Survei nasional Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang dirilis September 2017 menunjukkan temuan menarik. Joko Widodo (Jokowi) unggul pada semua segmen usia, tapi ternyata lemah pada segmen pemilih generasi milenial, yakni pemilih rentang usia 20–29 tahun. Dukungan generasi milenial kepada Jokowi hanya 31,7 persen, sedangkan terhadap Prabowo Subianto 35,3 persen.
Lemahnya dukungan generasi milenial kepada Jokowi cukup mengejutkan. Sebab, selama ini Jokowi terlihat dekat dengan kelompok muda. Sebagai contoh, interaksi Presiden Jokowi dengan penyanyi cantik Raisa di Istana Presiden beberapa waktu lalu menjadi trending topic dan viral di media sosial.
Selain itu, sosok Jokowi dikenal gaul. November 2016 masyarakat dihebohkan penampilan Jokowi yang mengenakan jaket bomber saat menggelar konferensi pers. Tak pelak, jaket bomber ala Jokowi pun banyak diburu dan laku keras. Jokowi juga punya video blog atau vlog, kerap potong rambut di barbershop, menyukai musik metal, serta suka mengenakan celana jins dan sneakers dalam sejumlah acara. Bahkan, yang paling mencuri perhatian publik, Jokowi kerap menggelar kuis berhadiah sepeda untuk anak-anak muda.
Dengan atribut kuat di kalangan generasi milenial itu, seharusnya dukungan terhadap Jokowi kuat pula. Namun sebaliknya, Jokowi justru mendapat dukungan lebih kecil daripada “rival dekatnya”, Prabowo. Tentu, apa pun itu, data menunjukkan bahwa Jokowi lemah dukungan generasi milenial. Data tersebut sekaligus menjadi catatan penting bagi Jokowi.
Pertama, ketidakmampuan menguasai lumbung pemilih generasi milenial merupakan satu celah “menuju kekalahan” bila tidak mampu segera diatasi. Pasalnya, jika melihat tren pemilih pada Pilpres 2019, generasi milenial masuk ceruk pemilih yang dominan. Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ibnu Nadzir bahkan memprediksi populasi pemilih dari kalangan milenial pada 2019 mencapai lebih dari 50 persen.
Kedua, generasi milenial merupakan aktor utama dalam mempercepat pembangunan Indonesia di masa mendatang. Sebab, Indonesia pada tahun 2020–2030 akan mendapatkan bonus demografi. Yakni, jumlah usia angkatan kerja (15–64 tahun) mencapai sekitar 70 persen, sedangkan 30 persen lainnya berada di usia tidak produktif (14 tahun ke bawah dan di atas 65 tahun).
Artinya, seorang calon presiden dituntut untuk dekat, mampu memahami, dan bisa mendengarkan aspirasi, serta kebutuhan generasi milenial. Sebab, merekalah sesungguhnya tulang punggung pembangunan bangsa ke depan. Apalagi, diprediksi, pada 2025 sebanyak 75 persen angkatan kerja dunia dikuasai generasi milenial.
Jokowi mesti membaca tren rendahnya dukungan generasi milenial sebagai “ancaman”. Sehingga perlu menyusun strategi pendekatan yang tepat dan saintifik terhadap kelompok generasi Y tersebut. Penyusunan strategi itu, misalnya, dapat digali melalui survei ataupun jajak pendapat. Mengapa? Survei dan jajak pendapat dapat merekam aspirasi, kecenderungan, hal yang disukai, ataupun hal yang diharapkan generasi milenial. Pendekatan tersebut penting karena dari situlah strategi upaya mendekati generasi milenial akan tepat sasaran.
Dalam konteks Jokowi sebagai presiden, mendekati generasi milenial tentu tidak boleh ditempatkan hanya untuk kepentingan elektoral. Namun, ada yang lebih esensial dari itu. Pertama, mendekati generasi milenial berguna untuk meningkatkan partisipasi politik. Partisipasi generasi milenial penting dalam hajatan demokrasi.
Ingat, hajatan demokrasi lahir sebagai sebuah kehendak untuk menjadikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Semakin tinggi tingkat partisipasi generasi milenial, semakin tinggi pula mandat mereka. Sebaliknya, rendahnya partisipasi berakibat pada cacatnya mandat generasi milenial.
Kedua, mendekati generasi milenial diperlukan karena merekalah kunci sekaligus agen perubahan di masa mendatang. Sebab, pada 2025 rata-rata usia generasi milenial 30–40 tahun. Usia tersebut merupakan usia paling menentukan dalam hidup dan karir seseorang. Jika 70 persen masyarakat Indonesia yang berumur 30–40 tahun pada 2025 nanti dibekali skill dan kompetensi, impian Presiden Jokowi yang pernah dituangkan dalam Monumen Kapsul Waktu Impian Indonesia (MKWII) 2015–2085 di Merauke, Papua, menjelang pergantian 2015 bukanlah isapan jempol belaka. Salah satu impian Jokowi: ingin menjadikan Indonesia barometer pertumbuhan ekonomi dunia.
Sebuah adagium mengatakan, “Setiap zaman ada pemimpinnya dan setiap pemimpin akan ada zamannya.” Tentu di era digital seperti sekarang Presiden Jokowi perlu menjalankan kepemimpinan yang peduli terhadap masa depan generasi milenial. Itu tak hanya dimaksudkan untuk kepentingan memenangi pertarungan politik, tapi juga demi kemajuan bangsa Indonesia di masa mendatang. (*)
LOGIN untuk mengomentari.