in

Kampus, Pusat Cendekia yang Memutilasi Demokrasi?

Ilustrasi. Sumber: Okezone.

Nama Dr. H. Amiruddin Idris, SE, Msi, kembali mengudara. Setelah tak mampu meraup suara signifikan di Pilkada Bireuen 2017, kabar miring lainnya pun menerpa sang akademisi. Ia dituding telah melanggar statuta Universitas Almuslim, demi jabatan rektor untuk periode keempat. Benarkah Pemilik Yayasan Kebangsaan Bireuen itu gagal menerapkan nilai-nilai demokrasi di kampus ?

Tidak ada kegiatan besar-besaran dalam rangka pemilihan rektor baru Universitas Almuslim. Diam-diam, kampus kebanggaan masyarakat Peusangan itu, telah memilih rektor untuk periode baru, namun tetap sosok yang sama, yaitu Amiruddin Idris, yang telah menjadi top leader di kampus itu selama tiga periode.

Khalayak pun terhenyak. Almuslim yang biasanya pada tiap event selalu mengundang kuli tinta, kali ini malah tidak mengabari para wartawan, padahal pemilihan rektor bukanlah kegiatan yang kecil. Bahkan, situs online Bongkarnews, menyebutkan, bukan hanya dilakukan secara senyap, kampus pun menggunakan bodyguard “swasta” dari luar kampus untuk mengamankan kegiatan tersebut.

Kabar semakin liar, tatkala berhembus informasi bahwa panitia pemilihan rektor telah dengan sengaja mengabaikan statuta kampus yang membatasi durasi masa jabatan untuk jabatan rektor yang hanya boleh dua kali. Kabar lainnya, Amiruddin Idris disebut-sebut tidak rela jabatannya diduduki oleh orang lain, walau kampus tersebut memiliki beberapa orang yang memiliki pangkat Lektor Kepala.

Upaya Meluruskan Informasi

Wakil Sekretaris Panitia Pemilihan Rektor Umuslim, Mukhlis Amua, SE, M.M, dalam konferensi pers dengan sejumlah wartawan, Jumat (24/3/2016) mengatakan bahwa beredarnya informasi miring tentang pemilihan rektor, dikarenakan ketidakpahaman terhadap aturan yang berlaku dalam organisasi Universitas Almuslim.

Ia mengatakan bahwa panitia pemilihan rektor yang dibentuk merupakan personal-personal yang berkopeten, profesional dan berpengalaman dalam urusan keorganisasian. Dalam kesempatan itu, ia juga menjelaskan bahwa selain Amiruddin Idris, tidak ada kandidat lain yang mendaftar saat itu. Bila pun kemudian, Marwan Hamid ikut mendaftarkan diri, namun ianya tidak melengkapi berkas sesuai dengan aturan yang sudah ditetapkan. Bahkan Marwan kemudian juga membuat surat dukungan terhadap Amiruddin Idris.

Kampus, Institusi Mutilasi Demokrasi?

Lupakan pemilihan Rektor Universitas Almuslim, yang setelah dijelaskan oleh panitia, telah lahir titik terang bahwa hanya ada calon tunggal. Dilihat dari segala sisi, Amiruddin Idris pun, oleh panitia dan senat masih dianggap pantas dan mampu menjalankan fungsinya sebagai pemimpin tertinggi. Dari sisi kesehatan, ia pun memenuhi syarat. Bukankah ia mampu memenuhi syarat menjadi Bupati Bireuen—andaikan terpilih–, konon lagi untuk sebuah intitusi kampus yang ruang lingkupnya kecil.

“Kenapa harus dipermasalahkan? Bukankah Pak Amir mencukupi syarat menjadi Rektor Universitas Almuslim? Lahirnya calon tunggal, karena hanya Beliau hanya mendaftar, Zahara tidak mendaftar. Marwan maju setengah hati. Kenapa ini diributkan? Lagian, Beliau tidak mengidap penyakit yang menghalangi dirinya menunaikan tugas,” ujar seorang tokoh Peusangan.

Ya, mempermasalahkan kembalinya Amiruddin Idris sebagai Rektor Umuslim, seperti memprotes pemilik rumah mencampur aduk warna cat untuk mengecat rumahnya sendiri. Bicara demokrasi, kampus mana di Indonesia dan Aceh yang sudah mampu menerapkan nilai-nilai demokrasi secara sempurna?

Sejarah telah menjawab, sekaliber universitas negeri saja, megap-megap dalam menjalankan praktik demokrasi. Setiap pemilihan rektor selalui dimulai dengan ribut-ribut. Bahkan lahir genk-genk internal kampus. Dialektika tidak berjalan, tatkala perebutan kursi rektor dan dekan dimulai. Mereka yang merasa pantas untuk maju, pun memilih berseteru untuk mencapai kursi pemimpin intelektual kampus.

“Guru besar saya, 10 tahun tak dikukuhkan sebagai Profesor, karena ianya berseberangan paham dengan rektor yang berkuasa. Bayangkan, begitu lama ia dipenjara dalam kondisi yang demikian,” ujar seorang calon doktor hukum.
“Saya dan beberapa pendukung calon rektor yang kalah, tidak diberikan jabatan akademik. Kami hanya diberikan jatah mengajar saja, itupun sksnya sangat sedikit,” ujar seorang dosen.

Ini tentu menarik untuk dikaji lebih serius. Bahwa demokrasi yang kemudian dipahami sebagai konsep bernegara yang ideal untuk negara yang majemuk, justru selalu dimutilasi di kampus-kampus, tempat akademisi merumuskan konsep demokrasi. []

Komentar

What do you think?

Written by virgo

Sah, Mutasi Pejabat SKPA Ditolak, Ini Alasan Mendagri

Earth Hour 2017 di DKI Hemat Listrik 157 Megawatt