Perlu upaya fiskal serta perbaikan perizinan, kepastian hukum, dan birokrasi agar investasi di industri substitusi impor dan berorientasi ekspor bisa melaju kencang.
JAKARTA – Upaya memperbaiki kinerja perdagangan Indonesia, selain dilakukan dengan memacu ekspor, juga mesti dibarengi dengan pengendalian atau pembatasan impor. Terkait dengan pembatasan impor, agar supaya kebijakan tersebut berjalan efektif maka harus didukung dengan upaya serius mendorong investasi pada industri substitusi impor.
Pengamat ekonomi dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, Sekar Utami Setiastuti, mengemukakan kebijakan pembatasan barang impor yang dikeluarkan pemerintah untuk beberapa komoditas beberapa waktu lalu merupakan kebijakan bagus. Namun, hal itu sebenarnya hanya seperti memasang plester pada luka besar, atau tidak menyelesaikan akar masalahnya.
Sebab, lanjut dia, kalau mau benar-benar membatasi impor yang harus dilakukan adalah dengan mendorong industri substitusi impor yang kuat dan berkelanjutan. Dan, untuk itu dibutuhkan investasi yang besar.
“Padahal masalahnya, laju investasi juga belum membaik sampai saat ini. Maka, perlu upaya fiskal dan perbaikan perizinan, kepastian hukum, dan birokrasi yang memadai, agar investasi, terutama di industri substitusi impor dan berorientasi ekspor bisa melaju kencang,” papar dia, ketika dihubungi, Selasa (25/6).
Sebelumnya, sejumlah kalangan menilai kinerja perdagangan Indonesia belum menggembirakan. Meskipun neraca perdagangan pada Mei 2019 mencatatkan surplus 210 juta dollar AS namun secara kumulatif sepanjang Januari-Mei masih membukukan defisit 2,14 miliar dollar AS. Defisit itu dipicu impor minyak dan gas (migas) yang tinggi.
Guna memperbaiki kinerja perdagangan itu, pemerintah antara lain mesti meningkatkan kinerja ekspor, terutama non-migas, dengan memacu hilirisasi industri untuk meningkatkan nilai tambah produk dan daya saing global.
Menurut Sekar, surplus neraca perdagangan Mei lalu juga diikuti oleh penurunan impor bahan baku dan penolong sebesar 7,82 persen dan kenaikan impor barang konsumsi sebesar 5,62 persen. “Membaik di Mei itu hanya angka relatif karena kalau trade deficit secara keseluruhan terjadi sejak akhir 2017, sudah dominan defisit. Itu kalau kita lihat tren pergerakannya. Waktu itu akhir 2017 harga minyak dunia sampai 80 dollar per barel. Depresiasi rupiah juga lemah banget,” papar dia.
Sedangkan Direktur Indef, Tauhid Ahmad, menyoroti fenomena impor bahan baku bulan lalu. Menurut dia, penurunan impor bahan baku dan penolong pada Mei adalah pertanda industri akan menghadapi kendala pada beberapa bulan mendatang. Apalagi, impor barang konsumsi justru naik sehingga produksi dalam negeri akan semakin tertekan.
Kendala Infrastruktur
Dihubungi terpisah, peneliti Indef, Andry Satrio Nugroho, mengatakan perbaikan infrastruktur yang dilakukan pemerintah dalam empat tahun terakhir belum maksimal mendukung kegiatan ekspor dan impor. “Dari segi logistik masih belum terbantu oleh infrastruktur yang dibangun selama empat tahun ini,” kata dia.
Menurut Andry, infrastruktur yang perlu dibangun untuk mendukung kegiatan ekspor dan impor adalah infrastruktur yang menghubungkan satu sektor industri dengan sektor industri lainnya.
Oleh karena itu, dia menyarankan pemerintah untuk membangun pelabuhan dan tol laut guna mendukung kegiatan perdagangan di dalam negeri. “Kalau kita memang negara maritim, memang itu yang kita perlukan,” tutur dia.
Selain itu, Andry menilai masih ada dua kendala infrastruktur yang dapat memengaruhi kegiatan ekspor dan impor, yakni infrastruktur dasar dan infrastruktur pasar. Infrastruktur dasar adalah infrastruktur yang menjadi dasar untuk dilakukannya kegiatan produksi, seperti harga energi dan harga tenaga kerja.
Dia menjelaskan berbagai faktor produksi di dalam negeri tersebut perlu lebih difokuskan. Sebab, ketika faktor produksi semakin kompetitif dan bahan baku semakin murah, maka investor akan semakin tertarik untuk berinvestasi di dalam negeri.
Sedangkan infrastruktur pasar, menurut Andry, masih cukup susah mengingat kondisi global yang saat ini tidak lagi menitikberatkan pembangunan kerja sama regional, tetapi kerja sama bilateral. Untuk itu, Andry menekankan perlunya memperbanyak kerja sama dengan negara lain guna mendukung kegiatan ekspor dan impor. YK/Ant/WP