» Coba kalau kredit disalurkan ke sektor riil dan petani pasti mempunyai efek berganda bagi pertumbuhan ekonomi.
JAKARTA – Kenaikan peringkat Indonesia oleh Bank Dunia menjadi negara berpendapatan menengah atas atau upper middle income akan sulit dipertahankan kalau tidak ada upaya serius dan konsisten untuk mengatasi ketimpangan pendapatan sebagai salah satu kunci meningkatkan daya saing.
Peningkatan daya saing sendiri menjadi modal bagi Indonesia untuk lolos dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap) menuju negara berpendapatan tinggi yang ditargetkan bisa terealisasi pada 2045 mendatang.
Ekonom dari Universitas Atma Jaya Jakarta, Suhartoko, di Jakarta, Minggu (12/7), mengatakan daya saing suatu produk akan bermuara pada biaya yang dikeluarkan rata-rata murah. “Salah satu yang bisa menurunkan biaya adalah penggunaan kandungan lokal yang semakin besar dalam satu produk,” kata Suhartoko.
Penggunaan bahan baku kandungan lokal yang lebih besar, jelas Suhartoko, akan menurunkan biaya, terutama ongkos transportasi dari impor dan sekalian menghemat devisa negara serta menghidupkan perekonomian lokal.
Masalahnya, kata Suhartoko, produk lokal Indonesia belum efisien, kalah bersaing dengan produk asing. Salah satu penyebab ketidakefisienan adalah masih maraknya praktik kolusi, korupsi, dan nepostisme atau kronisme.
Sementara itu, Ekonom dari Univeristas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, mengatakan meskipun transparansi sudah dibangun dalam hal layanan data pribadi, pembayaran pajak, kredit perbankan, subsidi dan pendapatan, namun tidak menjamin tidak terjadinya kronisme, seperti dominasi intermediasi perbankan yang dominan ke sektor properti, kredit konsumsi untuk produk impor, dan pembiayaan ke konglomerasi.
“Tata kelola dalam penyaluran kredit sudah dibangun dengan sangat baik, tapi apakah pemerintah mau, kroninya tidak mendapat kue? Coba kalau disalurkan ke sektor riil dan petani pasti mempunyai efek berganda bagi pertumbuhan ekonomi, ” kata Esther.
Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti, mengatakan lingkaran sistem politik yang diisi oleh orang atau kelompok yang berupaya mempertahankan sistem oligarki menyebabkan industri lokal terus diupayakan disuntik mati melalui banjirnya barang impor dengan tujuan mencari rente.
Dari sisi fiskal pun, kebijakan anggaran pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak pro pembangunan ekonomi perdesaan dan tidak memperkuat Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Selain itu, daya saing sumber daya manusia Indonesia di kancah global tak kompeitif karena sistem pendidikan tidak berbasis pada link and match dengan lapangan kerja. Belum lagi korupsi dan pajak-pajak siluman merajalela yang sulit ditertibkan. “Kami mengimbau agar kebijakan dan peraturan yang tidak pro kemandirian pangan, kurang berpihak pada pengembangan industri dalam negeri, dan impor substitusi agar direvisi,” katanya.
Terkait pajak di AS, untuk pertumbuhan dan pendapatan pemerintah di masa mendatang, Presiden Donald Trump justru memangkas tarif pajak. Sedangkan Singapura, untuk meningkatkan investasi dari negara tetangga telah menurunkan corporate tax rate menjadi 17 persen.
Pengembangan Koperasi
Ekonom dari Konstitusi, Defiyan Cory, menambahkan, krisis akibat pandemi Covid-19 menjadi momentum bagi pemerintah untuk menegakkan kembali sistem politik ekonomi berdasarkan Demokrasi Pancasila dengan menolak campur tangan oligarki partai politik melalui penguatan sistem ekonomi konstitusi yang berbasis pengembangan ekonomi Koperasi dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
“Hanya melalui cara inilah kronisme dapat diminimalisir dengan berpihak pada kelompok terbesar bangsa ini yang selalu menjadi penopang ekonomi di masa-masa sulit dan krisis,” kata Cory.
Dari tiga krisis setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 yakni pada 1965, tahun 1998 dan pada 2018 lalu, usaha rakyat, kata Cory, tetap bertahan. Sebaliknya, saat krisis, justru pemerintah lebih sering membantu para konglomerat dan bank-bank lewat kebijakan bantuan keuangan menutupi kebangkrutan (bailout) seperti subsidi negara pada obligasi rekap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sejak 1998 yang sudah bunga berbunga hingga 3.000 triliun rupiah. n ers/SB/E-9