Beberapa hari lalu, e-budgeting atau anggaran secara elektronik DKI Jakarta yang tertuang melalui website APBD DKI Jakarta yakni https:// apbd.jakarta.go.id menjadi sorotan dan polemik di masyarakat.
Pasalnya, terdapat beberapa anggaran dalam rancangan Kebijakan Umum Anggaran Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2020 DKI Jakarta yang dinilai janggal dan tidak masuk akal, di antaranya anggaran pembelian lem Aibon sebesar 82 miliar rupiah. Demikian juga anggara untuk bolpoin hingga biaya mengundang influencer.
Diketahui, e-budgeting ini mulai diterapkan sejak era kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Sistem ini dilakukan agar penganggaran yang ada di DKI Jakarta dapat segera dipublikasikan dan dilihat oleh masyarakat.
Untuk mengupas sistem anggaran DKI Jakarta itu, Koran Jakarta merangkum tanggapan dari Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo, pada Senin (4/11).
Bagaimana KPK melihat e-budgeting dalam rancangan Kebijakan Umum Anggaran Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2020 DKI Jakarta?
Gini, sebenernya e-planning dan e-budgeting yang seperti itu memberikan akses kepada masyarakat. Agar masyarakat tahu, apa yang dilakukan oleh, baik dari kementerian maupun pemerintah daerah (pemda).
Jadi kalau Anda ingin tahu, misalkan kementerian A itu yang mau dicapai apa, dari kementerian itu. Kemudian sampai detail seperti itu, kemudian Anda tahu (e-planning dan e-budgeting). Loh kok beli barang seperti ini, itu kalau terbuka, rakyat bisa menilai.
Apakah Anda indikasi kesengajaan dari aparat DKI Jakarta dalam kasus lem Aibon sebesar 82 miliar rupiah, untuk bolpoin hingga biaya mengundang influencer untuk melakukan praktik tindak pidana korupsi?
Ini kan yang baik sebenernya karena terbuka kepada rakyat. Kemudian, rakyat bisa menilai. Itu poin yang paling penting yang perlu dipegang.
Jadi, itu seharusnya terjadi juga di semua departemen di semua daerah. Jadi sedetail itu, tapi kemudian detailnya harus rasional harus mencapai sesuatu yang memang bermanfaat, dan meaning (berarti) untuk kita semua.
Tanggapan soal isi dari e-budgeting DKI Jakarta tersebut?
Itu e-budgeting itu kan tidak bisa tiba-tiba. Kan harus diproyeksikan oleh e-planning dulu. Kalau kita sudah tahu e-planning itu, kan pertama visi misi diterjemahkan pada e-planning.
Jadi, e-planning sendiri kan ada yang lima tahun, ada yang tahunan. Di situ targetnya sudah jelas. Nah sebetulnya, e-budgeting itu kan apa yang mau dicapai tiap tahun itu, kemudian diterjemahkan di dalam budget.
Apakah isi dari e-budgeting harus detail?
Memang detail, memang sampai yang namanya beli alat tulis, tapi kan kemudian gak seperti itu kan. Masa beli lem aibon sampe sebesar itu. Pasti tidak, itu pasti ada kesalahan. Tapi untuk mencapai sesuatu apa, itu sebetulnya jelas.
Jadi, hubungan antara e-planning dan e-budgeting harus jelas, apa yang mau dicapai dalam perencanaan itu, kemudian diterjemahkan sehari-hari, dalam unit yang memang lebih kecil, yaitu sampai beli barang itu apa, yang dibeli apa. Tapi tujuan barang ini itu apa sebetulnya? Untuk mencapai apa? Itu harus keliatan.
Ini artinya ada yang tidak sinkron antara e-planning dan e-budgeting?
Saya belum melihat sejauh itu, tapi kau kita melihat membeli lem aica aibon saja kok sebesar itu, pasti mungkin ada kesalahan yang mereka tidak melihat perencanaannya.
Apakah dalam kasus e-budgeting Pemda DKI ini terdapat kesalahan?
Jangan menyalah-nyalahkan, tujuannya saja yang penting (terbuka kepada publik). yolanda permata putri syahtanjung/P-4