Oleh: Dudy Oskandar, Jurnalis
ARSIP Belanda di Komisariat Belanda di Palembang menyimpan banyak dokumen-dokumen yang khusus Pascakolonial adalah masalah yang terjadi di Sumatra – khususnya – di Indonesia dan Belanda pada periode 1950-1957 umumnya sangat topikal. Arsip ini juga terdiri dari banyak dokumen yang berkaitan dengan urusan sehari-hari perwakilan Belanda.
Arsip tersebut berisi dokumen tentang korespondensi, masalah kepegawaian, protokol dan urusan diplomatik, dokumen yang terkait dengan kuburan perang dan monumen. Serta potongan
tentang pengiriman dan perdagangan.
Banyak materi arsip juga memiliki konten seperti; repatriasi, migrasi dan naturalisasi, mengeluarkan visa, ketertiban umum dan kesehatan masyarakat, ekonomi dan sosial urusan, pendidikan dan budaya, hubungan bilateral antara Belanda dan Indonesia dan masalah militer terkait arsip.
Representasi Belanda di Palembang 1950-1957
Palembang, ibukota provinsi Sumatra Selatan di Indonesia, adalah salah satu dari enam kota yang sementara ditunjuk pada akhir 1949 untuk pembentukan dewan pengawas Belanda.
Sungai Musi menghubungkan Palembang juga pulau Banka dan Laut Jawa dan di 1950 jumlah penduduknya sekitar setengah juta penduduk dan dipengaruhi oleh keberadaan
kilang minyak menjadi pusat perdagangan yang ramai.
Palembang terdiri dari rawa dan hutan dan iklimnya ditandai dengan iklim yang lembab.
Jacobus van der Zwaal (1901-1983) menjadi direktur sementara pada Januari 1950 lembaga Komisaris ini. Sebelumnya, ia pernah menjadi penduduk Sulawesi Selatan
Di Palembang dia menjabat tidak lama, setelah beberapa minggu, ia dipromosikan ke jabatan di pos yang lebih menonjol. Dia juga bercita-cita untuk ke Surabaja, keinginannya terpenuhi dan ia mengundurkan diri dari 1 Maret 1950.
Ia digantikan oleh Auke Johannes Vleer (lahir 1911). Vleer adalah mantan sekretaris Konsultasi Federal Khusus antara Belanda dan Indonesia. Selama masa jabatannya ia menjadi Commissariat secara resmi didirikan (KB.24-4-1951 no.65).
Penunjukan resmi Vleer ke Komisioner Belanda berlangsung di KB.25-6-1951 no.23. Sampai 1 Maret 1955 ia memegang ini. Setelah kembali ke Belanda, ia diberikan pemberhentian yang terhormat pada 1 Maret 1956. Penggantinya Jan Willem Naarding (1911-1967).
Setelah kepergian Vleer, digantikan Hein Warnaar (lahir 1912) menjabat sebagai pejabat sementara selama enam bulan.
Warnaar sebelumnya bekerja di Komisi Belanda di Jakarta
Medan, pada bulan Agustus 1955 ia pergi ke Belanda dan menjadi pejabat departemen, pada bulan Mei 1958
ia melanjutkan karirnya di Departemen Luar Negeri sebagai sekretaris pertama di kedutaan di Singapura
dan Kopenhagen. Dia kemudian sempat dipromosikan ke berbagai pos lainnya dan diterima pada tahun 1977 sampai akhirnya pensiun.
Komisaris Belanda terakhir di Palembang adalah Willibrord David Benedict Maria van Nierop (1914-1969). Jabatan sebelumnya adalah kedutaan di Ankara, tempat ia menjadi sekretaris pertama
Dia menerima pengangkatannya di KB.6-7-1955 no.84 dan mengambil alih di Palembang pada 28 Juli.
Pada tahun 1955 setelah penutupan komisaris di Palembang pada bulan Desember 1957 ia kembali ke Belanda dan diangkat menjadi duta besar Belanda untuk Argentina pada Mei 1958 sampai akhirnya diberikan pemecatan terhormat pada tahun 1960, tetapi ia kembali ke departemen Den Haag pada tahun 1966 meninggal secara tak terduga pada tahun 1969.
Jumlah staf Komisariat Palembang relatif kecil.
Yurisdiksi komisariat dibuat atas perintah Sekretaris Negara 16 Juli 1951 Luar Negeri dan Menteri Urusan Serikat Pekerja dan Departemen Luar Negeri yang didirikan berdasarkan
Provinsi Sumatra Selatan dan Djambi sama dengan provinsi Sumatra Tengah yang memiliki area yang luas sehingga kurang efektif jika berjalan secara fisik.
Itulah sebabnya Jacobus van der Zwaal (1901-1983) yang menjadi direktur sementara pada Januari 1950
menganggap berguna pada 1950 untuk membangun jalan-jalan tersebut dari sejumlah direktur pengawas kehormatan atau konsulat, rencana ini muncul namun bertentangan dengan mereka, hal ini umumnya berlaku di kalangan pemerintah Indonesia apalagi terkait jumlah representasi Belanda di kepulauan tersebut
Karenanya Palembang tetap berhubungan dengan koresponden dengan Belanda.Koresponden ini tidak menikmati status resmi. Apalagi ,komunitas Belanda di Sumatra Selatan tidak terlalu besar dibandingkan dengan Jawa.
Pada tahun 1956, 4700 orang Belanda tinggal lalu turun menjadi 2.500 tinggal di Palembang.
Kebanyakan dari mereka dipekerjakan oleh perusahaan besar, seperti N.V.Bataafse Petroleum Company dan N.V. Standard Vacuum Petroleum Company, dan mereka tetap tinggal
biasanya hanya sementara di Indonesia.
Kehadiran kolonial Belanda telah berlangsung selama reorganisasi Belanda .Representasi Belanda di Indonesia hingga pada tahun 1954 tidak dianggap perlu untuk melakukan perawatan sosial.
Untuk menempatkan orang-orang Belanda di lembaga terpisah terutama untuk pekerjaan sosial lebih banyak di komisariat di kota-kota besar di Jawa.
Jumlah orang Belanda di Palembang
Dukungan Komisaris hanya sebagian kecil dari jumlahnya di Jakarta, Surabaja, Bandung dan Semarang.
Terhadap latar belakang meningkatnya kontradiksi politik antara Belanda dan Indonesia Komisaris berganti nama menjadi representasi Belanda pada Mei 1956.
Direktur pengawas kemudian ditunjuk sebagai representasi konsuler. Ini ada di Desember 1957, setelah sikap anti-Belanda oleh penduduk Indonesia sudah dalam bentuk mengancam, terutama di Sumatra banyak terjadi pemberontakan langsung terhadap pemerintah pusat pada tahun 1957.
Jakarta menjadi kacau setelah diumumkan pengepungan militer
Dan badan-badan pemerintahan. Di luar kota-kota, perang saudara berkecamuk.
Pada 9 Desember 1957, Van Nierop menerima pesanan menghentikan kegiatannya walaupun mereka sudah dilindungi oleh otoritas militer setempat. Komandan teritorial Indonesia tidak menerima penghentian aktivitas Belanda karena itu dianggap tidak resmi.
Van Nierop kemudian mengatur pekerjaan tanpa kemungkinan komunikasi yang baik dengan perwakilan diplomatik Belanda di Jakarta, karena layanan kurir tidak lagi berfungsi dan koneksi telepon radio ke Jakarta juga mengalami gangguan serius sehingga tidak bisa menerima informasi lebih lanjut secara tidak langsung .
Representasi harus diselesaikan sesegera mungkin, pada tanggal 18 Desember 1957, Komandan wilayah Palembang setuju dengan penutupan yang tak terhindarkan akan aktivitas Belanda di Palembang.
Dalam hal terjadi pemutusan representasi Belanda di Palembang, penanganan yang berkaitan dengan arsip sejumlah instruksi, arsip rahasia harus sejauh mungkin dikembalikan dan bahan yang tersisa serta dokumen yang tidak diklasifikasi harus dikemas, disegel, dan dikirim ke Singapura secara pribadi.
R.Busselaar dan J.van Zaane sendiri membakar semuanya pada tanggal 20 Desember 1957 arsip rahasia tersebut.
Sisa-sisa arsip dipindahkan ke Singapura pada 21 atau 28 Desember 1957. Singapura menjadi tempat penampungan arsip Belanda l lalu diangkut dengan kapal ke Belanda dan pada tanggal 29 Maret 1958 saat tiba di Kuala Lumpur Kementerian Luar Negeri, arsip tersebut dikemas dalam tiga kotak besar, perkiraan kasarnya
maka ukurannya adalah 12 sampai 15 meter. Ini diambil pada awal inventaris pada bulan Juli 1985 ditemukan 5,5 meter, perbedaannya mungkin disebabkan oleh tidak dicatat saat kegiatan penghancuran.
Akuisisi arsip.
Sumber : Inventaris van het archief van het Nederlands Commissariaat te Palembang (Indonesië), 1950-1957, Auteur: A.C. van der Zwan Nationaal Archief, Den Haag 1986