in

Kegamangan PPK dalam Mengurus Proyek

Salah Langkah, Risikonya Penjara

Rendahnya penyerapan anggaran di awal tahun, dan digenjot diakhir tahun hampir terjadi di semua pemerintahan di daerah. Akibat serapan anggaran rendah, dana tidak cepat tersalurkan kepada masyarakat dan tidak tersalur ke sistem perekonomian daerah.

Salah satu penyebabnya, kegamangan pegawai untuk ditunjuk sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK). Menjalani tugas sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) yang bersentuhan langsung dengan kegiatan proyek-proyek pembangunan, tidaklah mudah.

Risikonya penjara. Sebab, pekerjaan ini menjadi tanggung jawab penuh bagi seorang PPK di seluruh instansi kedinasan. Bicara soal kegamangan, memang menjadi beban mental bagi PPK dalam menjalani tugasnya menyusun program.

Mulai dari kegiatan proyek pembangunan hingga provisional hand over (PHO) atau serah terima pertama antara kontraktor dengan PPK di berbagai instansi kedinasan yang ada. 

Beragam jenis kegiatan paket pembangunan maka beragam pula warna persoalan yang harus disikapi dengan bijaksana oleh PPK dengan penuh kesabaran. Terutama dalam masa-masa kegiatan proyek hingga PHO. 

Suatu hal yang sulit dan rumit bagi PPK menjalani tugasnya di berbagai instansi kedinasan ketika interbensi bertubi-tubi datang mengotak-atik. Ibarat memakan buah simalakama. Dikerjakan salah dan tak dikerjakan bermasalah. 

Apalagi intervensi di luar batas kewajaran. Tak semua kontraktor bisa menerima keputusan dengan beragam karakter yang akan mereka hadang. Lebih ancaman dari oknum kontraktor.

Bila seluruh intervensi harus dikerjakan, tentu PPK nantinya akan bermasalah dengan hukum. Hal tersebut terjadi saat pelaksanaan kegiatan, cek fisik hingga PHO.

“Ini yang kami takutkan bila kebijakan yang akan diambil sudah melenceng dari aturan,” sebut salah seorang PPK di sebuah rumah makan di Solok Selatan, kepada Padang Ekspres, Jumat (2/12).

PPK sering dihadapkan dengan kondisi stres dan linglung dalam mengambil kebijakan. Ini dikarenakan desakan berbagai pihak, apalagi dimanfaatkan oleh oknum kontraktor. Bahkan ada juga ancaman non-job, sementara mereka sebenarnya tidak berwewenang dalam hal rotasi dan mutasi.

Itu kerap terjadi ketika pembagian paket penunjukan langsung yang telah diperuntukan bagi yang lainnya. “Jadi PPK harus siap mental dan lebih banyak bersabar soal tekanan tersebut,” ungkap PPK lainnya ketika ditemui di kantornya.

Teror yang diterima PPK beragam bentuk dan jenisnya. Ada yang secara terang-terangan, ada lewat pesan singkat berupa SMS, via telepon seluler. Ada juga secara langsung datang ke kantor, ke rumah dan di lapangan. Nah, justru itu PPK harus punya kesabaran menyikapi intervensi tersebut.

“Sering dibentak-bentak, kadang berupa ancaman akan dikadukan ke pimpinan. Kalau proyek ini tak jatuh ke tangan mereka atau tidak menerima pekerjaan itu,” sebut PPK yang lainnya. 

Yang jelas PPK harus mencari jalan aman. Harus mengiya-iyakan saja dan menerima semua apa yang diinginkan oknum pihak kontraktor yang ada bekingan. Sebenarnya, kalau dijelaskan ke pimpinan tidak jadi persoalan dan disikapi dengan bijaksana.

“Bentakan dan ancaman non-job biasa dari berbagai pihak kontraktor. Yang jelas asal jangan terancam hukum saja,” bebernya.

Hal serupa juga disampaikan SM, salah satu PPK di salah satu satuan kerja perangkat daerah (SKPD) Kabupaten Sijunjung. Ia bertindak hati-hati dalam membuat kontrak kerja dengan pelaksana atau perusahaan.

Pekerjaannya sebagai PPK membuatnya dekat dengan berbagai persoalan, termasuk masalah hukum. Sejak dirinya ditunjuk sebagai PPK, ketelitian dan profesionalitas dalam bertugas menjadi pegangan kuat baginya untuk terhindari dari mata hukum. 

Meski tugas dan tanggung jawab yang besar berada di pundaknya, namun SM mengaku belum pernah berurusan dengan aparat hukum. Sebab pihaknya selalu melakukan koordinasi dengan penegak hukum sebelum mengambil langkah.

“Jika terdapat potensi pelanggaran hukum dalam kontrak kerja, atau dalam pelaksanaan kegiatan, termasuk kesalahan perencanaan, kita selalu berkoordinasi dengan aparat hukum, sehingga kesalahan tersebut bisa segera diperbaiki,” ujar SM yang enggan namanya disebutkan.

Di dalam penandatanganan kontrak kerja, SM sebagai PPK selalu meneliti segala sesuatunya sebelum kontrak diteken. Bahkan dirinya tidak segan-segan memberi penekanan kepada perencana agar jangan terjadi keselahan pada perencanaan.

“Meski kesalahan terjadi di perencanaan, yang bertanggung jawab tetap PPK, makanya kita hati-hati,” terangnya.

Terkait tugas dan tanggung jawabnya yang besar tersebut, SM dengan tegas mengatakan dirinya belum pernah diuber-uber oleh aparat hukum. Hal tersebut bisa terhindari karena SKPD selalu melakukan koordinasi dengan aparat hukum terkait sebelum terjadi kesalahan.

“Karena regulasi sering berubah, kita perlu berkonsultasi masalah aturan dengan pihak terkait. Hal ini manjur untuk menghindari masalah hukum,” terangnya.

Artinya, sambung SM, jika memang terjadi sebuah kesalahan dalam kegiatan tanpa disadari, dia berupaya untuk bisa memperbaiki kesalahan tersebut tanpa harus melanggar aturan. “Salah satunya dengan konsultasi hukum ataupun aturan dengan pihak kejaksaan ataupun kepolisian,” sebutnya.

Sementara Kepala Dinas Pendidikan Sijunjung, Epigon mengatakan tanggung jawab PPK berat jika  dilihat dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 dan perubahannya.

“Tidak hanya sekadar tanda tangan, tetapi bertanggung jawab atas segala kesalahan, termasuk kesalahan dalam perencanaan. Oleh karena itu PPK harus dijabat oleh orang yang memiliki kompetensi dibidangnya, termasuk orang memiliki ketelitian yang tinggi,” tutur Epigon.

Salah seorang pihak kontraktor yang mengaku sudah puluhan tahun bermain proyek. Dia pernah putus kontrak proyek di Sumbar dan Jambi. Dia mengatakan yang namanya perusahaan proyek, tentu harus cari untung dalam kegiatan pembangunan.

Ibarat berdagang, kalau modal besar. Tentu harga sedikit lebih mahal. Kalau proyek, bila banyak dana dikeluarkan untuk mendapatkan paket tender, tentunya kontraktor mengerjakan sesuai dana tersisa dan sekian persen untung yang harus diambil.

Contoh saja paket kecil seperti penunjukan langsung (PL). Proyek belum dikerjakan pihak kontraktor harus keluarkan dana sebesar 10 hingga 15 persen dari total anggaran PL. Belum lagi pajak dan kongkalingkong lainnya. Semua dapat, pengawas, tim PHO dan lainnya.

“Besarnya kos mendapatkan proyek, dari awal hingga PHO. Sehingga kualitas pekerjaan tidak bisa terjamin dengan baik, sebab kami kontraktor juga butuh untung. Karena bermain proyek sama dengan usaha bisnis, ujung-ujung cari untung,” ungkap pimpinan perusahaan proyek itu.

Apalagi permintaan pembangunan, volume besar, dana tersisa sedikit. Tentu pelaksanaan proyek harus dimainkan, sehingga kontraktor tidak rugi. 

Begitu pun paket tender miliaran rupiah, kalau tidak ada pihak perusahaan yang tidak memakai uang pelicin itu bohong. Ini buka rahasia umum lagi. Cost lebih besar dikeluarkan, baik secara manual pada tahun sebelumnya. Hingga lewat Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) sekali pun. 

Sebenarnya banyak cara bagi pihak kontraktor dalam memainkan proyek. Bisa saja lewat kelas A, adukan semen, kubikasi atau volume, ketebalan, kepadatan, pengaspalan dan lainnya. Termasuk besi. ”Kalau tidak dimainkan sedikit, dari mana para kontraktor dapatkan untung,” pungkasnya.

Pas pengecekan fisik di lapangan, bila proyek kualitasnya kurang. Dulu, dia harus memainkan tim PHO yang turun ke lapangan. Ada juga tim ini menolak, bila dekat dengan atasan mereka atau legislatif. Maka, bakal berjalan mulus dan oknum tertentu.

“Kadang PHO bisa saja sambil ngopi, ngobrol. Gak perlu di kantor,” papar pria yang namanya tidak mau disebutkan itu.  

Kalau pihak tertentu bilang, kalau lelang proyek miliaran rupiah bisa sesuai aturan 100 persen. Itu tak mungkin. Bila sudah sesuai aturan, mungkin tidak ada kontraktor yang ngamuk ketika pihak kontraktor lainnya dimenangkan. Gara-gara keberpihakan.

”Intinya mendapatkan proyek, semua pihak berkepentingan harus dirangkul,” tukasnya.

Sementara, Kapolres Solok Selatan, AKBP Ahmad Basahil, saat dikonfirmasi Padang Ekspres mengaku, isu yang berkembang ada uang pelicin dalam pemenangan tender bisa saja terjadi. Aksi itu, sulit dibuktikan.  

Persoalan hukum, tidak hanya bisa dengan katanya atau kata mereka. Perlu ada laporan atau informasi yang harus ditindak lanjuti, dan bukti-bukti kalau ada indikasi suap tersebut. 

“Untuk kasus ini perlu pendalaman serius, tidak cukup katanya. Di setiap daerah isu ini pasti ada berbunyi, tapi hingga kini belum bisa dibuktikan. Kegiatan ini bersifat terselubung dan sulit melacaknya,” paparnya.

Sebab, hukum tidak bisa main-main. PPK harus berhati-hati sebagai pemegang tanggung jawab penuh, diberbagai intansi kedinasan. “Jangan sampai memaksanakan kehendak yang lain, sehingga kita terjerumus ke ranah hukum. Perlu hati-hati,” imbaunya.

Soal kegiatan fisik jalan, jembatan, bangunan kantor, sekolah, irigasi pertanian, pengadaan tertentu dan lainnya, PPK harus bekerja sesuai aturan. Begitupun pihak kontraktor, bila kegiatan fisik haruslah sesuai volume dan sesuai anggaran. 

Selesai atau tidak harus di PHO, tapi harus sesuai mekanismenya jangan sampai jadi markup. Terkait nilai pekerjaan harus dibayarkan sesuai volume, meski banyak tekanan dan intervensi dari pihak manapun.

Apalagi persoalan proses lelang atau tender di Unit Layanan Pengadaan (ULP). Bila sistem itu berjalan dengan baik, tidak ada kepentingan pribadi, kelompok atau tekanan dari pimpinanan dan oknum anggota DPRD. “Maka akan berjalan dengan baik pula, dan tidak tertutup pula ada kemungkinan kecurangan di dalamnya,” paparnya. 

Justru itu, perlu kehati-hatian. Jangan sampai ada lagi PPK yang harus berurusan dengan hukum, akibat dituduh korupsi. Namun sebenarnya tidak melakukannya, tapi dimata hukum dikuatkan bersalah. “PPK jangan takut intervensi, kalau takut hukum,” katanya. 

Sementara itu, Kepala Kejaksaan Negeri Sijunjung, M Rizal mengatakan, pihaknya senantiasa mengingatkan penyidik agar profesional dalam melakukan penyelidikan atau menangani sebuah kasus.

“Penyidik selalu kita ingatkan agar profesional dalam bertugas, baik dikala melakukan penyelidikan, maupun dalam menangani sebuah kasus hukum, karena kita tidak akan membiarkan penyidik atau jaksa bermain-main dengan tersangka, atau terduga,” sebut M Rizal.

Terpisah, Kasi Penerangan Hukum Kejati Sumbar, Yunelda menerangkan sebenarnya apabila pekerjaan dilakukan sesuai standar operasional prosedur (SOP) dan sesuai kontrak yang ditetapkan seharusnya pejabat menangani proyek pembangunan tidak perlu takut menjalankan tugasnya.

“Mereka juga harus jeli melakukan manajemen agar tidak ada oknum-oknum yang bermain dalam proyek pembangunan, khususnya di Sumbar,” ujarnya.

Untuk kesalahan administrasi sebenarnya sudah ada aturan yang mengatur menyelesaikan permasalahan administrasi dan kelalaian menyebabkan kerugian negara.

Semua diatur dalam UU No 30/2014 tentang Administrasi Negara dan diperkuat dengan Instruksi Presiden Republik Indonesia No 1 Tahun 2016 tentang Percepatan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.

“Sebenarnya tidak ada alasan lagi untuk menolak proyek pembangunan. Selama mereka tidak berniat melakukan korupsi. Apabila terjadi kesalahan administrasi ada batasan waktu dalam UU dan diperkuat dengan Inpres untuk menyelesaikan masalah administrasi,” tambahnya.

Yunelda juga menyatakan Inpres No 1/2016 memberikan kelonggaran dalam melaksanakan proyek pembangunan pemerintah.

Di antaranya, sebelum kegiatan pembangunan selesai maka belum diperbolehkan tim dari penegak hukum untuk melakukan pemeriksaan, selanjutnya apabila dalam proyek BPK atau Inspektorat menemukan kejanggalan maka pelaku proyek diberikan tenggat waktu 6 bulan untuk menyelesaikan proses administrasi, maka baru diperbolehkan pihak dari penegak huum untuk bertindak.

“Semua aturan sekarang sudah longgar, jadi tidak ada alasan pejabat untuk dikriminalisasi dalam melakukan pembangunan di daerah,” ujarnya.

Senada dengan pihak kejaksaan, Koordinator Lembaga Anti-Korupsi Integritas Arief Paderi. Ia menilai seharusnya untuk saat ini tidak ada ketakutan dari pemerintah sebagai pelaksana anggaran apabila sudah memang menjalankan proyek tersebut sesuai garis petunjuk (guide line) yang berisikan aturan Per-UU-an, SOP, dan lain sebagainya.

“Apabila memang dalam melakukan implementasi anggaran pemerintah tidak pernah melakukan mens rea (niat jahat), seharusnya tidak perlu merasa akan dikriminalisasi,” ujarnya. 

Namun apabila memang dalam kegiatan pembangunan ada niat jahat untuk memperkaya diri sendiri dan orang lain, maka penegak hukum juga tidak harus menunggu waktu selama 60 hari untuk menyelesaikan kesalahan administrasi itu.

“Sebab dari proses rangkaian kegiatan pembangunan itu dapat dilihat jelas apakah ada unsur niat jahat atau tidak dalam pelaksanaan suatu proyek,” tambahnya. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Dubes Selandia Baru Beri Gelar Kehormatan

QS: An-Nisa ayat 8