Setiap kali membaca berita tentang kecelakaan kerja, bulu kuduk saya meremang. Judul-judulnya pun mengerikan. “Empat Pekerja Jatuh dari Lantai 5 Gedung …” “Gondola Jatuh di …., Satu Orang Tewas.” “Paku Bumi Jatuh Timpa Pekerja.” “Pekerja Tewas Tertimpa Marmer.” “Empat Pekerja Pabrik Gula …. Tewas Tersiram Air Panas.” “Tertimpa 30 Kg Buah Sawit, Buruh Tewas Mengenaskan.” “Tergelincir Saat Lembur, ….. Tewas Tergilas Mesin Pencacah Plastik.”
Kita tahu, setiap kali terjadi kecelakaan kerja, kerugiannya sungguh tak terkira. Bukan hanya finansial, melainkan juga psikologis, dan akhirnya reputasi.
Bicara kerugian finansial, misalnya, tentu banyak biaya pengobatan yang harus dikeluarkan perusahaan. Kalau korbannya sampai tewas, seluruh pekerjaan terpaksa dihentikan guna memperlancar penyelidikan oleh pihak kepolisian. Berapa lama? Sulit dipastikan.
Anda tahu, kalau sudah begini, kerugiannya pasti sulit dihitung. Bukan hanya rugi biaya, tetapi juga waktu. Penyelesaian pekerjaan jadi molor dan kita berpotensi terkena klaim dari pelanggan.
Secara psikologis, kecelakaan kerja berpotensi membuat pekerja yang lain mengalami demotivasi. Semangat kerjanya menurun, dan akhirnya produktivitas kerja juga jadi rendah. Kalau sudah begini, sulit sekali mengembalikan semangat kerja ke kondisi semula.
Lalu, kerugian yang paling besar adalah rugi reputasi -dan akhirnya berdampak ke bisnis. Nilainya kadang tak bisa dihitung. Kalau perusahaan Anda bergerak dalam bisnis konstruksi dan beberapa kali mengalami kecelakaan kerja, pemilik proyek tentu enggan mempergunakan jasa Anda.
Dengan kerugian yang begitu besar itu, saya tak habis mengerti kalau masih begitu banyak perusahaan yang abai dalam menerapkan prinsip-prinsip Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Saya juga heran kalau masih ada jajaran manajemen di perusahaan yang menganggap K3 adalah biaya, bukan investasi.
Hazard dan Risk
Baiklah supaya kita punya pemahaman yang sama soal K3, saya ingin sedikit berbagi definisi. K3, atau kalau di luar negeri mungkin lebih dikenal dengan sebutan Occupational Health and Safety (OHS). Ini adalah ilmu dan seni mengelola bahaya (hazard) dan risiko (risk) di tempat kerja. Di dalamnya tentu termasuk tata cara untuk menanggulanginya.
Ilmu ini bertujuan menciptakan lingkungan kerja yang bebas dari kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Hazard adalah bahaya yang terkandung pada semua benda di lingkungan kerja. Bahaya ini tak bisa dihilangkan. Sementara, risk adalah kemungkinan hazard tadi memberikan dampak negatif bagi kita, bagi alat-alat produksi atau lingkungan.
Contoh sederhananya adalah pensil atau alat tulis lainnya. Logika kita, mestinya pensil atau alat tulis lainnya adalah benda yang aman. Ini keliru. Sebab pensil bisa menjadi sangat berbahaya. Bayangkan kalau sampai kita tertusuk. Apalagi kalau yang tertusuk adalah mata!
Maka, menerapkan prinsip-prinsip K3 menjadi penting. Prinsip-prinsip ini berfungsi untuk meminimalkan bahaya dan menekan risiko. Harapannya jangan sampai terjadi kecelakaan kerja, dan menimbulkan penyakit akibat kerja.
Mari kita uraikan sedikit lebih jauh. Kalau kecelakaan kerja, Anda tentu paham. Lihat saja dari judul-judul yang mengerikan tadi. Sementara, kalau penyakit akibat kerja tentu banyak ragamnya. Misalnya, kalau kita bekerja di tempat yang bising, telinga tentu akan mengalami gangguan. Bahkan berpotensi menjadi tuli. Sementara, kalau mata selalu terpapar oleh radiasi elektromagnetik, suatu saat kita bisa terkena katarak dan bahkan akhirnya mengalami kebutaan.
Kalau sirkulasi udara di ruang kerja tidak sehat, kita jadi gampang tertular penyakit atau infeksi lainnya. Banyak karyawan yang bekerja di ruang ber-AC mengeluh tentang pundaknya yang pegal-pegal. Otot-ototnya menjadi kaku. Lalu, kalau posisi kursi kurang ergonomis, otot-otot kadang terasa nyeri. Itu semua adalah penyakit akibat kerja.
Pendeknya, banyak sekali penyakit akibat kerja yang potensial menyerang Anda. Bahkan stres pun sebetulnya digolongkan sebagai penyakit akibat kerja. Berapa banyak dari Anda yang peduli soal ini? Kebanyakan kita malah beranggapan bahwa stres itu hal biasa. Kalau tidak stres ya namanya bukan bekerja. Mungkin Anda harus mengoreksi anggapan yang seperti ini.
Anda tahu kian banyak perusahaan yang mendesain lingkungan kerjanya senyaman mungkin. Ini agar membuat mereka produktif dalam bekerja, sehingga tidak stres. Jadi, masihkah Anda beranggapan bahwa K3 itu adalah biaya?
Kian Mematikan
K3 ini sesungguhnya isu yang serius. Sebab di negara kita banyak sekali kasusnya. Mulai dari yang ringan sampai serius. Lalu, kalau perusahaan bergerak di bisnis yang high tech dan high investment, seperti dalam bisnis minyak dan gas, risikonya juga bakal semakin meningkat. Sekali terjadi kasus kecelakaan kerja, harganya bisa sangat mahal.
Kabar gembiranya, angka kecelakaan kerja selama 2016 turun dibanding tahun sebelumnya. Menurut data BPJS Ketenagakerjaan, jika pada 2015 kecelakaan kerja mencapai 110.285 kasus, sepanjang tahun 2016 menjadi 101.367 kasus. Itu artinya turun 8%.
Kabar buruknya, meski jumlahnya menurun, angka kematian yang diakibatkan kecelakaan kerja malah meningkat. Masih menurut BPJS, peningkatannya bahkan mencapai hampir 350%.
Itu artinya kasus-kasus kecelakaan kerja di negara kita menjadi semakin mematikan. Selama tahun 2016, menurut BPJS, kebanyakan kecelakaan kerja yang berujung pada kematian terjadi di sektor konstruksi.
Soal kecelakaan kerja, ada kajian menarik dari Randall Shaw, Managing Director Radlog Environmental Ltd. Di sejumlah negara Asia, katanya, meningkatnya angka kematian akibat kecelakaan kerja ternyata tidak ada hubungannya dengan banyaknya peraturan soal ini. Ada negara yang regulasi soal K3-nya sedikit, tetapi angka kematian akibat kecelakaan kerjanya juga rendah. Juga sebaliknya, ada yang regulasinya banyak, tetapi angka kematian akibat kecelakaan kerja juga tinggi.
Tapi, ini menariknya, tinggi rendahnya angka kematian kerja di Asia ternyata sangat berkaitan dengan Gross Domestic Product (GDP). Hasil kajian Shaw menyebutkan, makin besar GDP, makin rendah angka kematian akibat kecelakaan kerja. Dan, sebaliknya. Jadi, angka kematian kerja tak ada hubungannya dengan regulasi. Ia justru berkaitan dengan GDP.
Artinya, dengan uang! Maka, kita tak bisa lagi menganggap K3 sebagai biaya. Itu sudah kuno. Itu mindset usang. K3, supaya membuahkan hasil (kalau di tingkat negara diukur dari GDP, pada level perusahaan mungkin dari pendapatan dan laba bersih) mesti dianggap sebagai investasi. Anda tahu prinsip investasi bukan? Uang yang kita keluarkan sekarang, akan memberikan hasil di tahun-tahun mendatang. Ia tak pernah sia-sia! (*)
LOGIN untuk mengomentari.