Sejak kemarin, semestinya kegiatan lokakarya International People’s Tribunal (IPT) 1965 digelar. Belum lagi dimulai, pihak panitia disatroni puluhan aparat kepolisian berpakaian preman. Dari Polres Jakarta Timur, Koramil, sampai Lurah Klender Jakarta Timur. Kata panitia, mereka ditekan dan diintimidasi agar membatalkan acara.
Para pegiat HAM ini tak terima. Apa dasar hukum polisi untuk melarang pelaksanaan lokakarya – tanya mereka. Polisi bergeming dan mengklaim, masyarakat sekitar terganggu. Panitia akhirnya menggeser acara ke Kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan Komnas Perempuan.
Belakangan, Kapolres Jakarta Timur Andry Wibowo menuding lokakarya ini terkait komunisme dan PKI. Karenanya, berpotensi memicu konflik, jadi dibatalkan saja. Kalaupun mau kembali digelar, harus seizin polisi. Di sinilah terlihat kesewenang-wenangan polisi. Sebab izin polisi sebetulnya baru diperlukan jika kegiatan dilakukan di ruang publik dan melibatkan 300-500 orang. Sedangkan ini, hanya puluhan orang. Materi lokakarya ini pun soal pemenuhan hak-hak korban peristiwa 65 – yang semestinya diurus pemerintah.
Kalau masih ingat, sidang IPT65 di Den Haag pada 2016 lalu menyebut Indonesia bersalah atas kekerasan yang terjadi setengah abad silam itu. Tak hanya itu, Indonesia juga harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi: dari pembunuhan massal sampai kekerasan seksual, dari propaganda palsu sampai genosida.
Ironisnya, ini terjadi sehari setelah Presiden Joko Widodo mencuit: kasus pelanggaran HAM harus dipercepat penyeleasaiannya, demi rasa keadilan.
Kalau para pegiat HAM dan korban pelanggaran HAM berat berkumpul dan berkegiatan saja langsung dituduh komunis atau PKI, bagaimana bisa cuitan berbau ikhtiar Presiden Jokowi itu terwujud? Ah, cuma Twitter dan Tuhan yang tahu…