Jaga Kualitas Hidup MGers
Nama penyakit ini cukup indah, Myasthenia Gravis (MG). Tapi ketika menyelinap ke tubuh, luar biasa menyakitkan dan penuh perjuangan bagi pasien untuk melawan penyakit langka yang susah disembuhkan ini. Penderitanya seumur hidup harus berjibaku dengan MG.
Masyarakat belum banyak mengetahui dan mengenali apa dan bagaimana Myasthenia Gravis (MG) yang mempengaruhi tubuh seseorang. MG adalah penyakit autoimun, yang artinya sistem imun dalam tubuh yang seharusnya melindungi diri malah berbalik menjadi menyerang organ-organ dalam tubuh terutama sistem sambungan saraf (synaps).
Kondisi paling ringan biasanya ditandai melemahnya kelopak mata, di mana kelopak mata turun sehingga terlihat seperti orang mengantuk, atau dapat juga terjadi penglihatan ganda (diplopia). Kondisi lain adalah melemahnya tangan dan kaki, kesulitan menelan, bahkan kesulitan bernapas.
Kondisi sulit bernapas ini adalah kondisi terparah bagi MGers (sebutan bagi penyandang Myasthenia Gravis). Bahkan dalam banyak kasus seringkali terjadi gagal napas karena otot pernapasan tak mampu untuk berkontraksi. Keadaan seperti ini disebut dengan krisis myasthenic.
”Saya sendiri dinyatakan positif mengidap penyakit Myasthenia Gravis ini tahun 2007. Awalnya tahun 2004, saya tidak mengetahui akan penyakit tersebut. Gejalanya suara sengau secara tiba-tiba dan melemahnya kekuatan tangan,” kata Koordinator Wilayah Pejuang MG Sumbar, Afrilely, saat Pengabdian Masyarakat sekaligus Sosialisasi MG di Aula Fakultas Kedokteran Unand, Sabtu (28/10).
”Penyakit ini memang susah sembuhnya, si penderita tergantung pada obat-obatan seperti mestinon. Tapi penyakit ini bisa mengalami remisi atau waktu tidak kambuh.
Menghindari stres dan kelelahan sangat disarankan agar penyakit ini tidak semakin memberat,” ungkap ibu dua anak ini.
Melihat kondisi demikian dan setelah mengalami penyakit ini, dirinya bergabung bersama pejuang MG Sumbar berkoordinasi dengan pihak Bagian Neurologi RSUP M Djamil Padang yang juga merespons dengan baik.
Ia pun mendatangi rumah sakit untuk mencari penderita MG dan kemudian diajak bergabung dalam komunitas ini. Termasuk menyosialisasikan lewat sosial media. “Alhamdulillah, kini penderita MG ini sudah bisa terhimpun dalam Pejuang MG Sumbar dengan dipayungi oleh PMGI dan YMGI,” ungkapnya.
Tak sekadar sharing informasi penyakit MG ini, juga turut membantu MGers ketika butuh pendampingan saat dirawat inap atau pun rawat jalan di rumah sakit. Di samping itu, pihaknya juga menjalankan penggalangan donasi untuk penderita MG.
Untuk membantu mengenalkan dan menyosialisasikan penyakit MG ini, pihak Bagian Neurologi RSUP M Djamil Padang mengadakan Pengabdian Masyarakat bersama Fakultas Kedokteran Unand Padang dengan tema acara “Mengenal Lebih Dekat Myasthenia Gravis”. Selain penyampaian materi, juga dilakukan pemeriksaan antibodi (cek darah AChR) dan uji fungsi paru gratis.
“Cek AChR sendiri belum ditanggung BPJS Kesehatan. Jika dilakukan mandiri akan mengeluarkan biaya Rp 2,5 juta-Rp 3 juta. Guna cek Achr ini penting untuk menegakkan MG,” ujar dr Lydia Susanti SpS MBiomed.
Hadir pada kesempatan itu, DR dr Rika Susanti SpF yang mewakili Dekan Fakultas Kedokteran sekaligus pembuka acara, dr Syarif Indra SpS selaku Kepala Bagian Neurologi RSUP DrM Djamil Padang, dr Meiti Frida SpS (K) dan dr Lydia Susanti SpS, MBiomed sebagai nara sumber materi, Eka Diah Purwanti dari pengurus PMGI, dr Yudith Rachmadiah dari pengurus YMGI.
Sementara itu, dokter spesialis syaraf dr Meiti Frida SpS saat pengabdian masyarakat dengan penderita MG menjelaskan MG merupakan penyakit autoimun atau imunitas yang menyerang dirinya sendiri. Dalam kasus MG, tubuh membentuk zat antibodi terhadap kelenjar timus. Kelenjar timus ini seharusnya hanya ditemukan ketika bayi masih berada di kandungan.
Dalam perkembangan kedewasaan, kelenjar timus yang seharusnya menghilang setelah lahir ternyata masih aktif pada beberapa orang. Tubuh lalu membentuk antibodi terhadap sel-sel timus. Bentuk sel timus ini serupa dengan tempat produksi ine di daerah paut saraf otot.
Acetylcholine merupakan neurotransmitter untuk transportasi energi dari saraf ke otot. Ketika tubuh menghentikan produksi acetylcholine sebagai pembawa energi, maka saraf tak mampu lagi memerintah otot untuk bergerak. Dengan demikian, pada penderita MG, komunikasi antara saraf dan otot terganggu.
Penyakit MG, lanjut dr Meiti Frida SpS, akan diperberat oleh stres fisik maupun psikis. Kelelahan fisik akibat kehamilan pada perempuan dengan sel timus aktif, misalnya, bisa memicu penyakit MG. Konsumsi antibiotik jenis tertentu seperti aminoglikosida hingga magnesium pada obat penenang bisa memicu MG.
Penyakit ini pada umumnya lebih banyak menyerang kaum perempuan karena perempuan diserang pada usia lebih muda, yaitu 30-an tahun, sedangkan kaum pria baru terkena MG pada usia di atas 50 tahun.
Deteksi dini MG umumnya terkendala karena tidak ada keseragaman gejala awal. Jika yang terkena otot mata, maka kelopak mata penderita MG akan jatuh sebelah dan pandangan matanya menjadi dobel. Jika terkena otot napas, penderita akan kesulitan bernapas.
Diagnosa MG biasanya diawali dengan pemeriksaan klinis secara anamesis dan fisik. Pasien diajak berdialog dan diminta mempraktikkan manuver gerakan berulang-ulang. Pemeriksaan penunjang pun dilakukan dengan Electromyography (EMG). Jika ditemukan tumor timus atau kadar antibodi yang tinggi pada pemeriksaan CT Scan torak, pasien harus dioperasi dengan operasi tymectomi. “Pasien bisa sembuh, akan tetapi tetap harus diobati untuk menekan produksi antibodi dan menguatkan otot,” tambah dr Meiti Frida SpS.
Salah satu penguat otot adalah obat piridokstimin yang dikenal dengan nama pabriknya, mestinon. Obat ini berfungsi mempertahankan kadar acetylcholine agar tetap tinggi dalam darah. Pemerintah sudah menyediakan mestinon gratis melalui BPJS Kesehatan. (*)
LOGIN untuk mengomentari.