Aku tak tahu, sejak
kapan tepatnya hubungan kita mulai berjarak seperti ini. Tapi, ingatkah kamu?
Sebelum perang dingin diantara kita dimulai, sebelumnya kamu dan aku pernah
saling bersikap ramah dan hangat. Lekuk senyuman di bibirmu selalu dapat
tertangkap mataku setiap pembicaraan kita usai. Mengobrol denganmu selalu
menyenangkan, candaan kita dalam chatting-chatting panjang penuh dengan
keriangan.
Pernah pada satu waktu,
kamu bertanya tentang diriku. Aku mulai bercerita padamu tentang segala
kesukaanku. Aku menyukai bintang dan senang menghabiskan hot chocolate sembari
merenung menatap bintang-bintang di langit malam. Kemudian, kamu bertanya apa
yang tidak kusukai. Aku menjawab kalau aku tidak suka kerumitan. Ketika
kepalaku rasanya pusing dan penuh dengan beban, jika bisa aku ingin menghilang.
Aku ingin menghilang, menjadi bintang kecil redup yang
tertutup gelapnya awan sehingga tak tampak dalam pandangan.
Aku ingin menjadi sebutir salju yang kemudian terbawa
angin, meleleh dan hilang.
Aku ingin menjadi pelangi yang turun selepas hujan, lalu
diam-diam menghilang.
Kamu
tertawa mendengarnya, kamu bilang aku gadis yang memiliki imajinasi tinggi. Aku
tertawa, kamu benar. Kadang aku merasa pikiranku masih seperti kanak-kanak. Aku
terjebak pada raga yang semakin hari tumbuh dewasa, namun tak disertai dengan
upaya maksimal untuk berpikir dan bertindak bijak layaknya orang dewasa. Hmm..
Demi
selintas pikiran itu, wajahku tiba-tiba berubah muram. Kamu menyadari perubahan
ekspresiku, menggenggam jemariku hati-hati. Kamu mengatakan sesulit apa pun
permasalahan harus dihadapi. Segala kerumitan yang terjadi dalam hidup pasti
akan terurai jika kita berusaha memecahkannya dan selalu menghadirkan Tuhan dalam
setiap harapan.
Hei
kamu..
Seseorang
yang selama ini menjadi tempat bertanyaku, selalu kubagi segala perasaan dalam
hatiku. Lalu bagaimana jika permasalahanku saat ini adalah tentang kamu?
“Haruskah aku bertanya pada bintang-bintang
malam apa salahku sehingga harus kehilangan sosokmu yang dulu?”
Sungguh,
kini kamu berubah dan berbeda. Entah kenapa, kamu yang sekarang ini tak
memiliki waktu lagi. Tak ada malam dengan obrolan ringan kita seperti biasa.
Tertawa bersamamu sudah menjadi candu.
Meminjam telingamu untuk menumpahkan segala keluh, protes, dan tanya yang
keluar dari celotehku untuk menjadikan perasaanku lebih lega telah menjadi
kebiasaan yang tak sanggup kuhilangkan begitu saja. Kini berulang kali
kumenghela napas mencoba menahan segala kesakitan ini sendirian.
Sempat
terpikir olehku, apakah perubahan sikap ini tanda bahwa kamu sedang mengusirku
secara pelan? Kamu ingin aku tak tahan dengan semua ini lalu memutuskan pergi? Dalam
diam aku menggigil kedinginan oleh sikapmu. Tak tahu lagi bagaiman caraku untuk
mengakhiri seluruh ketakpedulianmu ini.
Sebentar
lagi, aku mungkin akan memutuskan apa yang tak bisa kamu katakan dengan lantang
di depanku. Kini sedang kubersihkan segala tentang kamu dari hatiku.
“Jika
suatu hari nanti kamu sadar telah kehilanganku, apa kamu akan mencariku?”