in

Ira Koesno, dari Penyiar jadi Pengusaha

Cabut Gigi Bikin Takut Setengah Mati

Nama Ira Koesno mencuat lagi sepekan terakhir. Penampilannya sebagai moderator debat pertama calon gubernur (cagub) DKI Jakarta pada 13 Januari lalu begitu memukau. Jarang muncul di televisi, Ira ternyata masih sama. Cerdas, lugas, cantik, dan sesuai dengan pengakuannya, sedikit galak.

Jumat siang (20/1) menuju sore kami membuat janji bertemu dengan perempuan bernama lengkap Dwi Noviratri Koesno itu. Ira sudah datang di Pisa Cafe, Kawasan Kemang, Jakarta Pusat, empat menit sebelum waktu yang dijanjikan. “Halo, Ira,” katanya menjabat erat tangan kami sambil tersenyum ramah.

Aura percaya diri kuat memancar. Melihat debat cagub lalu, semua pasti sepakat ketegasannya tidak luntur. Tetap seperti ketika membawakan berita di Liputan 6 SCTV sejak 1996 sampai 2003.

Ira masih ingat, saat baru menjadi jurnalis pemula, Direktur Pemberitaan sekaligus Pemimpin Redaksinya Sumita Tobing ingin membuat program berita baru yang berbeda dengan TV sebelah. Kalau masih ingat, pada 1996 baru dua televisi swasta yang memiliki program berita. RCTI dengan Seputar Indonesia dan SCTV dengan Liputan 6.

Salah satu yang diciptakan adalah segmen wawancara dengan ciri mendalam, tajam, dan mengejar pendapat narasumber. Referensinya adalah saluran berita BBC.

“Secara personality saya memang agak galak dan tegas. Kalau orang bilang trademark acaranya seperti itu, ya karena memang pembawa acaranya juga begitu,” jelas Ira, lalu tertawa kecil.

Tujuh tahun berkarir di SCTV, Ira mengalami berbagai jenis wawancara. Beberapa tersimpan di memorinya dengan lekat. Salah satunya saat bersama pengamat politik sekaligus mantan Menteri Orde Baru Sarwono Kusumaatmadja. Wawancara itu terjadi pada era awal reformasi, 17 Mei 1998. Desakan agar mantan Presiden Soeharto untuk mundur tengah besar.

Sarwono diundang untuk menjadi narasumber rencana reshuffle kabinet berumur dua bulan yang akan dilakukan Soeharto. Di luar dugaan, Sarwono tanpa tedeng aling-aling menyampaikan pendapat yang pada masa itu serasa haram diucapkan jika ingin tetap selamat.

“Ini saya nggak boleh terus terang, jadi pakai bahasa sandi, ya. Ini pakai analogi gigi. Reshuffle itu tambal gigi, sedangkan kita perlu cabut itu gigi supaya gigi baru bisa tumbuh. Jadi, reformasi itu hanya bisa dilakukan kalau kita ambil tindakan moral, ya cabut gigi itu,” kata Sarwono merujuk bahwa tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuk mengembalikan stabilitas negara selain mengganti presidennya.

Pernyataan tersebut langsung menjadi perbincangan. Sesi itu disebut-sebut sebagai salah satu wawancara paling berani Liputan 6. Apalagi, empat hari kemudian Soeharto benar-benar mengundurkan diri sebagai presiden setelah 32 tahun memimpin Indonesia.

Kembali ke masa itu, Ira menyatakan bahwa wawancara tersebut terjadi di luar skenario. Sebagai media televisi swasta, Ira dan tim redaksi tahu bahwa mereka tidak boleh melewati batas.

“Saat itu kalau tidak salah sudah ada penembakan. Pak Sarwono sudah pakai ikat item di lengannya. Kami tawar-menawar, ternyata dia tidak mau. Pak Sarwono tetap memakai ikat hitamnya yang menjadi penanda dia mendukung pergantian RI1,” ungkap Ira.

Produser mengajak Sarwono untuk berkompromi. Mereka meminta Sarwono untuk mengungkapkan wacana berani itu di segmen terakhir saja. Namun, apa dikata, Sarwono justru mengungkapkannya dengan jelas di segmen awal. Kalau banyak yang bilang Ira berani, aslinya sangat ketakutan.

“Itu saya takut, takut setengah mati. Yang nongol di TV muka saya. Dan saya sadar, siapa pemilik stasiun televisi, dan itu kan (analogi cabut gigi, Red) harusnya muncul di akhir,” kata Ira.

Setelah kejadian itu, isu menutup stasiun televisinya santer terdengar. “Tim kami sangat merasa bersalah karena kami biang keladinya. Tapi, seorang teman mengatakan, ’Ra, biarkan saja. Ini kan gulirannya cepat sekali. Saat rezim ini tersingkirkan, kamu akan jadi bintang’. Saya bilang ke dia, saya itu nggak perlu jadi bintang, yang penting nggak ditutup saja,” tambah Ira, kemudian tertawa lagi.

Ira juga punya cerita lain. Satu hari pada Oktober 1996 dia melangsungkan siaran dengan Arief Suditomo. Lalat tiba-tiba datang. Padahal, ketika itu mereka membacakan berita besar, yakni pindahnya seorang tokoh politik dari satu partai ke partai lain. Namun, Ira dan Arief tidak bisa menahan tawa.

Mereka pun terdengar seperti mempermainkan berita. “Itu yang marah satu Indonesia, telepon ke kantor nggak berhenti berdering, orang-orang minta pecat aja anak itu. Bagaimana, baca berita kok tidak serius,” ungkapnya.

Ira dan Arief paham bahwa kejadian itu memang tidak bisa dijelaskan. Apalagi, segmen saat itu voice over, wajah mereka tidak terlihat. “Ingat kejadian itu, bikin malu,” ucap Ira.

Selama berkarir di SCTV, Ira tidak melupakan studi. Tidak lama setelah reformasi 1998, sarjana akuntasi Universitas Indonesia tersebut melanjutkan pendidikan Master of Arts di bidang film dan produksi televisi di Universitas Bristol, Inggris.

Dia lulus pada 2000. Setahun kemudian, dia juga lulus dari Master of Arts bidang jurnalistik internasional dari Wesminter University, Inggris.

Mengantongi dua gelar master, Ira pulang ke Indonesia dan kembali menjadi penyiar. Kali ini tidak bertahan lama. Pada akhir 2003 dia keluar. Ira mengatakan mendapat insight baru dalam dirinya. “Being journalist is not in my blood,” katanya.

Saat itu Ira merasa tidak bisa ke mana-mana. Hanya mentok di posisi yang sama membuatnya ingin mencoba hal lain. “Dan saya sadar, oh yang saya suka itu di bidang media komunikasi. Tidak harus jadi jurnalis. Karena itu, saya ke luar dari zona nyaman dan belajar jadi pengusaha,” jelasnya.

Bersama dengan sahabatnya, Oktofin dan Yovianna, Ira mendirikan perusahaan di bidang konsultan media dan public relation bernama IraKoesno Communications (IKComm).

Ketika tengah merintis perusahaan itu, Ira mendapat tawaran dari KPU (Komisi Pemilihan Umum) untuk menjadi moderator debat calon presiden 2004. Ada empat pasangan, yakni Wiranto dan Salahuddin Wahid, Megawati Soekarno Putri dan Hasyim Muzadi, M. Amien Rais dan Siswono Yudohusodo, serta Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla.

Debat dilangsungkan dua hari. Ira membayangkan, jika saja saat itu sudah era media sosial seperti sekarang, dirinya mungkin sudah habis dirisak.

“Karena saya dianggap terlalu ketat. Kalau kemarin kan paslon sudah mengerti saat bel berbunyi berhenti. Zaman itu, walaupun bel sudah berbunyi, orang tetap berbicara. Saya bilang sudah habis waktunya. Mungkin saat itu saya terlalu keras, sampai pendukung ada yang marah juga,” paparnya.

Setelah acara, Ira tidak berharap dijadikan moderator lagi karena memang merasa terlalu galak. Namun, dia bersyukur tetap dipilih dan hari kedua berjalan jauh lebih kondusif. Setelah itu, Ira benar-benar fokus dengan IKComm.

Adaptasi baru menjadi pengusaha, bagi Ira Koesno, bukan hal mudah. Dia harus merasakan mencari klien, dimarahi klien, dan memikirkan banyak hal lagi.

“Daya tahan sebagai pengusaha harus luar biasa, kita juga harus punya partner yang saling melengkapi agar jalannya jadi baik. Ini yang saya rasakan selama lebih dari 10 tahun agar grafik perusahaannya terus naik,” katanya mantap. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Jokowi-Nahrawi Bertarung Bersama Legenda

Suap RR untuk Dua Pejabat Garuda