in

Inovasi Disruptif dalam Dunia Pendidikan

Inovasi disruptif adalah istilah yang sudah diindonesiakan dari istilah disruptive innovation. Tokoh kunci yang mencetuskan konsep ini adalah Clayton M Christensen, yang menulis artikel bertajuk ‘Disruptive Technologies: Catching the Wafe”, yang dimuat di jurnal Harvard Business Review (1995). 

Poin utama dan menjadi awal konsep pemikiran Christensen adalah bahwa inovasi dalam bisnis bisa saja diterapkan melalui cara mengganggu atau merusak pasar yang sudah ada dan pada akhirnya menggantikan teknologi. Di awal berkembangnya, konsep ini fokus pada bagaimana para eksekutif menentukan pendanaan dan pembelian di suatu perusahaan berkaitan dengan pendapatan perusahaan di masa depan. 

Merujuk ke Wikipedia, kita bisa baca dan simak betapa berbagai kemudahan teknologi praktis yang kini menjadi produk massal dan mempengaruhi gaya hidup kita justru bermula dari keberanian produsen dalam menerapkan taktik dan strategi inovasi disruptif. 

Banyak sekali contohnya. Sekadar beberapa contoh nyata (dan jarang kita sadari selama ini), teknologi komunikasi via telepon adalah bentuk inovasi disruptif atas komunikasi telegraf. Produk Personal Computer adalah teknologi ‘pengganggu’ terhadap minicomputers, kamera digital merupakan inovasi disruptif terhadap kamera film dan mobil wujud inovasi disruptif dari kereta kuda dan kereta api.

Adalah hal yang lumrah dan logis, saat produk teknologi inovasi disruptif diluncurkan ke tengah pasar (baca: produsen/masyarakat pengguna), terjadi keadaan yang tidak mengenakkan. Produsen menjadi terganggu, pasar ‘dirusak’ kemapanannya karena merasa sudah terbiasa dengan produk teknologi dan sistem kerja (bahkan gaya hidup) yang diserap dan dipraktikkan sehari-hari menggunakan teknologi lama. Apalagi jika sebelumnya tidak ada sosialisasi, atau sosialisasi dilakukan sekenanya saja tanpa studi dan tahapan kelayakan yang beradaptasi dengan situasi riil di lapangan.

Menariknya, dalam sejarah evolusi dan revolusi teknologi, inovasi disruptif akhirnya diterima, seiring usaha meninggalkan produk teknologi sebelumnya. Ini sejalan dengan salah satu konsep dalam paradigma perubahan sosial, bahwa percepatan perubahan teknologi selalu lebih dulu berada di depan meninggalkan perubahan sikap dan paradigma masyarakat yang berujung pada perubahan dan penyesuaian tingkah laku seiring perubahan teknologi. Terlebih, penerimaan masyarakat itu terutama didasari dengan pertimbangan bahwa inovasi teknologi melalui strategi inovasi disruptif tidak menyalahi motif utama manusia memakai teknologi yang lebih canggih: memudahkan dan memurahkan (membuat segala sesuatu lebih efektif dan efisien).

Seiring perkembangannya, inovasi disruptif juga semakin berkembang ke ranah ekonomi kreatif, administrasi publik dan pendidikan (terutama pendidikan tinggi). 

Salah satu yang paling menyedot perhatian global adalah ide mengenai pembelajaran dalam jaringan (online). Ternyata ide ini sudah mengemuka hampir sepuluh tahun lalu, tepatnya 2008 saat Massive Open Open Course (MOOC) menjadi primadona perbincangan dalam konteks disruptive innovation in education field (inovasi disruptif dalam dunia pendidikan). 

Sebagaimana bisa kita simak melalui pidato pengukuhan guru besar Prof Dr Ridwan Sanjaya (2017), Profesor di bidang Sistem Informasi, Universitas Seogijapranata, Semarang, beberapa situs MOOC atau kursus daring yang sudah dikenal masyarakat adalah edX (edX.org), Udacity (udacity.com), Udemy (udemy.com), dan Coursera (coursera.org). 

Seluruh situs tersebut menawatrkan kelas gratis kepada (calon) siswanya. Di Indonesia, situs indonesia.co.id yang berdiri pada 2015 memiliki tujuan yang sama dengan edX.

Jika kita mau membuka mata dan lebih terbuka terhadap hal-hal positif dari inovasi disruptif, maka tentu ide pembelajaran daring tidak sepenuhnya ‘merusak’ tatanan paradigma proses pembelajaran tatap muka yang selama ini sudah ‘telanjur’ mapan kita pakai terutama di institusi pendidikan tinggi. Memang, kita masih percaya, komunikasi interaktif secara langsung tidak akan pernah tergantikan sebagai instrumen interaksi proses belajar mengajar (PBM) paling efektif. Namun, pembelajaran daring justru bisa menjadi alternatif dalam situasi dan kondisi tertentu sebagai solusi efektif agar PBM tetap sampai tujuannya dan tidak pula mengurangi maknanya.

Sebagai contoh, kita selama ini tanpa sadar melakukan pembelajaran via daring manakala butuh penjelasan gamblang tentang konsep-konsep rumit yang hanya bisa didapat melalui video-video gratis di youtube.com. Ini sejalan dengan apa yang dikatakan lebih jauh oleh Sanjaya (2017) bahwa pembelajaran daring sejatinya sudah sering kita gunakan sebagai pengganti kelas atau tambahan kelas perkuliahan maupun digabung dalam hybrid atau blended learning. Yang lebih dahsyat (namun sudah terjadi sejak 5-10 tahun terakhir), anak-anak generasi milenial sudah melakukannya sejak usia dini tanpa kita sadari. 

Kesimpulannya, perguruan tinggi punya peran agar inovasi disruptif bisa menjadi ide dan pilihan baru dalam pengembangan inovasi pembelajaran, kurikulum, pemanfaatan sarana dan prasarana kampus, serta sistem informasi. Apa yang baik dari teknologi dan inovasi terbaru harus bisa dimanfaatkan agar jadi bagian solusi atas permasalahan dan kebutuhan yang semakin kompleks di dunia pendidikan. Transformasi perguruan tinggi yang lebih baik, lebih mudah, lebih sederhana dan lebih nyaman merupakan usaha terus-menerus yang tidak boleh berhenti. Dengan begitu, perguruan tinggi dapat menjadi lingkungan yang terus berkembang dan menginspirasi masyarakat. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by Julliana Elora

Unand segera Revisi Kurikulum

Rayakan HUT Accor bersama Local Heroes