Saya jengah dengan kondisi Republik Indonesia yang kian tak jelas juntrungannya. Rakyat tidak lagi terurus, dibiarkan berkonflik, ormas bisa berbuat sesuka hati serta TNI dan POLRI tidak memiliki kesepahaman pandangan.
Saya sempat berharap usai Pilkada DKI dan Ahok sudah dibui atas penistaan agama,kegaduhan pun usai. Tapi nyatanya keributan pun tak juga mereda. Saling boikot antar anak bangsa Indonesia pun semakin menjadi-jadi. Diawali dari Kalimantan Barat tatkala sebagian warga menolak kehadiran imam FPI, di Aceh FPI mengusir Gubernur Kalbar yang datang karena undangan Gubernur Aceh dalam rangka PENAS KTNA dan baru-baru ini Fahri Hamzah diusir dari Manado. Besok entah siapa lagi?
Politik kian tidak asik, perhelatan di Jakarta berdampak ke berbagai daerah, ke ruang etnis, dan ke agama. Keyakinan kian jelas coba dibenturkan. Provokasi dibiarkan, bahkan kerapkali para petinggi negeri dari unsur sipil dan militer ikut menyebarkan berita palsu di berbagai media seperti Facebook, Twitter dan WhatsApp. Mereka yang awam menelan mentah-mentah. Bahkan tak jarang merasa bangga bahwa petinggi telah berbagi “informasi” di grub publik, yang seharusnya tak lazim dilakukan oleh pengelola negara.
Negara seakan kehilangan perannya. Serdadu kian tak jelas fungsinya. Antar instansi saling menggembosi. Si Fulan bilang Aja, si fulin bilang B. Rakyat terbelah, mereka membentuk diri dalam ragam faksi yang rapuh. Agama dan etnis menjadi jualan. Siapapun bebas berkomentar dan siapapun pula bebas menstigma orang lain. Bhinneka tunggal Ika menjadi jargon tanpa makna. Sungguh ini pembiaran. Media abal-abal menjadi referensi, dan media mainstream dituduh mendukung keyakinan tertentu.
Kalaulah bicara Indonesia hanya sekedar soal Pilkada, pileg dan pilpres, sungguh keberadaan negara ini tidak berguna. Hukum tidak berjalan. Rakyat dibiarkan bingung dan akhirnya dakwa-dakwi sesama dan berakhir penghakiman. Si jahil bebas melakap, yang pintar tersudut, rakyat kian lapar, kebusukan ditutupi oleh ragam isu yang berpotensi melahirkan disintegrasi bangsa.
Mereka di Jakarta sana, yang mengaku negarawan malah bertingkah bak pengidap nerobehaviour dan megalomania. Saling tikam antar sesama. Riuh rendah provokasi digencarkan di bawah ragam panji yang meliuk-liuk di udara. Partai Amanat membisikkan partai Besar. Partai C menikam partai D. Baik atas nama agama maupun nasionalisme. Padahal setelah ditelisik, semua parnas diurus oleh ragam keyakinan (pemeluk agama yang berbeda)partai berhaluan Islam juga membuka cabang di tanah yang mayoritas non muslim.
Saya berkeyakinan, orang-orang di Jakarta yang mengaku diri negarawan, hanyalah kumpulan anak-anak yang belum memiliki pemahaman demokrasi yang baik. Mereka kaum nasionalis puritan yang lebih tertarik bicara untung dan rugi secara ekonomi ketimbang bekerjasama membangun Negara Indonesia.
Kalaulah sudah begini, sebagai bangsa yang punya andil besar menjaga jabang bayi Indonesia tatkala baru merdeka dulu, Aceh sebaiknya kembali menuntut merdeka. Untuk apa ada Jakarta, bila mengurus diri sendiri saja mereka tak mampu? Kenapa pula masih ingin mengurus kita yang berada di ujung Sumatera? Bicara agama, orang Islam di Aceh sudah pernah bersentuhan dengan ragam bangsa dan agama, ratusan tahun lalu, tanpa konflik, kecuali dengan kafir harbi yang jelas-jelas menyerang Aceh. Aceh adalah negara kosmopolit, jauh sebelum Jakarta diberi nama. Merdeka!