Hak Politik juga Dicabut, lalu Minta Maaf
Majelis hakim tindak pidana korupsi (tipikor) Jakarta, tampaknya masih berbaik hati kepada mantan ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman.
Irman hanya divonis 4 tahun 6 bulan penjara ditambah denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan, serta pencabutan hak politik selama 3 tahun. Vonis penjara itu di bawah tuntutan jaksa yang meminta Irman dihukum 7 tahun.
Sidang pembacaan putusan itu dilakukan, kemarin (20/2). Irman yang mengenakan batik menyebut putusan hakim terlalu berat. Namun demikian, politikus asal Sumbar ini belum memutuskan untuk mengajukan banding terhadap putusan itu.
“Putusan ini berat untuk saya, tapi yang penting bagaimana kita mendefinisikan persoalan ini dengan baik,” ujarnya usai sidang.
Irman divonis bersalah atas kasus suap skandal kuota impor gula untuk wilayah Sumbar sebesar Rp 100 juta dari pasangan suami istri pemilik CV Semesta Berjaya, Xaveriandy Sutanto dan Memi. Terkait perbuatan koruptif yang menyeretnya itu, Irman meminta maaf.
“Setiap manusia itu kan tidak mungkin tidak ada yang salah,” tuturnya pria berkacamata itu.
Pengacara Irman Gusman, Tommy Singh menambahkan, pihaknya menghargai putusan majelis hakim yang diketuai Nawawi Pamolango tersebut. Meski demikian, pihaknya tetap akan mengupayakan hak hukum Irman dalam waktu sepekan ke depan.
“(Setelah 7 hari) kami menyampaikan apakah menerima atau akan melakukan banding terhadap putusan tersebut,” jelasnya.
Tommy mengatakan, sebenarnya masih ada beberapa hal dalam putusan yang masih mengganjal. Terutama yang berkaitan dengan pemahaman majelis hakim soal kesepakatan antara Irman dan pemberi uang. Menurutnya, kesepakatan yang dimaksud belum sepenuhnya terbukti.
“Pada prinsipnya, terkait kesepakatan apakah ada atau tidak. Karena nggak ada ijab qabul istilahnya,” tuturnya.
Majelis hakim memvonis Irman berdasar dakwaan dari pasal 12 huruf b UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dakwaan itu pula yang menjadi acuan hakim mencabut hak politik Irman.
“Mencabut hak terdakwa Irman untuk dipilih dalam jabatan publik selama 3 tahun terhitung terdakwa selesai menjalani pidana pokok,” ucap Nawawi.
Pertimbangan majelis hakim mencabut hak politik itu sesuai pasal 18 ayat 1 huruf d UU Pemberantasan Tipikor. Tujuannya, melindungi masyarakat dari kemungkinan terpilihnya kembali Irman saat mencalonkan diri sebagai anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD maupun pejabat publik lainnya.
“Anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD tidak selayaknya berperilaku koruptif,” imbuh Nawawi. Sama dengan pihak Irman, jaksa penuntut umum KPK juga memilih untuk pikir-pikir atas putusan itu.
Dalam menjatuhkan vonis, majelis hakim memiliki pertimbangan memberatkan dan meringankan. Hal-hal yang memberatkan, perbuatan Irman dinilai mencederai amanat yang diberikan sebagai ketua DPD RI, tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme, serta tidak mengakui terus terang perbuatannya.
“Hal-hal yang meringankan, terdakwa belum pernah dihukum, menyesali secara mendalam perbuatannya dan memiliki tanggungan keluarga,” kata Hakim Nawawi.
Irman dinyatakan terbukti menerima suap sebesar Rp 100 juta dari Direktur CV Semesta Berjaya Xaveriandy Sutanto dan istrinya Memi.
Hakim Ansyori Saifuddin mengatakan, saat petugas KPK mendatanginya di rumah dinas pada 16 September 2016, awalnya Irman mengaku tidak mengetahui isi bungkusan yang dibawa Memi. Namun, Sutanto mengakui memberikan bungkusan. Irman kemudian menyuruh istrinya mengambil barang di lantai atas rumahnya.
“Bahwa menurut ahli jika ada deal dapat dikategorikan sebagai suap. Tapi bila tidak deal, maka dapat dikategorikan sebagai gratifikasi. Majelis berkesimpulan Irman sebagai ketua DPD RI menerima hadiah uang Rp 100 juta di rumah terdakwa. Majelis berpendapat unsur menerima hadiah telah terpenuhi,” kata Hakim Ansyori.
Suap diberikan karena Irman membantu pengurusan distribusi kuota gula impor di wilayah Sumbar. Irman bersedia membantu Memi dengan meminta kesepakatan fee Rp 300 per kilogram.
Irman kemudian menghubungi Dirut Bulog Djarot Kusumayakti agar Bulog menyuplai gula ke wilayah Sumbar melalui Divre Bulog Sumbar. Irman merekomendasikan Memi sebagai pihak yang dipercaya untuk mendistribusikan gula. Lantaran jabatan Irman sebagai ketua DPD, maka Djarot menyanggupinya.
“Perbuatan Irman yang seharusnya menerima aspirasi masyarakat telah memengaruhi Djarot Kusumayakti. Lalu, menerima uang Rp 100 juta. Perbuatan itu secara nyata bertentangan dengan tugas dan kewajibannya. Unsur melakukan atau tidak melakukan dalam jabatan yang bertentangan dengan kewajibannya telah terpenuhi,” papar Hakim Ansyori. (*)
LOGIN untuk mengomentari.