in

“Keluarga Cemara” Difilmkan: Jujur dan Bersyukur

Barangkali masih ada yang ingat nama Keluarga Cemara. Saya menuliskan sebagai cerita serial, di tahun 1973 di majalah Bobo, lalu secara tetap di majalah Hai, di mana saya menjadi pengasuhnya.

Lalu, dibukukan oleh penerbit Gramedia, lalu diserialkan lewat televisi dengan judul yang sama, melalui RCTI dan, waktu itu, TV7. Tontonan tahun 90an, beberapa kali memenangkan Panasonic Awards, juga festival series di Bangkok. Kini, Keluarga Cemara akan difilmkan oleh Visinema Pictures.

Begitu keterangan pers yang menyebutkan, produksi ini memperlihatkan “tiga generasi” pembuat film. Visinema Pictures telah menggarap film, antara lain Filosofi Kopi I dan II, dengan produser Anggia Kharisma dan Gina S Noer—yang juga penulis skenario dan peraih Piala Citra.

Sutradara muda berbakat, Yandy Laurens, dan pemeran Abah-Emak: Agus Rahman dan Nirina Zubir, melengkapi susunan produksi. Kalau tak salah, akhir tahun ini diproduksi dan tahun depan bisa disaksikan di gedung bioskop.

Kenyataan ini membuat saya sejenak mengambil jarang. Cerita itu saya tulis 44 tahun lalu. Saya tulis karena saya kerja di grup majalah, dan gaji saya tidak ditambah karena saya membuat seri Keluarga Cemara, bersama dengan Imung, Kiki & Komplotannya, juga cerita silat Senopati Pamungkas.

Ini selalu saya jadikan contoh saat mengajar mengenai penulisan. Need for achievement, kebutuhan untuk berprestasi, harus datang dari diri sendiri.

Saat itu, saya belum tahu bahwa cerita pendek yang hanya tiga halaman itu ketika dikumpulkan menjadi beberapa judul, dan ketika diserialkan menjadi hampir 300 episode. Dan kemudian sekali, kali ini, diresmikan pembuatan dalam media film.

Ini selalu saya ingatkan pada mahasiswi- a, juga mereka yang berniat menekuni profesi menulis, bahwa bidang ini bisa berkembang, dan masih selalu dibutuhkan. Dalam industri perfilman, pertelevisian, perbukuan, dan periklanan.

Semua memerlukan kemampuan dan keterampilan menulis. Dan semua itu dicapai melalui latihan dan latihan, melalui pengalaman. Tak ada seseorang yang dilahirkan langsung menjadi penulis tenar—kecuali dengan berlatih, dengan banyak membaca sebelumnya.

Materi cerita bisa diperoleh, dieksplorasi dari mana saja, juga kehidupan sekitar kita, kehidupan seharihari. Apa yang kita alami semuanya menjadi unik— dalam arti orang lain belum tentu mengalami seperti yang kita alami.

Bahkan kalau itu cerita cinta—tetap ada beda satu dengan yang lain. Ketika menuliskan Keluarga Cemara yang mula-mula muncul dalam kepala saya adalah ingin membuktikan bahwa di masyarakat kita orang bisa mengandalkan hidup dari kejujuran.

Memang tidak mewah—justru karena terpancar kesederhanaan, tapi bisa hidup. Memang mungkin dianggap kurang dari segi materi, tapi bisa merasakan bahagia. Yang jelas keluarga yang optimistis. Yang mampu mengucap dan mengungkap syukur dalam segala hal.

Dan tidak menyesali sikap jujur. Saya melihat dan merasakan keluarga sebagai kekuatan penyatu— sinetron itu dibuat setelah saya keluar dari penjara, tahun 1995— dan barangkali masih bisa memberi inspirasi sebagai tontonan, sebagai hiburan.

Masih melihat bahwa anak-anak menaruh hormat pada orang tua, masih menemukan nilai persahabatan dengan temanteman. Nilai-nilai saya sungguh berharap tak lenyap dalam godaan duniawi. Nilai-nilai gemerlap, namun tampak sederhana yang ada dalam setiap keluarga.

Saya pernah menuliskan dalam lirik yang menjadi tema serial ini: Harta yang paling berharga adalah keluarga Puisi yang paling indah, adalah keluarga Mudah-mudan masih ada yang mendengar dan menangkap kekuatan yang ada dalam sebuah atau setiap keluarga. Dan menembangkan dengan bersenandung karena mengalaminya.

What do you think?

Written by Julliana Elora

Kekerasan dan Konstruksi Keagamaan Pasca-Peristiwa 1965

Aplikasi Android Ini Bisa Bikin Aplikasi Lewat Hp Android Tanpa Koding