Oleh: Miko Kamal
Advokat dan Wakil Rektor 3 Universitas Islam Sumatera Barat.
Usai Rakernas Peradi di Solo, kami lanjut ke Yogyakarta. Sabtu, 9 Desember 2023. Ke Yogya menggunakan kereta rel listrik (KRL). Berangkat dari stasiun Solo Balapan. Ongkosnya sangat murah. Cuma 8.000 rupiah dengan waktu tempuh sekitar 70 menit.
Malioboro tujuan utama kami. Ya, Jalan Malioboro yang mashur itu. Petang sekitar pukul 4 kami sudah sampai di stasiun Yogya. Stasiun Yogya sangat sibuknya. Banyak yang datang dari pada yang pergi.
Dari stasiun, kami langsung ke hotel. Hotel kecil saja. Jaraknya sekitar 200 meter dari Malioboro. Sangat dekat, tapi mahal tidak kepalang. Sewanya jauh lebih mahal dari hotel bintang 4 di Padang. Di atas sejuta semalam. Mungkin karena malam Minggu. Semua orang mendekat ke Malioboro, dan nampaknya hotel tempat kami menginap jadi salah satu pilihan karena jaraknya yang dekat.
Setelah rebah sebentar di kamar, menjelang Maghrib, kami ke bergerak ke Malioboro. Saking ramainya, pengunjung berdesakan. Orang-orang hilir-mudik. Saya ingat Permindo Night Market (PNM) di Padang yang sempat digelar sebelum hantu Covid-19 menyerang kota.
Malioboro berubah banyak, dibanding 3 tahun yang lalu. Dulu, pedagang kaki lima (PKL) menggelar dagangan mereka di selasar depan toko. Mereka berebutan dengan pedagang toko yang mengontrak mahal. Malam setelah berjualan, lapak-lapak mereka tinggalkan. Sekarang tidak lagi. Mereka sudah dipindahkan ke seberang jalan, sebelah kiri dari arah stasiun.
Pemerintah membangunkan Teras Malioboro. Bagian depan untuk pedagang suvenir, seperti lukisan dan ragam batik. Bagian belakang buat pedagang aneka kuliner. Bangunan Teras Malioboro sederhana saja, satu lantai. Bagian depan disekat-sekat sesuai kebutuhan. Bagian belakang dipasang pembatas rendah untuk penikmat kuliner lesehan.
Malam itu, Teras Malioboro ramai. Baik yang berbelanja suvenir maupun yang sekadar menikmati kuliner khas Yogya. Saya sempat bertanya kepada pedagang kuliner: apakah setiap hari mereka ramai dikunjungi? Kata mereka, “dibanding ketika di depan dulu, agak kurang Mas. Tapi, kami bersyukur semakin ke sini semakin ramai”.
Saya ingat Victoria Market dan Paddy’s Market. Keduanya pasar tradisional di Australia yang terletak di dua kota berbeda: Victoria Market di Melbourne, sedangkan Paddy’s Market di Sydney. Kedua pasar ini khusus untuk para PKL atau pedagang yang berjualan secara tradisional. Bangunannya satu lantai, serupa ruang terbuka yang diatap untuk melindungi para pedagang dari terik panas dan siraman hujan.
Pilihan pemerintah Yogya membangunkan PKL Teras Malioboro sudah tepat. Model bangunan untuk PKL dan pedagang toko memang tidak boleh sama. Karakteristik pembeli mereka jauh berbeda yang sekaligus membentuk karakter PKL itu sendiri.