Tertangkapnya artis dangdut, Ridho Rhoma, dalam kasus narkoba, membuka kembali pertanyaan abadi: hubungan artis dengan penggunaan narkoba. Apakah memang ada hubungan khusus antara artis dengan penggunaan narkoba—mengingat banyaknya artis yang tertangkap karenanya. Jawabannya bisa iya, bisa tidak. Iya, karena begitu banyak artis tergodai memakai narkoba.
Tapi juga tidak, mengingat profesi lain—wartawan, penegak hukum, pengacara, atau sebut apa saja, juga bisa terseret kasus ini.
Atau adakah hubungan khusus yang mengaitkan langsung dengan profesi keartisan? Mungkin di sini bisa rada-rada dikaitkan. Mengingat tingkat ketegangan dunia artis sangat tinggi, terutama saat shooting. Di mana siang menjadi malam, malam menjadi siang—dalam arti sebenarnya karena adegan siang diambil malam hari dan sebaliknya, dan jarak pengambilan satu dengan yang lain bisa menunggu berjam-jam.
Bisa didandani dari pagi, dan malam hari baru di-shoot. Itu pun dalam kondisi yang sudah loyo karena penungguan sudah berlangsung sejak sehari atau dua hari sebelumnya. Saya pernah menunggu tiga hari di lapangan untuk shooting hanya satu scene saja. Waktu itu sutradaranya Teguh Karya, judul filmnya Ibunda. Tapi, waktu itu tak ada yang terjerembap gara-gara narkoba.
Bahwa dunia yang tegang, yang tensi tinggi, yang saling tergantung satu sama lain, tidak hanya untuk kalangan artis atau pemeran. Kru film—atau kru televisi, pun mengalami hal yang sama. Kehidupan mereka pun tak biasa, seolah berada dalam dunia lain. Saat bayaran kita akan menemukan semua memakai sepatu baru, sabuk atau ikat pinggang baru, kacamata baru, dan telepon genggam model terbaru.
Yang kesemua itu bisa dijual kembali saat “no job”, saat tidak berproduksi , dengan harga sepertiga harga pembelian, atau malah kurang. Dengan perbedaan harga yang demikian tinggi, masih ditambah lagi kemungkinan “putus kontrak” yang bisa terjadi setiap saat—bahkan dengan kelas kamerawan sekalipun, dengan artis tetap – benar-benar tak ada yang dipastikan akan berusia lama.
Karena itu, pula kehidupan kesementaraan lebih permanen. Seseorang artis bisa marah-marah karena pendingin kabarnya ngadat, padahal ia tak terbiasa tidur di kamar dingin.
Atau soal makan yang tak disukai, atau penata rambut yang ngehek, atau, dan atau yang lainnya. Pada titik yang bersamaan, juga lalu-lalang berita, kabar,gosip, hoax, sindiran, kritik, dan komentar. Atas apa saja, termasuk yang mestinya dirahasiakan.
Dalam keriuhan inilah, narkoba adalah bagian kecil yang menyelip. Bukan yang utama, juga bukan satu-satunya. Artinya, kalau memang ingin menjadi artis, atau hidup di dunia yang berkilau ini, harus siap akan situasi yang menyertai. Situasi yang terkait dengan keartisan, dengan suasana kegiatan produksi, dengan ketegangan yang mendadak tinggi.
Kegiatan dengan dosis tinggi sebenarnya juga berlangsung di dunia pengelola pertunjukkan, misalnya. Atau ketika memproduksi iklan. Atau penyiar dan kru ketika siaran secara langsung. Yang menuntut presisi tinggi, bahkan hitungan detik. Ini yang menimbulkan keteganghan, kerawanan, dan stres. Tapi, tetap bukan alasan memakai narkoba. Baik sebagai doping, pemberi semangat tanpa lelah, atau gaya-gayaan, ala gaya hidup, atau alasan apa pun.
Narkoba adalah kesalahan, jika memakai. Tidak ada pembeda dengan profesi yang dilakoni artis atau bukan. Tidak juga jenis musik dangdut atau bukan dangdut. Atau siapa orang tua, atau kenalan, atau pendukung. Tak ada kompromi dalam memerangi narkoba.