in

Irisan Dakwah dan Ekspresi Islam

Kata irisan artinya adanya pertemuan dua hal berbeda, akan tetapi keduanya itu saling mempengaruhi dan saling berada dalam ranah keduanya. Kata irisan ini lazimnya dipakaikan pada bidang teknik, namun yang dimaksudkan dalam artikel ini adalah saling mempengaruhinya kegiatan dakwah Islam dengan hampir semua sisi kehidupan. Irisan dakwah itu memang begitu faktanya, karena Islam itu mencakup semua sisi kehidupan. Irisan dakwah dengan pencerdasan politik umat adalah bagian yang harus menjadi perhatian mubalig dalam menunaikan tugas dakwahnya. 

Era demokratisasi, khususnya demokrasi prosedural yang meniscayakan one man one vote  mengharuskan pelaku politik, baik mereka yang akan merebut posisi politik, menjadi anggota legislatif dan eksekutif, maupun mereka yang sudah memegang jabatan politik harus dapat menjaga konstituennya sebagai benteng memperjuangan aspirasi dan tujuan politiknya. Ringkasnya, hampir semua bidang perjuangan yang akan dilakukan harus mendapat restu atau mandat politik. Menyedihkannya organisasi umat dan ulama pun tidak luput dari perebutan politik praktis yang sama sekali jauh dari cara musyawarah yang diajarkan Al Quran. 

Begitu kuat dan kencang angin politik, serta liciknya pelaku politik dalam mengiring perilaku politik umat, dengan kasat mata telah menjungkirbalikkan tatanan baik dan nyaman sekian lama. Perilaku sogok dengan bahasa halus “biaya transportasi” dalam pengalangan massa, bantuan sosial untuk rumah ibadah atau tokoh umat bentuk lain dana  syubhat yang dianggap biasa oleh politisi dan masyarakat yang menerimanya. Tipis sekali irisan antara dana bantuan dengan uang sogok, uang ucapan terima kasih dengan “beli suara”. 

Hal sama juga berlangsung dalam dakwah dengan ekspresi atau penampakan ajaran dan sistem Islam dari umatnya. Ekspresi keislaman begitu dahsyat perubahannya dan sering kabur atau dikaburkan. Media sosial menjadi pemicu,  sekaligus pengerak dan perusak dakwah. Irisannya sangat tipis sekali dan sulit membedakannya. Mubalig diharapkan dapat mengawal irisan dakwah dengan kerusakan menuju arah positif dan mencerahkan.

Dakwah Generasi Milenial  

Mubalig sebagai pioner dakwah memang harus hati-hati dan cerdas membaca tanda-tanda zaman. Perubahan pola pikir dan gaya hidup generasi hari ini, tidak bisa disamakan dengan generasi lalu. Pakar komunikasi memberikan pengelompokan generasi terakhir pada tiga kategori. Pertama, generasi  X mereka yang lahir antara 1965–1980. Generasi X ini memiliki ciri-ciri nyaman dengan teknologi, fleksibel dan kreatif dalam pergaulan, berpandangan skeptis. Mereka lebih mengutamankan proses (process oriented). Generasi X ini sering kali menjadi “pasien KPK”, koruptor dan sejenisnya. 

Generasi kedua dinamakan generasi Y, yaitu mereka lahir antara 1980–1995. Karakteristiknya cerdas mengunakan teknologi, terbiasa menghadapi keragaman, dapat menerima perubahan dari mana saja, multi tasking¸ lebih mendahulukan hasil, result oriented.  Kelompok ini banyak juga yang tidak kalah ganasnya dalam merampas hak umat, pelaku korupsi, manipulasi dan kejahatan kerah putih, bandar narkoba dan mafia melalui teknologi canggih, itulah negatifnya. Positifnya, mereka banyak yang menjadi penemu teknologi canggih dan generasi pejuang kemanusiaan. 

Generasi ketiga disebut generasi Z, lahir setelah tahun 1995. Mereka berperilaku sangat bergantung pada teknologi. Relasinya sangat sosial, tingkat kolaboratifnya tinggi dalam tindakan lebih mendahulukan hasil (result oriented) dan dalam menghadapi realitas hidup lebih mendahulukan kebersamaan. Yang harus diwaspadai dari generasi ini adalah perilaku asosial, sibuk dengan diri dan perangkat canggihnya, abai dengan realitas sekitar. Keunggulannya, generasi ini “paling beruntung” yang harus dijaga kebaikannya. 

Bersamaan dengan perubahan generasi, jarum sejarah dakwah di Indonesia juga tengah bergerak pada keadaan berbeda dengan masa lalu. Ada lima pola gerakan, ekspresi keislaman dan perilaku umat yang hendaknya dijadikan dasar membuat peta dakwah. Pertama, indigenized Islam.  Yakni, umat, organisasi atau gerakan umat yang mempertahankan ekspresi Islam yang bersifat  ritual lokalitas lebih nampak ketimbang ortodoksi Islam.  Mereka masih kaku, keras dan sulit menerima rasionalitas kemajuan. Ini tantangan pencerdasan yang harus disikapi mubalig.  

Kedua,  tradisionalisme bercirikan akomodasi atas ekspresi Islam lokal sejauh tidak bertentangan dengan Islam sebagai keyakinan. Tidak memaksakan “Arabisme”. Ekpresi kelompok ini mudah mencair dan sering berdekatan sekali dengan “penguasa”. Yang harus dicermati  pada kelompok ini adalah kesetiaanya pada penguasa menjadikan mereka rela mengorbankan visi besar Islam. Kasus pesantren menerima bantuan dari non muslim dengan tujuan politik, patut dijadikan bahan ajar. 

Ketiga, Islam modernis. Memperkenalkan ide-ide modernisasi dalam pengertian klasik. Mereka menolak ekspresi lokal dan lebih mengukuhkan ekspresi puritanisme. Ekpsresi keislaman yang menempatkan Islam pada ranah nilai, dan spirit dalam setiap aksi, reaksi dan gerakan kehidupan. Kaum intelektual dan kalangan terdidik adalah massa besar yang bergabung di segmen ini.
Keempat, Islamisme atau Islamis. Mengusung Arabisme dan konservatisme, di dalam dirinya terdapat paradigma ideologi Islam Arab. Jihad dan penerapan Syariah Islam menjadi karakter utamanya. 

Kelima, neo-modernisme Islam. Gerakan intelektual dan kritiknya terhadap doktrin Islam yang mapan. Pencarian tafsir baru terhadap berbagai doktrin Islam berlandaskan pada realitas masyarakat dan penggunaan filsafat dan metode-metode baru, seperti hermeneutika. Ekpsresi ini bermukim di kampus perguruan tinggi Islam ataupun perguruan tinggi umum. Ada 55 Perguruan Tinggi Negeri Islam dan ratusan swasta, di sana ada guru besar, dosen dan mahasiswa, realitasnya  ada mereka yang dengan”liar” mengkaji dan mengekspresikan Islam sesuai nalar dan metode ilmiah “produk Barat”.  Kaum muslim liberalis, begitu label yang diberikan media terhadap mereka. 

Mubalig Milenial

Perubahan mendasar dan keragaman pola pikir, sikap dan gaya hidup yang berbeda dari generasi sekarang, menuntut  mubalig cerdas menempatkan diri dan mengubah pola dakwahnya. Mubaligh harus mampu menjelaskan bahwa capaian ilmu pengetahuan dan teknologi pada dasarnya memiliki akar tauhid. Al Quran sejak lebih 14 abad lalu telah memberikan isyarat tentang semua hal (QS. An-Nahl: 89 dan QS. Yusuf: 108).

Menegaskan diri menjadi mubalig di alam perubahan ini, memerlukan kesiapan lebih dibanding masa lalu. Mubalig yang tengah berada dalam level generasi lama, generasi X, Y dan Z dituntut menjadi lebih kuat kompetensi dan motivasi dirinya. Semangat Al Quran tentang mubalig dapat dipahami dari maksud QS. Taubat: 122.

Menghadapi perubahan pola pikir umat, maka mubalig terus meningkatkan kepribadiannya yang bermula kuat dan erat dengan Allah, senantiasa menyuarakan amar ma’ruf dan nahi munkar, serta  menyuarakan hak dengan landasan bahwa semua yang dilakukannya haruslah ikhlas karena Allah SWT. Mubalig hendaknya memiliki  pemahaman dalam dan berpengetahuan luas, menguasai sejarah Islam dan sejarah dunia secara umum. Juga, memiliki hafalan-hafalan cukup baik dari Al Quran, As Sunah, serta bertanggung jawab atas apa yang disampaikannya. 

Dari sisi performance, mubalig milenial yang dimaksudkan adalah mereka yang memiliki kepribadian Islam tangguh dengan pola pikir dan sikapnya bisa diteladani . Intinya, tidak ada kontradiksi dalam dirinya antara pesan-pesan dakwah dengan sikap, dan perilakunya sehari-hari.  Wawasan yang luas, tema utama dalam dakwah yang dilakukan maupun wawasan kekinian dan perkembangan ilmu pengetahuan, serta teknologi dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah. 

Dalam berbahasa dan berkomunikasi mubalig milenial dituntut dapat mengunakan teknologi digital yang dalam pesannya memenuhi kriteria komunikasi yang baik dan efektif. Bahasa yang digunakan baik, efektif, padat, sistematis, dan terang dalam berargumentasi. 

Akhirnya dapat dikatakan bahwa irisan dakwah dengan ekspresi atau penampakan keislaman, umat harus dinyatakan. Mubalig era milenial diminta dapat berkalaborasi dengan situasi dan kehendak zaman. Islam tentu harus dapat dijelaskan kepada semua segmen umat dalam wajah aslinya, serta tafsirnya bisa saja disesuaikan tanpa mengeser esensinya. Berilmu yang cukup (tafaqquhfiddin), memiliki semangat perubahan (waliyundziru qaumahum) dapat dimaknai bahwa kompetesi ilmu-ilmu keislaman dan penunjangnya. Kemahiran berteknologi (skill) adalah piranti utama bagi pejuang dakwah di era milenial. Fastabiqul khairat. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by Julliana Elora

Gulirkan Program Gratis Bagi Ibu Hamil

Kemenhub Kejar Deadline