in

Intelektual Konsumen

Apa bentuk produk utama dari kaum intelektual? Buku, artikel di jurnal, artikel di koran, atau apa? 

Jawabannya, bukan buku dan bukan pula artikel. Itu hanya bungkus. Dari zaman dulu sampai sekarang sebenarnya produk utama kaum intelektual adalah konsep, model dan teori (KMT). Deskripsi yang mengiringi hanya berfungsi sebagai penopang produk utama agar dapat dipahami.

Dari segumpal otak kaum intelektuallah lahir berbagai KMT yang sekarang kita konsumsi. Mereka menggagas konsep tentang masyarakat, pemerintahan, demokrasi, siklus gempa, kepunahan dinosaurus, perkembangan manusia, konstruksi ilmu pengetahuan, metodologi dan banyak lagi. Siapa mereka itu? Hampir seluruhnya bukan orang Indonesia.

Kalau kita hitung secara cermat mungkin ada ribuan KMT yang telah mereka buat. Seperti karakter produk manusia lainnya, sebagian KMT itu bertahan dan terpakai sampai sekarang, sebagian lagi menjadi barang yang tidak laku atau rontok karena muncul produk tandingan. 

KMT yang tidak laku adalah yang tidak pernah dilirik oleh anggota komunitas intelektual, tak pernah dibicarakan, dan tidak pernah pula dikutip dalam membangun konstruksi KMT baru. Populasi KMT seperti ini sangat banyak, mungkin ribuan.

Sebagian KMT pernah menjadi populer, memperoleh kumpulan orang-orang yang meyakini kebenarannya dan sering dibicarakan. Namun akibat munculnya KMT baru ia menjadi tidak laku lagi atau kehilangan pengikut dalam jumlah banyak. 

Teori Ptolemy tentang bumi adalah salah satu KMT yang bertahan berabad-abad, tapi kemudian diruntuhkan oleh Copernicus. Teori ekonomi sosialis yang digelontorkan Marx, juga pernah populer selama beberapa dekade di negara-negara blok komunis, tapi kemudian ditinggalkan sejalan dengan runtuhnya negara-negara komunis.

Di panggung intelektual Barat membangun KMT dan berusaha menjualnya ke seluruh dunia sudah menjadi tradisi. Sebagai barang dagangan, penggunaan trik-trik bahkan pemaksaan agar diterima orang tidak aneh lagi. KMT komunisme tidak dijual di pasar bebas, tapi dijual dengan memaksa orang agar membeli. Siapa yang tidak mau membeli dianggap musuh.

Trik lain adalah dengan menciptakan sindikat pendukung, mendorong orang memberi endorsement atau komentar baik-baik, atau melakukan pengutipan sampai akhirnya terkesan sebagai KMT penting. Dengan demikian, muncul konsumen baru yang menjadi pembeli sesungguhnya. Konsumen baru itu tersebar di berbagai negara, terutama di negara yang intelektualnya tidak pernah memproduksi KMT.

Bagaimana posisi intelektual Indonesia dalam pasar KMT? Posisi sebagai produsen KMT jelas tidak. Kita punya ribuan doktor dan profesor, tapi hanya segelintir kecil yang berusaha menjadi produsen. Tapi, hasil penjualannya menyedihkan. Jangankan dibeli orang asing, sesama intelektual Indonesia pun enggan membelinya. Posisi kita tidak lebih hanya sebagai intelektual konsumen.
Mengapa intelektual kita enggan memproduksi KMT? Kurang ilmu atau kurang berani? Saya lebih suka memilih kata ’kurang berani’, bukan karena ’kurang ilmu’. 

Untuk jadi produsen KMT harus ada keberanian bergerak keluar dari belenggu-belenggu yang dibuat oleh sindikat produsen KMT dari negara maju, terutama Amerika Serikat dan Eropa. Mereka yang menciptakan imej bahwa yang mampu memproduksi KMT hanya intelektual mereka. Kaum intelektual di negara-negara yang tidak maju dicitrakan sebagai kelompok yang tidak berkualitas dan produk mereka tidak akan laku di negara maju.

Sebenarnya kalau intelektual kita punya keberanian keadaan seperti ini tidak perlu terjadi. Saya menyarankan agar memberanikan diri memproduksi KMT sebanyak-banyaknya. Jangan takut tidak akan laku. Jangan pula takut akan dicemooh. Ditolak, dicaci atau dipuja itu soal biasa, lumrah terjadi. Kalau mau, buat pula sindikat pembeli bayangan yang membuat kesan seolah-olah produk itu bermutu. Ini soal pemasaran saja. Jangan kalah dari mereka.

Belajar dari pengalaman intelektual dari negara maju, toh mereka juga banyak memproduksi KMT yang kemudian jadi sekadar kenangan karena tidak laku. Teori Neo-liberalisme pernah jadi barang tidak laku bahkan jadi cemooh selama 50 tahun. Tapi kemudian nasib baik beralih ke penciptanya, Hayek. Teori itu bahkan kemudian menjadi primadona di kalangan intelektual berbagai negara, sekalipun sejatinya bersifat sangat menindas. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by Julliana Elora

Hadiah Ulang Tahun Untuk Ibu

7 Laporan Melenggang ke Pokok Perkara