Rencana pemerintah mengurangi bandara internasional dari 32 menjadi 14 sampai 15 saja sebagaimana disampaikan Menteri BUMN Erick Thohir awal Februari lalu, diyakini tidak akan terjadi pada Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di Padangpariaman, Sumbar.
Optimisme tersebut disampaikan Ketua Tim Visit Beautiful West Sumatra 2023 Raseno Arya kepada Padang Ekspres, Sabtu (18/2/2023).
“Tidak ada alasan yang logis untuk menurunkan kelas atau status BIM dari internasional jadi hanya penerbangan domestik. Impossible,” tegas Raseno Arya.
Menurut Raseno, BIM yang dibangun di Kabupaten Padangpariaman Sumbar sejak tahun 2002 dan beroperasi mulai Juli 2005, dari seluruh aspek tidak memenuhi syarat untuk diturunkan kelasnya jadi bandara domestik saja.
Dari sisi kinerja, sebagaimana disampaikan Executive General Manager BIM Siswanto, masih sangat bagus. EBITDA (Earning Before Interest Taxes, Depreciation, and Amortization) positif.
“Sekarang dalam masa pemulihan, kinerjanya pun sudah membaik. Itu AP II yang bilang, yang punya data. Penerbangan dari Kualalumpur sejak dibuka Oktober lalu, tinggi traffic-nya. Begitu pula penerbangan umrah, sekarang terbang langsung ke Jeddah. Jamaahnya bukan hanya dari Sumbar, tapi provinsi tetangga juga berangkat lewat BIM,” tambahnya.
Lalu dari sisi geografis, kata Raseno, posisi BIM justru lebih dekat aksesnya dari luar negeri, terutama dari Malaysia dan Singapura serta timur tengah yang lebih banyak kunjungan wisatawannya ke Indonesia.
Artinya, BIM jauh lebih prospektif dibandingkan bandara-bandara di Pulau Jawa. Apalagi luas dan kapasitas BIM bisa melayani masuknya pesawat berbadan terbesar sekalipun.
“Jadi seharusnya BIM ini diprioritaskan jadi hub internasional, bukan malah diturunkan statusnya. BIM bisa jadi bandara pengumpul akses pengunjung luar negeri melanjutkan perjalanan bisnis dan wisata ke provinsi-provinsi lainnya di Indonesia, baik lewat udara maupun darat. Seperti ke Riau, Jambi, Bengkulu dan Lampung,” jelas Raseno.
Menurut Raseno, ada sejumlah bandara berstatus internasional di Pulau Jawa yang perlu dievaluasi efektivitasnya. Yakni Solo, Yogyakarta dan Juanda Surabaya. Ketiga daerah itu kini telah memiliki infrastruktur untuk transportasi darat yang telah bagus dan cepat.
“Jarak bandaranya berdekatan dan perlu ditinjau keefektifannya. Termasuk bandara di kawasan timur Indonesia. Jaraknya dari luar negeri, terutama Singapura atau Kualalumpur sangat jauh dibanding BIM,” katanya.
Raseno menyontohkan Jepang yang hanya punya dua bandara internasional, tapi aksesnya bagus karena adanya kereta cepat dan jalannya lebar-lebar. “Itu semua perlu jadi aspek yang juga perlu dikaji,” imbuhnya.
Tokoh Pariwisata yang pernah menjadi Asdep Pemasaran Pariwisata Kemenpar ini lebih lanjut memberikan masukan kepada pemerintah jika ingin memperkuat dan menggairahkan penerbangan wisata domestik, tanpa harus menurunkan status bandara.
“Saya termasuk orang yang sangat senang jika pemerintah ingin meningkatkan traffic wisata domestik. Apalagi Sumbar tengah menggalakkan tahun kunjungan wisata, Visit Beautiful West Sumatra 2023. Untuk itu, tugas pertama pemerintah adalah memastikan harga tiket penerbangan dalam negeri bisa diturunkan. Kemudian, tingkatkan layanan di bandara dan kenyamanan pengunjung menuju destinasi wisata. Jadi, bukan malah menurunkan status bandara,” tuturnya.
Kemudian, lanjut Raseno, para wisatawan dari berbagai negara di dunia biasanya transit di Kualalumpur dan Singapura, sebelum terbang ke Indonesia. “Nah, agar ramai yang terbang ke BIM, tentu tugas pemerintah bersama pemerintah daerah dan stakeholders pariwisata yang membuat kebijakan sehingga lebih banyak maskapai yang mau masuk. Ya, misalnya bandara memberikan berbagai insertif agar maskapai bisa menekan cost-nya. Malaysia yang sekarang pertumbuhan ekonominya dua digit, bisa melakukan itu dan traffic luar negerinya tinggi,” kata Raseno.
Selanjutnya, kata Raseno, untuk pariwisata dan kuliner siapa saja di negeri ini tidak meragukan lagi begitu besarnya potensi Sumbar. “Akses orang dari luar negeri untuk berkunjung juga lebih dekat dibandingkan ke daerah-daerah lainnya di Indonesia yang memiliki potensi wisata bagus,” tukasnya.
Namun demikian, Raseno kembali mengingatkan daerah-daerah yang telah menjadikan pariwisata sebagai prioritas dalam menggerakkan perekonomian untuk lebih fokus dan serius. Di antaranya, memperbaiki dan memperlebar akses jalan-jalan menuju ke objek wisata, menarik investasi hotel-hotel berbintang, meningkatkan layanan homestay dan tempat-tempat kuliner.
“Jangan sampai, kita ingin menarik banyak kunjungan dan menggerakkan perekonomian daerah dari pariwisata, tapi orang yang berkunjung tidak nyaman karena jalannya banyak rusak dan sempit. Jangan sampai kita ingin meningkatkan pendapatan pajak hotel dan restoran, tapi layanannya tak ramah dan tidak bersih. Tentu ini tidak benar. Percuma bangun tempat wisata bagus kalau akses transportasinya jelek,” tandasnya.(esg)