Kalau dulu Presiden Joko Widodo dijuluki ‘klemar-klemer’ maka kini Jokowi punya julukan baru: diktator.
Penyebabnya paling tidak ada dua. Pertama, keluarnya Perppu Ormas (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan-web) yang jadi dasar pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia. Kedua, Undang-undang Penyelenggaraan Pemilu yang menetapkan ambang batas presidensial 20 persen. Banyak yang lantas menuding ini sebagai upaya mengamankan kursinya di Pemilu Presiden 2019.
Betulkah anggapan itu? Yang jelas, begitu Perppu Ormas muncul, LSM Kontras sudah bersuara: aroma Orde Baru makin terasa. Langkah pemerintah mengontrol aktivitas ormas dengan cara pintas, tanpa proses peradilan, dikecam. Tapi Presiden bergeming. Sementara Menteri Dalam Negeri Thjahjo Kumolo memastikan bakal ada ormas lain yang bakal dibubarkan secara bertahap, lantaran dianggap bertentangan dengan Pancasila.
Dengan gayanya yang khas, Jokowi membantah tudingan tersebut. Seraya guyon, ia menyebut wajahnya tak pas kalau disebut diktator. Ada yang menilai ini cara cerdas Jokowi berpolitik. Tapi ada juga yang menilai tak sepatutnya Jokowi menanggapi dengan bercanda.
Bagaimana pun, ini adalah bentuk kegelisahan warga atas apa yang dilakukan Pemerintah. Kita sudah lihat dampak persekusi di tengah masyarakat – yang dikhawatirkan menguat dengan adanya Perppu Ormas. Pemerintah mesti membuktikan kalau ia berlaku adil untuk semua, sekaligus melindungi hak-hak warga negara seperti berserikat dan berekspresi, sesuai kata Konstitusi. Dan kita semua mesti pasang mata mengawasi.