai.
Itulah sebabnya, sebelum acara Pangurei ini dilaksanakan, pengantin perempuan tidak diperkenankan mengunjungi orang tuanya beserta kaum sukunya, kecuali hal yang mendadak dan tidak bisa dielakkan, seperti orang tuanya sakit, ada yang meninggal dalam kaum sukunya.
Di samping itu, sebelum Pesta Pangurei ini dilangsungkan, pengantin baru tidak akan mendapatkan bagian apapun dari keluarga pihak perempuan beserta kaum sukunya. Misalnya, ketika musim buah-buahan, mereka tidak akan mendapatkan jatah, begitu juga halnya dengan hasil buruan, mereka tidak akan mendapatkan bagian.
Dalam Pesta Pangurei, berhubungan dengan mas kawin (alat toga) diselesaikan sebelum acara dilangsungkan. Pesta Pangurei ini, tergantung dari kesiapan keluarga perempuan besarta kaum sukunya.
Pesta Pangurei melibatkan kaum suku, baik dari pihak perempuan sebagai pelaksana, maupun dari pihak laki-laki sebagai objek.
Panunggru Mentawai
Kematian di lingkungan masyarakat Suku Mentawai, khususnya di Pulau Siberut, tidak serta merta putus hubungan antara yang mati dengan yang masih hidup. Tidak jarang yang masih hidup merasa diikuti atau dihantui oleh yang sudah meninggal. Apalagi jika yang meninggal tersebut masih ada hubungan saudara atau keluarga.
Menyikapi dan mengantisipasi ketakutan yang berkepanjangan tersebut, maka di kalangan masyarakat Siberut ada acara yang mereka sebut Punen Panunggru.
Di Kepulauan Mentawai, masa berkabung bagi keluarga yang ditinggal ditandai dengan menanggalkan dan menyimpan perhiasan manik-manik yang mereka pakai dan tidak mengenakan pakaian bagus. Istri ditinggal mati suaminya, memotong lurus sedikit rambut di dahi.
Anak perempuannya memotong sebagian ujung rambutnya, apabila seorang anak meninggal, maka ibunya memotong miring sedikit rambut di dahi kirinya. Selain rambut, sampan juga dipotong untuk menandakan ada peristiwa kemalangan menimpa pemiliknya.
Apabila seorang suami meninggal, istrinya memotong kepala sampan (utet abak) sepanjang 5 cm. Ini menandakan istri kehilangan pemimpin dalam rumah tangganya. Jika istri meninggal, suaminya memotong ujung sampan (muri abak) yang menandakan ia kehilangan pendamping hidupnya. Jika anak yang meninggal, maka orang tuanya memotong sisi kiri bagian tengah sampan (tok-tok abak) yang menandakan ada yang hilang dalam hidup mereka.
Seorang suami atau istri pasangannya yang meninggal akan berganti nama panggilan. Nama yang diberikan sesuai kejadian tertentu pada saat kemalangan itu yang disebut dengan Patonojiakenen.
Pasipiat Sot Mentawai
Suku Mentawai dari Kepulauan Mentawai memiliki tradisi unik. Yaitu tradisi gigi runcing atau biasa disebut Pasipiat Sot. Diperkirakan tradisi meruncingkan gigi ini sudah ada berbarengan dengan eksistensi pertama kali suku tersebut mendiami Kepulauan Mentawai sekitar tahun 500 SM.
Tradisi ini merupakan tradisi mengerik atau meruncingkan gigi pada wanita. Tradisi meruncingkan gigi biasanya dilakukan saat seorang wanita Mentawai saat memasuki umur remaja atau saat akan menikah.
Selain simbol kecantikan, tradisi ini memiliki makna lebih dalam dari sekadar kecantikan. Wanita Suku Mentawai memiliki kepercayaan turun temurun, dengan meruncingkan gigi, tubuh dan jiwa mereka dapat terjaga keseimbangannya.
Pasipiat Sot bagi para wanita bertujuan membuang sifat buruk manusia. Selain itu, sebagai penanda kedewasaan seorang wanita dan dipercaya juga memberikan kebahagiaan dan kedamaian.
Opa Mentawai
Opa/O’orek merupakan tas unik warisan nenek moyang Suku Mentawai berbentuk keranjang dari rotan dan kulit daun sagu yang ringan. Biasa tas ini disandang di punggung wanita saat bepergian ke kebun dan membawa hasil ladang dan laut.
Salah satu alat yang dipakai adalah Opa/O’orek, yang mana memakainya dengan di pundak di bagian punggung, jadi tidak lagi menjinjing ataupun di pundak di bahu. Opa/O’orek ini sangat memudahkan bagi yang memakai. Terutama dalam membawa hasil buruan, tanaman dan hasil ladang yang perjalanan yang cukup jauh dan jalan yang sulit, bersemak, becek, lereng, bebatuan, licin dan melalui hutan yang sangat menguras tenaga dan waktu yang cukup.
Mone Mentawai
Pada masyarakat Suku Mentawai salah satu pranata ekonomi tradisional berupa sistem pengetahuan cara pemenuhan kebutuhan hidup dengan memanfaatkan lahan yang disebut dengan Mone.
Dalam Bahasa Mentawai, Mone merujuk kepada hutan dan ladang, sedangkan mone dalam arti luas harta di suatu Uma. Dalam usaha pemenuhan kebutuhan hidup dengan memanfaatkan alam sekitarnya. Berbagai tanaman dan hewan di alam dapat dijadikan bahan pangan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, upacara dan kebutuhan jangka panjang.
Hasil ladang tersebut menjadi komoditi dan menghasilkan pendapatan bagi masyarakat Suku Mentawai, sehingga meningkatkan kesejahteraan mereka.
Turuk Laggai
Turuk Laggai merupakan tarian menyerupai gerakan hewan atau binatang yang ada di hutan atau di lingkungan yang mereka tempati. Binatang yang mereka tirukan itu binatang yang ada di sekitarnya dan mereka melihatnya. Meski masyarakat Mentawai menjadikan binatang itu sebagai santapannya mereka dalam hal tertentu, tetapi mereka jaga pertumbuhannya.
Hewan yang mereka tirukan itu seperti elang, monyet, ayam bahkan hampir seluruh binatang yang ada di lingkungan mereka. Turuk Laggai merupakan tarian kampung yang mempunyai nilai seni, magik dan nilai mistik.
Setiap acara adat dalam masyarakat Mentawai selalu menggunakan Turuk Laggai. Tarian ini terbagi dua bagian, yaitu: Turuk Sikerei dan Turuk Simatak.
Turuk sikerei merupakan turuk yang dibawakan oleh sikerei yang bersifat sakral dan mistik, yang dilakukan pada saat upacara pengobatan (pulaggengan) dan pesta kematian (punen kamateiat). Tujuan memohon restu dan meminta bantuan kepada roh-roh leluhur atas permasalahan yang sedang dihadapinya yang diiringi dengan uraian dan bunyi kateubak yang bersifat sakral dan mistik. Fungsinya memanggil roh-roh leluhur dan sebagai alat komunikasi dengan roh tersebut atas permasalahan yang dihadapi.
Gajeumak Mentawai
Gajeumak atau disebut juga dengan Kateubak, alat musik pukul tradisional dari Kabupaten Kepulauan Mentawai yang terbuat dari batang pohon enau, kulit binatang, dan rotan yang gampang dijumpai di Mentawai.
Alat musik tersebut dipakai atau dibunyikan dengan irama gembira untuk mengiringi berbagai upacara adat dan kesenian tradisi seperti upacara punen di Mentawai.
Pada saat ditampilkan biasanya dipakai tiga Gajeumak ditabuh sekaligus. Untuk Gajeumak ukuran besar disebut ina dan ukuran sedang disebut kebbuk ditabuh dengan kedua belah tangan. Gajeumak dengan ukuran kecil (disebut bagi) hanya ditabuh dengan tangan kiri, sedangkan pada telunjuk tangan kanan diikatkan sepotong kulit kayu yang kaku (sinnai).
Untuk Gajeumak ukuran besar bisa memiliki panjang 70 cm dan berpenampang 10 cm yang terbuat dari pohon aren atau enau. Begitu juga ukuran batangnya tidak sama besar, sehingga menghasilkan suara berbeda. Gajeumak terdiri dari beberapa bagian yaitu, Uman Gajeumak (batang Gajeumak), Ngungun Gajeumak (mulut Gajeumak) dan pengikat Gajeumak (apra). (*)