Belasan petani Urut Sewu, Kebumen, Jawa Tengah terluka. Seorang di antaranya terkena peluru karet. Mereka diduga jadi korban kekerasan anggota TNI gabungan dari Kodim Kebumen dan Yonif 403/WP.
Para petani itu berupaya mempertahankan lahan mereka yang tengah dipagari anggota TNI, Rabu kemarin. Tim Advokasi Petani Urut Sewu menyebut, para petani korban kekerasan itu sedang memperjuangkan hak mereka yang pegang bukti kepemilikan yang sah. Konflik ini telah berlangsung puluhan tahun.
Juru bicara Kodam Diponegoro menyebut tindakan represif dilakukan lantaran warga tidak bisa dikendalikan. Kapendam mengklaim saat itu anggotanya tengah memagari aset TNI AD di Desa Brencong, Kebumen. Pemagaran kata dia demi mengamankan aset negara. Tapi, apa benar demikian? Perlukah tindakan kekerasan dilakukan?
Tugas pokok TNI adalah melindungi segenap bangsa, termasuk petani, dan rakyat pada umumnya. Sebab TNI ada karena rakyat. Petani juga bukan musuh negara, mereka pahlawan pangan.
Ini bukan kali pertama kekerasan yang melibatkan anggota TNI. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat, sedikitnya 76 peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM melibatkan TNI, sepanjang November 2017 – Agustus 2018. Dari jumlah itu, 47 di antaranya penganiayaan.
Agenda reformasi TNI salah satunya menghapus kultur kekerasan terhadap warga sipil, reformasi birokrasi, dan peradilan militer. Sebagai alat pertahanan negara, TNI semestinya profesional, dan tidak sewenang-wenang. Karena ada mekanisme hukum yang bisa ditempuh. Selain itu, Panglima TNI harus menindak tegas anggotanya yang terbukti bersalah. Jangan ada impunitas! Karena melanggengkan impunitas, sama artinya melanggengkan kekerasan.