Palembang, BP
Masyarakat Lebak Rawang Kecamatan Tulung Seluang Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) terutama di empat Desa Desa Jerambah Rengas, Penanggoan Duren, Lebung Itam dan Tulung Seluang resah dengan aktivitas perusahaan sawit , PT. Bintang Harapan Palma (BHP) di empat desa tersebut.
Dari laporan yang telah diterima Walhi Sumsel dari masyarakat, perusahaan tersebut telah membuat kanal sepanjang 700 meter mengakibatkan perubahan ekosistem di wilayah seluas 11.417 hektare tersebut.
Apa lagi area di sana merupakan gambut dalam, yang jika terbakar akan membuat api sulit dipadamkan.
“Pembukaan kanal akan berdampak pada keringnya gambut. Seharusnya, wilayah yang pernah terdampak kebakaran lahan tahun 2015 lalu harus dipulihkan. Untuk memulihkannya butuh waktu cukup lama. Apa lagi, gambut di sana merupakan gambut dalam, yang jika terbakar akan membuat api sulit dipadamkan,” kata Direktur Eksekutif Walhi Sumsel, M. Hairul Sobri didampingi Pengkampanye Hutan, Kebun, dan Lahan Gambut, Walhi Sumsel, Habibi, Biro Hukum Advokasi dan Manajemen Bencana , Walhi Sumsel Yogi ketika menggelar diskusi di kantor Walhi Sumsel, Minggu (28/7).
Jika dibiarkan, sambungnya, dikhawatirkan kebakaran akan terjadi dan konflik horizontal antara masyarakat dan perusahaan kembali terjadi.
Saat ini, banyak masyarakat yang menolak IUP yang telah dikeluarkan untuk perubahan lahan gambut ke perkebunan sawit.
Berdasarkan Surat KLHK No. S.815/PPSA/PP/GKM. 0/6/2019 soal Penerapan Sanksi Administrasi PT. BHP. Ada beberapa point yang salah satunya ialah PT. BHP belum memiliki Hak Guna Usaha (HGU) dan juga sudah memiliki 7 sekat kanal pada lahan gambut pada lokasi kcgiatan yang dikeljakan atas dasar kesepakatan kerja sama antara Kepolisian Resort Kab. OKI dengan PT. BHP. LaJu peta izin lokasi PT. BHP dan Fungsi Ekosistem Gambut sesuai Surat Keputusan KLHK RI No. SK. 130Menlhk/Setjen/Pkl. 0/2/2017 tentang Pcnetapan Peta Fungsi Ekosistem Gambut Nasional, lokasi kegiatan perkebunan PT. BHP berada pada Kesatuan Hidrologis Gambut Sungai Sugihan.
Menurutnya, Sungai Lumpur berada difungsi ekosistem gambut budidaya dan lindung dan juga dalam hasil evaluasi Izin Lingkungan Nomor. 03/KEP/I.LK/DPMPTS/2018 bahwa PT. BHP tidak embung air pada lahan perkebunan sebagai cadangan air disaat musim kcmarau serta tidak menghormati adat istiadat yang berlaku dimasyarakat serta membantu pengembangan potensi seni budaya yang berkembang dimasyarakat seperti dalam aktivitas memanfaatkan wilayah kelolanya dalam mencari sumber mata pencarian (ikan, kayu gelam perpat dan berburu).
“Dampak ekonomi akan sangat terasa. Penghasilan per hari masyarakat dari memancing yang biasa mendapatkan Rp200.000 hingga Rp300.000, akan berkurang. Selain itu, biasanya masyarakat mencari kayu mati akan kesulitan, ini sangat berpotensi dalam pemberian izin ke perusahaan,” katanya.
Apa lagi, menurutnya untuk membuka perkebunan sawit, paling tidak perusahaan harus menyediakan kanal untuk mengaliri perkebunan tersebut.
“Ini wilayah gambut dalam, jika menjadi perkebunan sawit maka akan ada kanal. Satu sisi, saat musim hujan dapat mengakibatkan lahan masyarakat banjir, di sisi lain akan terjadi kebakaran hutan ketika memasuki musim kemarau,” katanya.
Kemudian, dengan pengelolaan lahan perkebunan di wilayah tersebut, bisa mengancam habitat harimau yang ada. Apa lagi, dari laporan warga sekitar satu bulan lalu, mereka sudah melihat tiga ekor harimau atau biasa disebut masyarakat sekitar dengan macan kumbang.
“Kami takutkan, harimau ini justru masuk ke permukiman warga Desa Jeramba Rengas, jika lahan di wilayah itu digarap untuk perkebunan. Tidak hanya harimau, di sana juga ada habitat rusa, beruang dan gajah yang akan terganggu,” katanya.
Dari laporan warga sekitar satu bulan lalu, terlihat tiga harimau yang terlihat di sekitar pemukiman warga.
Walhi Sumsel juga menilai pemberian izin pengelolaan lahan gambut maupun perubahan fungsi lahan menjadi perkebunan kepada korporasi memiliki dampak besar terhadap masalah kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Sumsel.
Berdasarkan analisis yang dilakukan Walhi sejak 2 Januari sampai 27 Juli 2019, terdapat 473 titik api dalam izin korporasi.
“Izin korporasi perkebunan menyebabkan munculnya 145 titik atau sekitar 22 persennya. Sedangkan untuk pertambangan 223 titik api atau 47 persen.
Menurutnya, sejak bencana Karhutla paling parah melanda Sumsel pada tahun 2015 lalu, Izin Usaha Perkebunan (IUP) terus keluar dari pemerintah daerah dan mengakibatkan perubahan fungsi lahan gambut. Seperti di wilayah Lebak Rawang Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir.
Padahal pemerintah pusat melalui Badan Restorasi Gambut (BRG) di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengeluarkan kebijakan merestorasi gambut di wilayah Indonesia.
“Banyak pelanggaran yang dilakukan sebelum penyerahan Hak Guna Usaha (HGU). Korporasi masuk, mereka membuat kanal. Kanal ini bisa berdampak terhadap gambut yakni, membuat kekeringan. Tidak sejalan dengan langkah pemerintah ingin merestorasi gambut,” katanya.#osk