Hari Rabu lalu (31/5), kembali terjadi banjir yang melanda banyak kawasan di Kota Padang. Banjir didahului oleh hujan lebat sejak tengah malam sampai pagi. Hujan yang sangat deras tersebut berlangsung lebih dari enam jam, mengakibatkan banyak kawasan di Kota Padang tergenang. Banyak jalan tidak bisa dilalui oleh kendaraan akibat cukup tingginya air menggenangi jalan raya.
Frekuensi banjir kali ini telah meningkat, termasuk intensitasnya. Tahun lalu, juga di bulan Mei terjadi banjir yang cukup besar. Rata-rata tiap tahun di Kota Padang terjadi banjir yang cukup besar.
Tapi, kali ini ikut tertimpa kawasan yang sebelumnya tidak pernah terkena banjir. Berikut ini penulis ingin menganalisa kenapa frekuensi banjir, serta intensitasnya meningkat, khususnya di Kota Padang.
Ada sejumlah variabel penyebabnya, di antaranya; intensitas dan durasi curah hujan, tingginya aliran air permukaan (surface run-off), kondisi vegetasi di daerah tangkapan hujan, kondisi drainase dan sungai, serta sedimentasinya. Apabila semua faktor penyebab banjir ini berkonvergensi, apalagi terjadi pasang laut yang tinggi, maka intensitas banjir akan tinggi pula.
Sekarang kita lihat kondisi faktor-faktor penyebab banjir yang disebutkan di atas. Pertama, akibat pemanasan global (global warming), terjadi peningkatan penguapan air laut. Penguapan air laut sebagai bagian dari siklus hidrologi menyebabkan frekuensi dan intensitas curah hujan juga meningkat. Pemanasan global terjadi karena meningkatnya ERK (Efek Rumah Kaca). Peningkatan ERK ini disebabkan oleh meningkatnya jumlah/konsentrasi gas-gas rumah kaca, utamanya CO2 di udara sebagai efek samping dari pemakaian bahan bakar fosil, seperti minyak bumi, batu bara dan gas.
Kedua, tingginya aliran air permukaan. Ini terjadi sebagai akibat dari alih fungsi lahan. Seperti kita ketahui bahwa di sebelah timur Kota Padang telah terjadi alih fungsi lahan yang cukup tinggi. Sejak dibukanya kampus Unand di Limaumanih dan jalan Bypass, maka berdirilah berbagai kompleks perumahan, dari yang bertipe sederhana sampai mewah.
Terlebih lagi dalam lima tahun belakangan ini, sejak pusat pemerintahan Kota Padang dipindahkan ke arah timur, yakni ke Aiepacah, untuk mengantisipasi dampak bila terjadi tsunami, maka banyak developer berlomba-lomba membangun rumah di daerah tangkapan hujan ini, disertai dengan promosi bebas tsunami.
Akibatnya air hujan terhalang untuk diserap oleh tanah karena tertutup bangunan, sehingga air hujan lebih banyak mengalir di permukaan sebagai surface run-off. Dua tahun terakhir, ketertutupan tanah dari penyerapan air hujan bertambah lagi dengan pembangunan jalan, khususnya jalur dua Bypass.
Jalur dua Bypass dengan panjang 20 km dan lebar 10 m menutup tanah seluas 200.000 m2 atau 20 ha. Belum lagi betonisasi jalan-jalan kampung/ kompleks, tentu juga telah mengurangi resapan air hujan ke dalam tanah.
Ketiga, degradasi vegetasi, terutama tanaman keras di daerah hulu. Persoalan degradasi vegetasi di hulu DAS sudah terbukti secara nyata seperti yang dilaporkan oleh berbagai media massa, setelah terjadinya galodo di Padang tanggal 24 Juli 2012 lalu. Ketika daerah tangkapan hujan terbuka akibat ditebangnya pohon-pohon besar, maka waktu hujan turun hampir semuanya mengalir di permukaan tanpa banyak yang masuk ke dalam tanah melalui akar-akar tanaman. Selain jumlah air hujan yang mengalir sangat banyak, ia juga menimbulkan erosi (mengikis permukaan tanah yang dilalui), lalu mengendapkannya di tempat lebih rendah.
Keempat, kondisi sungai yang mendangkal. Pendangkalan sungai disebabkan terjadinya erosi di daerah hulu dan tengah sungai, kemudian diendapkan di dasar sungai. Jumlah endapan ini semakin besar di daerah hilir (rendah). Akibatnya daya tampung sungai terhadap air hujan yang datang menjadi rendah, sehingga air mudah meluap.
Selain itu, perilaku masyarakat yang tinggal di pinggir-pinggir sungai menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan sampah juga turut menjadi andil terjadinya pendangkalan ini. Bahkan sebagian sampah ini terus ke muara dan Pantai Padang, sehingga Pantai Padang ikut menjadi kotor.
Kelima, kondisi drainase kota. Setelah cukup lama drainase Kota Padang tidak direhabilitasi, sejak dua tahun terakhir dilakukan rehabilitasi drainase di Kota Padang. Konstruksi drainase diperbarui, sebagian sambil ditambah dimensinya. Tapi, tetap saja ini belum cukup membantu banyak dalam pengurangan intensitas banjir. Sebab, faktor penyebab banjir lainnya meningkat intensitasnya. Seandainya drainase tidak direhabilitasi kemarin ini, genangan air mungkin lebih tinggi lagi.
Sedimentasi tidak saja terjadi di sungai, terutama di muaranya, tapi juga di darinase yang ada. Tingginya erosi di daerah hulu dan banyaknya sampah yang masuk ke dalam sungai dan drainase menyebabkan volume sungai dan drainase menjadi kecil, sehingga kapasitasnya untuk menampung air menjadi berkurang. Akibatnya, ketika hujan turun agak lama air cepat meluap dari sungai dan drainase.
Dari beberapa faktor penyebab yang penulis sebutkan di atas, untuk mengatasi persoalan banjir ini tentu kita harus mengatasi faktor penyebabnya satu per satu. Tapi, mengatasi faktor penyebab ini tidak bisa dilakukan oleh satu pihak atau level tertentu saja. Sebab, ada faktor penyebab yang bersifat global.
Misalnya tingginya intensitas curah hujan disebabkan pemanasan global, antara lain karena meningkatnya ERK terutama sebagai efek samping dari pemakaian minyak, gas dan batu bara. Ini persoalan dunia. Badan dunialah yang bertanggung jawab untuk mencarikan solusinya, misalnya dengan mendorong negara-negara maju untuk menemukan dan menggunakan sumber energi lain yang ramah lingkungan.
Faktor penyebab yang timbul di kota tentu dapat diupayakan diatasi oleh pemko. Tanggung jawab pemko dalam hal ini misalnya memperhatikan kondisi sungai dan drainase. Pastikan bahwa drainase dalam keadaan baik dan dikeruk secara periodik agar sedimen tidak menumpuk.
Kemudian, jangan sampai terjadi lubang aliran air ke drainase lebih tinggi daripada jalan, sehingga air hujan tergenang. Pastikan pula bahwa ukuran lubang cukup besar dan kawat/besi penyaringnya tidak tertutup sampah. Lubang drainase ini dapat dibersihkan tiap hari oleh petugas kebersihan kota yang bekerja setiap pagi.
Muara sungai juga perlu dikeruk secara rutin. Penulis yakin, cepatnya terjadi luapan sungai karena tingginya pendangkalan sungai akibat erosi dan endapan sampah yang dibuang oleh masyarakat.
Tingginya surface run-off (aliran air permukaan atau air larian) akibat alih fungsi lahan menjadi bangunan (rumah, kantor, tempat usaha, dan lainnya) tidak perlu disesali. Bagaimanapun, akibat meningkatnya jumlah penduduk kita tentu membutuhkan tambahan sarana untuk pemukiman, pendidikan, kantor, dan lainnya. Yang perlu diperhatikan adalah kawasan timur kota sebagai daerah tangkapan hujan harus dibatasi ketertutupannya oleh bangunan. Mungkin paling tinggi 40%. Selain itu, setiap bangunan apapun, termasuk rumah tinggi diwajibkan membuat sumur resapan. Agar maksud ini tercapai, maka Pemko perlu dibantu ahli yang membimbing secara teknis pembuatan sumur resapan tersebut.
Terakhir, degradasi vegetasi yang pernah terjadi akibat illegal logging di masa lalu harus terus diawasi reboisasinya. Mudah-mudahan dengan tumbuh suburnya kembali tanaman keras di hulu-hulu sungai air hujan lebih banyak yang masuk ke dalam tanah, mengisi aliran-aliran air bawah tanah, sehingga di musim hujan banjir berkurang, di musim kemarau kita tidak kekeringan. (*)
LOGIN untuk mengomentari.