>> Dana kredit properti sebaiknya dialihkan untuk substitusi impor pangan yang boros devisa.
>> Diaspora Indonesia enggan pulang bangun Tanah Air karena minim kesempatan di sini.
JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam periode kedua pemerintahnya harus memanfaatkan lima tahun ke depan untuk menyiapkan fondasi bagi pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkelanjutan.
Ini penting dilakukan agar Indonesia dapat memanfaatkan bonus demografi dari melimpahnya penduduk usia produktif yang diperkirakan mencapai puncak pada 2030, untuk menjadi mesin pendorong pertumbuhan ekonomi tinggi.
Peneliti Perkumpulan Prakarsa, Irvan Tengku Hardja, mengingatkan Indonesia tidak punya banyak waktu lagi untuk membangun ekonomi, industri, dan inovasi guna menyambut ledakan usia produktif saat bonus demografi tiba.
“Jika Presiden Jokowi tak siapkan negara dengan dorong pertumbuhan berkualitas dan berkelanjutan maka saat puncak demografi, anak muda kehilangan kesempatan untuk produktif, inovatif, dan memperoleh lapangan kerja,” papar dia, ketika dihubungi, Selasa (2/7).
Istilahnya, lanjut Irvan, banyak penduduk usia produktif, tapi tidak bisa produktif karena tidak punya kesempatan. “Kita hanya punya waktu kurang dari 20 tahun untuk manfaatkan bonus demografi guna dorong pertumbuhan ekonomi. Tidak mungkin kita bangun negara dengan populasi yang sudah tidak produktif. Itu yang terjadi di Eropa dan Jepang sekarang ini.”
Minimnya kesempatan di berbagai bidang bagi usia produktif di Tanah Air dinilai juga menjadi penyebab diaspora Indonesia di Amerika Serikat dan negara lain enggan pulang untuk berpartisipasi membangun negeri.
Sebagaimana dikabarkan, Indonesia akan mendapat anugerah bonus demografi pada 2020–2035, yang mencapai puncaknya pada 2030. Pada saat itu jumlah kelompok usia produktif (umur 15–64 tahun) jauh melebihi kelompok usia tidak produktif (anak-anak usia 14 tahun ke bawah dan orang tua berusia 65 ke atas).
Jadi, kelompok usia muda kian sedikit, begitu pula dengan kelompok usia tua. Setelah itu, jumlah usia produktif berangsur turun, menjadi lebih kecil dari yang tidak produktif. Ini yang disebut sebagai sunset population.
Tiongkok merupakan salah satu kisah sukses negara yang mampu memanfaatkan bonus demografi belasan tahun silam, hingga akhirnya menjelma menjadi ekonomi terbesar kedua dunia saat ini.
Kriteria Menteri
Sementara itu, keinginan Presiden Jokowi membawa Indonesia maju harus didukung oleh menteri terbaik dan hebat. Sejumlah kalangan mengemukakan kriteria menteri terbaik, khususnya bidang ekonomi, adalah menteri yang mampu menghapus triple defisit, yakni defisit neraca perdagangan, defisit transaksi berjalan, dan defisit anggaran.
Defisit APBN, defisit perdagangan, dan defisit transaksi berjalan harus mampu diturunkan karena berdampak pada pelemahan rupiah serta menguras devisa.
Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, menyatakan pemerintah bisa menghapus defisit itu tanpa menghambat pertumbuhan dan berkelanjutan, jika bisa beralih dari paradigma ekonomi konsumsi ke produksi.
“Belanja modal yang nonproduktif diubah jadi produktif. Dari kredit bubble properti ke pertanian dan sektor riil yang hasilkan pangan, sehingga konsumsi rakyat tak lagi impor, tapi dari produksi nasional petani sendiri. Ini akan menjadi sumber penghasilan dan kenaikan kehidupan rakyat petani yang hampir 70 juta jiwa,” papar dia.
Irvan menambahkan Indonesia membutuhkan pemerintahan yang secara masif dan intensif membangun dari bawah, yaitu ekonomi perdesaan. Tidak mungkin membangun negara, dengan penduduk 260 juta jiwa, melalui konglomerasi atau kelompok besar yang tidak membangun ekonomi rakyat.
“Terbukti, trickle down effect yang dipraktikkan selama 30 tahun gagal. Tak bangun kesejahteraan dan pemerataan bagi rakyat,” ungkap Irvan.
Dia juga menegaskan pemerintah harus mampu menghapus impor pangan yang nilainya mencapai 12 miliar–15 miliar dollar AS setahun. “Ini tentunya menghabiskan devisa hanya untuk urusan makan. Pada akhirnya, memaksa negara untuk menambah utang luar negeri,” tukas Irvan.
Beban Utang
Di bidang keuangan negara, Salamuddin menilai tidak mungkin pemerintah terus menanggung beban utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), obligasi rekapitalisasi perbankan yang sudah menggunung. Dari 700 triliun rupiah pada 1998, sekarang sudah mencapai 4.500 triliun rupiah, akibat bunga berbunga.
“Beban bunga di atas bunga obligasi rekap ini jadi beban negara dan rakyat yang tidak menikmati utang itu. Jadi, obligasi rekap BLBI mesti dimoratorium setidaknya tujuh tahun,” tegas dia.
Tujuannya, lanjut Salamuddin, agar pemerintah bisa memanfaatkan APBN untuk sektor produktif dan modal ekonomi perdesaan, bukan untuk subsidi bank gagal karena melanggar aturan dan penyelewengan.
Apalagi, saat ini ternyata bank yang disubsidi itu banyak mengalirkan kredit untuk sektor nonproduktif, seperti properti yang sudah sampai titik bubble dengan outstanding kredit sekitar 800 triliun rupiah.
Padahal, menurut Salamuddin, dana sebesar itu bila digunakan untuk modal produktif sektor pertanian, untuk produksi pangan, dan substitusi impor maka bisa hapus pemborosan devisa impor pangan yang mencapai 12 miliar–16 miliar dollar AS.
“Ini bisa menjadi pendapatan petani dan rakyat golongan bawah sehingga meningkatkan taraf hidup petani dan buruh menjadi golongan menengah,” tutur dia.
Belasan tahun dana bank dan APBN disia-siakan untuk sektor nonproduktif, seperti konsumsi dan impor. Bahkan, 90 persen barang pada perdagangan elektronik atau e-commerce berasal dari impor. YK/SB/WP