Ribuan spektrum cahaya jatuh di dinding luar Berliner Dom, gereja katedral tertua di Berlin, Jerman, Sabtu (14/10) malam.
Cahaya itu bukan hanya bergerak, menari dan mengikuti irama musik, melainkan juga membuat ilusi seolah dinding kokoh gereja itu runtuh, terbakar atau terbelah menjadi beberapa bagian.
Berkumpul, menyebar dan pecah seketika cahaya di dinding itu yang mewarnai hitamnya malam.
Kreasi cahaya itu ditampilkan oleh para seniman dunia dari berbagai negara, termasuk Indonesia dalam ajang tahunan The Festival of Lights 2017 in Berlin.
Masing-masing seniman menunjukkan keahliannya dalam mengatur komposisi cahaya, baik gerak maupun warnanya di media yang tidak datar itu.
Latar belakang langit Berlin yang gelap gulita di malam hari yang ditabrak dengan warna-warni cahaya di Berliner Dom menyajikan pemandangan yang kontras nan indah.
Bangunan gereja yang identik dengan gelap di malam hari, kali ini tidak demikian, cahaya berlari ke sana ke mari menampilkan pemandangan yang tidak biasa.
Bangunan bersejarah itu tampak hidup dengan adanya refleksi cahaya yang membuat pengunjung enggan melewatkan pertunjukan hingga selesai.
Masing-masing seniman menujukkan kebolehannya dengan mengawinkan komposisi cahaya dengan alunan musik yang berdurasi tidak lebih dari dua menit.
Setiap pertunjukan cahaya memiliki makna berbeda-beda, mulai dari peringatan akan ancaman pemanasan global hingga kampanye untuk merangkul perbedaan yang ada di sekitar kita.
Kesempatan untuk memenangkan lomba juga bukan hanya untuk seniman, tetapi juga pengunjung bisa mengikuti lomba foto gedung-gedung yang berlapis cahaya itu.
Sejak pertama kali diselenggarakan pada 2005 hingga menginjak di tahun ke-13 ini, The Festival of Lights in Berlin, tidak pernah sepi pengunjung.
Para pengunjung baik warga lokal, maupun yang sengaja datang dari berbagai negara tak mau melewatkan ajang yang hanya diselenggarakan setahun sekali itu.
Berbagai kalangan memenuhi setiap area pertunjukan cahaya yang letaknya tidak berjauhan, jadi bisa dijangkau dengan berjalan kaki.
Bukan hanya di Berliner Dom, pantulan sinar warna-warni itu juga bisa dilihat di bangunan bersejarah lainnya, yaitu Bradenburg Gate, Fernsehturm, Humboldt Universitat zu Berlin, Markisches Viertel, Postdamer Platz dan lainnya.
Festival of Lights in Berlin digelar mulai dari 6-15 Oktober 2017 dan bisa dinikmati pukul 19.00 s.d. pukul 21.30 waktu setempat atau bisa lebih lama lagi apabila akhir pekan.
Pengunjung disarankan tidak meninggalkan pertunjukan hingga selesai karena biasanya langit Berlin kembali dimeriahkan dengan warna-warni kembang api.
Tidak hanya di depan gedung, pengunjung juga bisa menikmati kilauan cahaya di perahu mengingat Berlin itu sendiri dikelilingi kanal yang tertata dan indah.
Salah satu pengunjung yang ditemui di depan Humboldt Universitat zu Berlin, Dzaif Taufik mengatakan setiap tahun Festival of Lights in Berlin menampilkan teman yang berbeda-beda.
Biasanya, kata dia, seni cahaya itu menampilkan sejarah Jerman, seperti runtuhnya Tembok Berlin pada 1990.
“Saya baru datang ke satu spot, belum mengelilingi semuanya, kalau tahun lalu itu temanya lebih bagus dan lebih dark karena ada semacam dementor seperti di film Harry Potter di tiang-tiang ini,” ujar mahasiswa yang sedang menempuh studi di Hoshchule fur Technik und Wirstscaft Berlin itu.
Pria yang sudah bermukim di Jerman selama enam tahun itu mengaku tidak melewatkan kesempatan ajang tahunan yang biasanya dipadati jutaan pengunjung itu.
Dia menambahkan setiap hari pertunjukannya berbeda-beda dengan karya seni dan karakter yang berbeda pula.
Penghargaan tinggi terhadap seni
Pengunjung asal Indonesia yang kebetulan sedang melawat ke Jerman, terutama ke Kota Berlin, Siti Maulia Rizki, sengaja datang ke Festival of Lights 2017 in Berlin.
Bukan tanpa alasan, selain memang tertarik dengan pertunjukan cahaya yang unik, pengunjung sama sekali tidak dipungut biaya untuk bisa menikmati karya seni tersebut.
“Mumpung ke sini kapal lagi bisa menyaksikan event ini, meskipun Siti enggak begitu mengerti, tapi Siti menikmati,” ujar Siti Maulia Rizki, Guru Bahasa Inggris asal Aceh itu.
Siti menceritakan pengalamannya yang mengunjungi beberapa museum dan situs sejarah lain, mulai dari Berlin, Frankfurt hingga ke kota kecil Gottingen.
Museum sangat ditata rapi, benda-penda peninggalan mulai dari abad ke-9 masih dirawat dengan baik dan sangat ramai dkunjungi.
“Ajang ini menunjukkan apresiasi terhadap seni itu tinggi dan pemahaman mereka sangat luas, ini mungkin yang jarang sekali ditemukan di Indonesia, tapi kita juga bangga ada wakil dari Indonesia yang bisa bersaing,” ujarnya.
Lain lagi dengan Marella Al Faton yang menilai ajang semacam Festival of Lights in Berlin, selain sebagai media pujian terhadap seni juga memberikan ruang untuk mengasah kreativitas anak muda.
Pasalnya, mereka ditantang untuk menampilkan karya seni cahaya di media tak datar, yaitu dinding bangunan yang juga mempunyai nilai historis.
Selain itu, ajang demikian mampu mendongkrak jumlah wisatawan baik dalam maupun luar negeri, sehingga bisa menjadi ikon pariwisata suatu negara.
“Biasanya bangsa yang maju adalah bangsa yang menghargai karya seni dan sejarahnya,” ujar peneliti bidang politik Universitas Indonesia itu.
Dia berharap di Indonesia ada ajang semacamnya atau ajang-ajang lainnya yang bisa menggugah rasa cinta warganya, terutama anak muda terhadap karya seni serta lebih memahami sejarah negerinya sendiri.
Editor: Gilang Galiartha
COPYRIGHT © ANTARA 2017