Sawangan (ANTARA News Sumsel) – Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Hilmar Farid mengatakan memasukkan nilai budaya dalam pendidikan karakter bukan berarti menambah pelajaran seni dan budaya.
“Memasukkan nilai budaya dalam pendidikan karakter bukan berarti menambah pelajaran seni, tapi merujuk pada nilai tradisi. Misalnya, nilai gotong royong itu apa sih, apa kerja bakti saja,” ujar Hilmar dalam Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan (RNPK) 2018 di Sawangan, Jawa Barat, Kamis.
Penerapan nilai tradisi tersebut bisa dilakukan dalam mata pelajaran di sekolah. Hilmar memberi contoh untuk menyelesaikan soal matematika, maka seorang anak harus menyelesaikan tahapan pertama, kemudian anak lain tahapan kedua, selanjutnya anak ketiga menyelesaikan tahapan ketiga, begitu seterusnya sehingga anak-anak tersebut memiliki tanggung jawab untuk bersama-sama menyelesaikan persoalan dengan nilai gotong royong.
“Jadi nilai gotong royong itu tidak hanya dalam bentuk kerja bakti, tetapi menghidupkan kembali di lingkungan sekolah.”
Begitu juga untuk era digital, lanjut dia, nilai budaya tidak bertolak belakang dengan modernitas. Dengan perkembangan teknologi bisa menggunakan media seperti internet untuk saling tolong-menolong dan menyebarkan kebaikan.
Salah satu isu strategis yang dibahas dalam Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan (RNPK) 2018 adalah memasukkan kebudayaan dalam pendidikan karakter.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengatakan memasukkan nilai budaya dalam pendidikan karakter tidak serta-merta, melainkan akan sejalan dengan kurikulum sekolah.
“Nanti akan inheren dengan dengan kurikulum sekolah. Ini bukan proyek. Tapi seperti pesawat ruang angkasa, jadi kapsul yang digendong pesawat ulang-alik. Jadi bagian kurilum itu sendiri,” jelas Muhadjir.
Nantinya, aspek budaya akan tampak terutama dalam kegiatan ekstra kurikuler, yang mana pada setiap acara di lingkungan sekolah ada penampilan karya anak.
(T.I025/C. Hamdani)