KPK Tetapkan 4 Tersangka, Uang Rp 40 Juta Disita
Predikat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang dikeluarkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terbukti menjadi objek “basah” untuk mengeruk keuntungan pribadi.
Lewat operasi tangkap tangan (OTT) pada Jumat (26/5), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil membongkar praktik kotor oknum auditor ini. Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, usai pemeriksaan selama 1×24 jam, KPK menetapkan 4 tersangka dalam dugaan rasuah jual beli predikat WTP bagi Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT).
Mereka adalah Auditor Utama III BPK Rochmadi Saptogiri, Kepala Auditorat III BPK Ali Sadli, Inspektur Jenderal (Irjen) Kemendes PDTT Sugito, dan Kabag Itjen Kemendes PDTT Jarot Budi Prabowo.
“KPK mengamankan uang tunai Rp 40 juta dari OTT di kantor BPK,” ujarnya dalam konferensi pers di Gedung KPK kemarin (27/5).
Menurut Agus, uang Rp 40 juta itu diamankan penyidik KPK dari ruangan Ali Sadli. Dari pemeriksaan, terungkap bahwa uang itu merupakan bagian dari total komitmen yang diberikan Sugito dan Jarot kepada Rochmadi dan Ali agar memberikan opini WTP kepada Kemendes PDTT. “Total fee-nya Rp 240 juta,” katanya.
Namun, uang yang diamankan KPK tak hanya itu. Agus menyebut, penyidik juga menyita uang senilai Rp 1,145 miliar dan USD 3.000 (setara Rp 39 juta) yang disimpan di dalam brankas. Namun, uang itu belum bisa dipastikan apakah berkaitan dengan suap atau bukan. “Untuk pengamanan, di BPK kami segel 2 ruangan, di Kemendes 4 ruangan,” ungkapnya.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menambahkan, motif suap diduga kuat berkaitan dengan kegiatan pemeriksaan (audit) laporan keuangan Kemendes PDTT yang dilakukan BPK pada Maret lalu.
Sugito, kata dia, diketahui melakukan pendekatan pada auditor BPK dengan memberi kode “perhatian” tahun anggaran 2016. “Setelah diperiksa 1×24 jam, dilakukan gelar perkara,” terangnya.
KPK menjerat Rochmadi dan Ali dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Sementara Sugito dan Jarot dikenakan Pasal 12 huruf a atau b atau pasal 11 UU Nomor 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor.
Laode mengatakan, selain mempelajari uang di luar komitmen fee yang disita penyidik, pihaknya juga akan menggali informasi tentang asal duit Rp 240 juta yang digunakan Sugito untuk menyuap auditor BPK.
Hal itu penting dilakukan. Sebab, urusan yang menjadi objek suap umumnya diselesaikan secara kelembagaan. Bukan individu ke individu. “Itu akan menjadi bagian penyidikan.”
Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara berjanji mendukung upaya KPK menegakkan hukum terhadap dua pejabatnya itu. Pihaknya menilai kasus itu sebagai pembelajaran untuk lebih serius menjaga kredibilitas BPK. “Kami akan mengikuti proses hukum yang sedang berjalan,” papar pria yang baru satu bulan menduduki kursi ketua BPK tersebut.
Apakah predikat WTP Kemendes PDTT akan dianulir? Moermahadi belum bisa memastikan. Pihaknya masih perlu melihat secara mendalam hasil penyidikan KPK. Sejauh ini, penyidik KPK belum memberi gambaran umum terkait objek suap dalam OTT tersebut. “Kalau secara teori, kalau ada kesalahan bisa restatement,” terangnya.
Di tempat terpisah, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes) Eko Putro Sandjojo mengatakan, usai ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, pihaknya akan segera mengevaluasi posisi Sugito sebagai irjen. “Besok pagi (hari ini, red) akan kami rapatkan untuk mekanisme penggantiannya,” ujarnya.
Menurut aturan, pejabat yang telah berstatus tersangka harus dicopot dari jabatannya. Namun Eko mengatakan masih akan menunggu proses hukum yang berjalan. “Kalau nanti tidak terbukti bersalah, ya pasti hak-hak beliau dikembalikan,” katanya.
Sementara itu, anggota Komisi XI DPR yang membidangi sektor keuangan Mukhamad Misbakhun mengatakan, kasus suap yang melibatkan auditor utama BPK bukanlah keputusan kelembagaan.
“Itu perilaku yang dilakukan oknum yang harus diperbaiki,” terang dia saat dihubungi kemarin (27/5). Kasus suap itu tidak boleh dibiarkan, BPK harus secepatnya memperbaiki diri.
Dia yakin, masih banyak pegawai atau auditor yang idealis. Mereka bekerja untuk memperbaiki sistem keuangan negara. Jadi, tidak bisa digeneralisir, seolah-olah semua pegawai menerima suap. Itu hanya ulah oknum yang tidak bertanggung jawab dan tergoda oleh uang.
Misbakhun menjelaskan untuk menerima status WTP tidaklah mudah. Status itu tidak hanya didapat dari audit saja, tapi juga dilihat segi pelayanan. Jika ada kementerian atau lembaga yang pelayanannya jelek dan akuntabilitasnya rendah, maka tidak mungkin mendapatkan status WTP. “Jangan beranggapan, kasih suap, kemudian dapat WTP. Itu tidak bisa,” tutur dia.
Johnny G Plate, anggota Komisi XI yang lain mengatakan, dia menduga pemberian opini WTP sarat dengan korupsi. Khususnya, kata dia, laporan keuangan tingkat kabupaten/kota dan provinsi.
Dia mendukung KPK untuk mengusut tuntas kasus itu. Komisi antirasuah harus mengungkap praktik-praktik penyimpangan penggunaan anggaran negara.
Dia menegaskan, opini dari BPK jangan sampai bersifat politis dan menjadi komoditas oleh auditor. Anggota BPK harus tegas dengan bawahannya, sehingga terhindar dari praktik korupsi. (*)
LOGIN untuk mengomentari.