Yang satu di Maguwoharjo, Sleman. Satunya lagi di Nou Camp, Barcelona. Terpisah ribuan kilometer, tapi dua pertandingan dalam level yang berbeda pada Rabu lalu (8/3) itu mengingatkan kita pada apa yang pernah dikatakan Pele: di sepak bola, satu-satunya cara untuk menang adalah dengan bermain sebagai sebuah tim.
Mari meluaskan makna “menang” dan “tim” di sini. Menang tak sekadar merebut tiga angka. Dan, tim tak cuma berarti 11 pemain di lapangan plus pelatih mereka.
Di Maguwoharjo, gelar Dirgantara Cup yang direbut Persebaya adalah kemenangan buah perjuangan panjang oleh segenap elemen klub berjuluk Green Force itu. Dimulai dari loyalitas perjuangan suporter mereka melawan pencekalan dari kompetisi yang berlangsung empat tahun, manajemen baru yang membawa angin segar perubahan, sampai tentunya kerja keras para pemain dalam menerjemahkan taktik sang pelatih.
Begitu pula di Nou Camp. Barcelona percaya benar, ketertinggalan 0-4 dari PSG di leg pertama bukanlah vonis mati. Mereka menolak menyerah. Dan, dengan dukungan penuh suporter, tim asuhan Luis Enrique itu mencatatkan salah satu comeback paling fenomenal dalam sejarah sepak bola.
Nilai dasar sepak bola, dan olahraga pada umumnya, pada hakikatnya ajakan untuk melampaui batas. Bahwa di atas langit pun masih ada langit. Impossible is nothing, untuk mengutip iklan sebuah peralatan olahraga.
Dari masa ke masa, banyak sekali contoh berserakan untuk itu. Dari kemenangan Uruguay atas Brasil di laga penentu Piala Dunia 1950, kesuksesan Yunani menjuarai Euro 2004, hingga tumbangnya juara bertahan Argentina dan Prancis oleh Kamerun dan Senegal di partai pembuka Piala Dunia 1990 serta 2002.
Keajaiban demi keajaiban yang terus terjadi di lapangan hijau itu memperlihatkan, asal mau bekerja keras dan berdisiplin terhadap yang hendak dicapai, selalu ada jalan. Pada Piala Dunia 2002 itu, misalnya, siapa yang bakal berani menduga Senegal yang baru kali pertama tampil di putaran final bakal bisa menundukkan Prancis yang datang dengan status juara bertahan sekaligus juara Eropa?
Sampai dengan tahun lalu, mungkin banyak yang tertawa jika ada yang mengatakan bakal bisa come back ke kompetisi resmi dan langsung merebut gelar di turnamen pertamanya. Tapi, lihat apa yang terjadi?
“Seinci demi seinci, di tiap jengkal lapangan, sampai titik darah penghabisan,” kata Tony D’Amato, karakter pelatih yang diperankan Al Pacino dalam Any Given Sunday. Bukankah hidup jadi terasa lebih indah ketika yang dipinggirkan, yang dipandang sebelah mata, bisa membalikkan keadaan? Sebab, itu memberi siapa saja sebuah hal yang sangat berharga: harapan. (*)
LOGIN untuk mengomentari.