Penanganan kasus korupsi kakap elektronik KTP (e-KTP) memasuki babak baru. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melimpahkan perkara penyidikan rasuah yang merugikan keuangan negara Rp 2,3 triliun itu ke tahap penuntutan, kemarin (1/3).
“KPK melakukan pelimpahan berkas dua tersangka Irman dan Sugiharto di pengadilan tipikor,” ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah. Dua berkas tersangka itu digabung dalam satu dakwaan.
Tidak tanggung-tanggung, untuk tersangka Sugiharto total berkas sebanyak 13 ribu lembar yang meliputi dakwaan dan keterangan 294 saksi serta 5 ahli. Sedangkan berkas Irman sebanyak 11 ribu lembar dengan 173 saksi dan 5 ahli. “Untuk jadwal sidang kami tunggu penetapan dari pengadilan (tipikor Jakarta, red),” jelasnya.
Febri menjelaskan, penyidik sengaja menggabungkan dua berkas perkara itu dalam satu dakwaan jaksa penuntut umum (JPU). Pertimbangannya, agar pembuktian perkara lebih efektif seiring saksi dan bukti yang dihadirkan nantinya bisa diberlakukan untuk dua terdakwa.
“JPU berprinsip untuk memenuhi peradilan yang murah,” kata mantan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) itu. Ditanya soal sejumlah saksi yang mangkir saat tahap penyidikan perkara, Febri menerangkan para saksi itu bisa dihadirkan JPU di persidangan.
Sebagai catatan, beberapa mantan anggota DPR yang diduga berkaitan dengan kasus e-KTP tidak hadir saat pemeriksaan. Salah satunya, Yasonna Laoly yang saat ini menjabat sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).
“Saksi-saksi yang tidak hadir dalam penyidikan maka mereka kehilangan kesempatan memberikan klarifikasi,” ungkapnya. Sebagian mantan anggota DPR itu beberapa waktu lalu juga mengembalikan uang yang diduga hasil korupsi e-KTP. Totalnya Rp 30 miliar. Mereka dipastikan akan dihadirkan dalam persidangan.
“Dalam proses persidangan sampai tuntutan nanti akan kami buktikan seluruh rangkaian pembuktian itu,” imbuhnya. KPK juga memastikan kerugian keuangan negara dalam kasus yang terjadi pada 2014 itu sudah cukup kuat.
KPK menggunakan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) saat menentukan kerugian negara yang diakibatkan kasus tersebut. Hal itu menjadi persoalan seiring putusan MK menghilangkan kata dapat dalam pasal 2 dan 3 UU pemberantasan korupsi.
“Kami sudah menghitung indikasi kerugian negara, jadi bukan potensi lagi,” ujarnya. (*)
LOGIN untuk mengomentari.