in

Ke Yogyakarta, Bertemu Perupa-perupa Ternama Indonesia -1

Nasirun, si Pengumpul Karya Pejuang Kebudayaan

Apalah artinya menyebut diri sebagai manusia berbudaya kalau tak memiliki kepedulian dan berguna untuk manusia lain. Melalui rasa peduli itu, perupa Nasirun mengumpulkan ribuan karya seni bernilai sejarah tinggi. Wartawan Jawa Pos (Group Padang Ekspres) JANESTI PRIYANDINI sempat ditunjukkan harta karunnya itu. 

’’Eh, Mbak. Apa kabar? Sebentar ya, habis nyapu. Saya kalau pagi senang nyapu,’’ ujar Nasirun kepada saya, Rabu (22/3). Dia hanya mengenakan sarung dan bertelanjang dada.

Rambut gondrongnya diikat seadanya. Pelukis kelahiran Adipala, Cilacap itu baru selesai menyapu ruang stockist yang terletak di belakang kediamannya di Bayeman, Jalan Wates, Yogyakarta.  

Stafnya, Pipin, perlu beberapa menit untuk mencari keberadaan Nasirun. Sebab kompleks rumah Nasirun memang luas dan terdiri atas beberapa bangunan.

Saya masuk melalui studio yang terletak berdampingan dengan rumah utama. Dua bangunan itu terkoneksi. Pipin membawa saya duduk di kursi di belakang rumah, dekat taman yang rindang dan asri, kolam ikan yang dihuni puluhan ikan koi dan kolam renang. 

Setelah dicari ke sana-kemari, ternyata sang tuan rumah sedang bersih-bersih di ruang stockist di belakang taman asri tersebut. Kami menuju ke ruangan itu melewati jalan setapak yang penuh dengan batu taman basah, bekas tersiram hujan. 

Kawasan bangunan modern bergaya tropis itu memang menarik hati dan langsung memberikan kesan ayem. Di tambah lagi, yang punya adalah seorang seniman. 

Jadi arsitekturnya sudah kawin dengan ornamen-ornamen seni hasil tatanan si pemilik rumah. Sepanjang mata memandang, selalu ada karya seni di sana. Entah itu patung, lukisan, wayang, atau pahatan. 

Di ruang stockist itu, lukisan ada di mana-mana. Baik yang sudah terpajang di dinding maupun yang masih tertumpuk di beberapa sudut atau tertata di rak. Ruangan itu memang khusus untuk menyimpan lukisan yang sebagian besar belum terdata. 

“Ada yang masih gulungan, ada yang tinggal difoto. Yang masih ada di tukang frame dan belum kembali juga banyak,” terang Pipin. 

Nasirun mulai mendata koleksinya itu dua tahun terakhir. Hasilnya,  lebih dari 1.000 karya seni. Dan ketika saya ke sana, tim Nasirun berhasil mendata 250 karya lagi. “Yang di sini sudah di-frame semua, tapi belum difoto,’’ jelas Supono PR, pelukis senior yang kini ikut menangani pendataan koleksi Nasirun.

Sebuah lukisan karya Umi Dahlan di atas kanvas yang diletakkan di lantai menunggu giliran untuk dibingkai. Lukisan karya Umi Dahlan termasuk yang paling banyak dikoleksi Nasirun. 

Saya juga ’’menemukan’’ lukisan karya RM Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara di antara koleksi pelukis 52 tahun itu. Lukisan Ki Hajar berobjek sepeda motor.

Ada pula karya Emiria Sunassa berangka tahun 1933. Dia adalah pelopor perupa perempuan Indonesia. Beberapa karya Emiria Sunassa yang dikoleksi Nasirun akan dipinjam untuk dipamerkan di Europalia Art Festival Indonesia di Belgia. 

Koleksi-koleksi lainnya yang sudah selesai dirapikan di pajang di private collection room yang terletak di seberang rumahnya. Nasirun membangun ruang koleksi pribadi itu bekerja sama dengan arsitektur Eko Prawoto. 

“Ya, inilah cara saya untuk menghormati, mengucapkan terima kasih, menghargai para senior saya. Master,’’ ucap Nasirun tentang koleksinya itu. 

Terutama untuk menghargai guru dan dosennya. Merekalah yang merenda, berjuang untuk kebudayaan. “Dan saya agak sedikit tidak rela mereka ’dihilangkan’ dari sejarah (seni). Nggak ada yang menceritakan soal perjuangan mereka pada generasi penerus,” lanjutnya. 

Nasirun menempuh pendidikan di Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) Yogyakarta pada 1983. Kemudian dia melanjutkan kuliah di Jurusan Seni Murni Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada 1987 dan lulus 1994. Karyanya kini menyebar di berbagai negara dan menjadi koleksi banyak museum, galeri, dan pribadi. Harga lukisannya kini jangan ditanya lagi. 

Selain produktif melukis, Nasirun juga seorang kolektor yang tekun dan serius. Jika melihat banyaknya koleksinya, tidak terbayang bagaimana dia mengumpulkan satu per satu artefak itu.

“Dari tahun 1995 saya jadi tukang traveling, silaturahmi ke ahli waris (para seniman yang telah meninggal dan karyanya dia koleksi, red),’’ ucapnya. 

Menurut perupa yang dialek Banyumasan-nya masih kental itu, ada romantisme ketika menemui para ahli waris yang pernah bersinggungan dengan karya para seniman yang kini jadi koleksi Nasirun. “Entah itu istrinya atau suaminya. Itu cara saya mencari artefak doa rupa yang punya nilai histori,’’ tutur bapak tiga anak ini. 

Nasirun mengakui upayanya mengumpulkan satu per satu karya seni bersejarah itu sebagai penghormatan kepada para senimannya. ’’Mereka adalah pejuang kebudayaan,’’ ungkap perupa ’’besar’’ yang tak mau menggunakan handphone untuk alat komunikasi dan ke mana-mana naik sepeda motor ’’butut’’-nya itu. 

Meski begitu, Nasirun tidak melakukan jual beli karya koleksinya itu. Hatinya tak tega. Sebab, setiap kali melihat koleksinya, dia selalu teringat cerita bagaimana proses untuk mendapatkan karya tersebut. “Meski aku kadang-kadang rodok mumet,’’ katanya lalu tertawa.

Seiring bergulirnya waktu, dia pun berpikir untuk memiliki ruang khusus yang betul-betul dia dedikasikan untuk para senior. “Saya tidak memajang satu pun karya saya di sana,’’ tegasnya. 

Menurut dia, sebuah karya ketika di-display dan bisa dinikmati orang lain, memiliki makna yang lebih. Publik bisa datang dan melihatnya. ’’Makanya kadang bisa ramai banget yang datang ke sini. Sehari bisa 300-an orang,’’ lanjutnya.  

Nasirun tidak memungut biaya untuk masuk museumnya. Mereka yang datang diperlakukan sebagai tamu yang berkunjung. Seluruh biaya operasional serta perawatan museum ditanggung sendiri oleh Nasirun. 

’’Kalau lukisan saya nggak laku, nggak bisa nge-frame saya,’’ katanya lalu terbahak. Di ruang koleksi, sebagian besar seniman yang karyanya terpajang sudah meninggal dunia. Ketika melihat lukisan-lukisan di ruangan itu, ingatan Nasirun  otomatis tentang almarhum.

’’Juga ingat proses pencarian ahli warisnya. Artinya karya itu kemudian jadi bagian hidup keluarga yang ditinggalkan,’’ katanya. Mengingat proses awalnya, tutur Nasirun, beratnya luar biasa. Itulah sebabnya  kenapa sampai sekarang dia tak mau bersentuhan dengan peranti lunak.

Dia tak punya gadget atau segala hal yang berhubungan dengan dunia maya. Waktunya benar-benar dia bagi hanya untuk keluarga, profesi, dan orang lain. Karena ada sesuatu yang dia perjuangkan lewat koleksi itu. 

’’Ada lukisan-lukisan para legenda, yang sampai sekarang rumah saja belum punya. Makanya ini karyanya saya rumahkan. Hahahaha,’’ katanya kembali tergelak. 

Hampir semua ahli waris yang dia temui membuatnya belajar banyak hal. ’’Kalau bicara kemanusiaan tapi nggak ada interaksi,  kan hanya jadi teori,’’ katanya. 

Banyak cerita ketika dia bertemu dengan ahli waris yang lama-lama menumbuhkan kepercayaan kepadanya untuk merawat secuil sejarah. Bahkan ada lukisan mendiang gurunya, Wardoyo, pelukis dengan media pastel, yang diberikan padanya. 

’’Ini dititipkan begitu saja kepada saya, tanpa orangnya meninggalkan nama dan alamat. Sampai sekarang saya nggak tahu siapa yang ngasih,’’ urainya. 

Memang banyak hal tentang Nasirun yang tak bisa dilogikakan. ’’Saya bukan pengusaha. Kalau lukisan saya laku pun harus saya bagi untuk  keluarga, profesi, dan koleksi,’’ akunya. 

’’Saya hanya bersandar pada profesi saya. Dan mereka bersandar kepada saya,’’ lanjutnya. ’’Tapi bagi saya, itu yang membuat saya bugar dan yakin pada profesi. Karena ada sesuatu yang saya perjuangkan,’’ tambahnya. 

Nasirun rela tidak jadi seniman. ’’Karya saya nggak usah dihitunglah, kelas RT (rukun tetangga) juga nggak apa-apa. Hahaha,’’ ucapnya tergelak. ’’Tapi saya nggak rela kalau karya-karya pendahulu saya dilupakan. Nggak rela,’’ katanya kembali menegaskan. 

Sepanjang mengajak saya berkeliling ruang koleksi, memang ada begitu banyak cerita di balik karya-karya koleksi Nasirun. ’’Kalau saya tulis bisa sampai Klaten panjangnya,’’ katanya. 

Salah satunya cerita lukisan-lukisan maestro Fadjar Sidik yang kini jadi koleksinya. Fadjar Sidik adalah guru yang sangat dihormati oleh Nasirun. ’’Dua minggu sebelum beliau meninggal, dia minta saya datang. Saya disuruh mijit padahal bukan tukang pijit,’’ ceritanya.

Ketika memijat itulah, Fadjar bercerita kalau dirinya harus cuci darah. Dan dia mempercayakan lukisan-lukisannya itu di tangan Nasirun. Nasirun pun menyanggupi.

’’Nah goblok-nya saya, saya nggak mudeng kalau ternyata cuci darah itu biayanya besar. Kirain cuma kayak suntik. Padahal saya kadung jawab iya, hahahaha,’’ ungkapnya. 

Kesanggupannya itu membuat Nasirun terpacu untuk memenuhi. Apalagi Fadjar Sidik adalah guru yang sangat dia hormati. Bagi Nasirun, Fadjar Sidik adalah tokoh besar. 

Ada sesuatu yang dia lihat ketika proses pertemuan dengan sang guru itu terjadi. Nasirun meminta izin untuk ke kamar kecil. Tapi, dia lalu diam-diam membuka tempat makanan di ruang belakang rumah Fadjar Sidik. 

’’Ternyata memang hanya ada sepotong telur. Berarti kan memang dia nggak punya uang,’’ kenangnya. ’’Saya lupa bagaimana caranya ketika itu, tapi kemudian saya bisa mendapatkan uang untuk beliau,’’ tambahnya. 

Seniman Jeihan Sukmantoro, cerita Nasirun, pernah datang ke rumahnya dan melihat koleksinya itu. Dia mengomentari apa yang telah dilakukan oleh Nasirun.

’’Jeihan waktu itu bilang, saya mengaku kalah karena saya hanya mencapai pada artistik dan proses berkesenian. Tapi kalau ini adalah artistik moralitas,’’ kata Nasirun menirukan. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Novel Baswedan Sebut Ganjar Tahu Bagi-Bagi Uang Proyek e-KTP

Agar Berkembang Lebih Cepat, Presiden Jokowi: Gubernur Kepri, Walikota dan BP Batam Harus Terintegrasi