Oleh: Lusia Novita Sari *)
Pada tanggal 24 Agustus 2022 Presiden Joko Widodo menerima kunjungan Raja Kerajaan Eswatini, Y.M. Raja Mswati III guna membahas upaya peningkatan kerja sama bilateral kedua negara, khususnya di bidang ekonomi. Untuk mewujudkan upaya dimaksud, pada tanggal 25 Agustus 2022 telah ditandatangani Nota Kesepahaman mengenai Penguatan Kerja Sama Bilateral antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Eswatini oleh Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi dan Menteri Luar Negeri Kerajaaan Eswatini Thulisile Dladla. Nota Kesepahaman ini tentunya akan membuka berbagai kesempatan peningkatan kerja sama ekonomi antara kedua negara.
Nilai perdagangan internasional antara Indonesia dan Kerajaan Eswatini pada tahun 2020 mencapai 3,2 juta Dolar Amerika Serikat (AS). Nilai tersebut relatif kecil jika dibandingkan dengan nilai perdagangan antara Indonesia dengan negara maju, seperti Amerika Serikat, Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Jepang, atau negara-negara anggota Uni Eropa. Kondisi ini disebabkan berbagai tantangan, khususnya terkait kondisi geografi Kerajaan Eswatini sebagai negara landlocked. Namun demikian, kerja sama antara Indonesia dengan Kerajaan Eswatini tetap penting dan memiliki berbagai potensi untuk dikembangkan. Menjaga hubungan bilateral yang baik dengan Kerajaan Eswatini dapat menjadi langkah strategis bagi Indonesia untuk menunjukkan komitmen dalam meningkatkan hubungan bilateral dengan negara-negara di kawasan Afrika, sekaligus untuk memperluas tujuan ekspor melalui penetrasi pasar nontradisional baru bagi produk-produk Indonesia. Hal ini sejalan dengan fokus diplomasi Indonesia di bawah kebijakan luar negeri bebas-aktif, sebagaimana diamanatkan pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Mengenal lebih jauh Kerajaan Eswatini
Bagi mayoritas masyarakat Indonesia, nama negara ‘Eswatini’ mungkin masih terdengar asing di telinga. Kerajaan Eswatini, yang sebelumnya bernama Kerajaan Swaziland, terletak di sebelah selatan Benua Afrika. Kota Mbabane merupakan ibu kota dan kota terbesar di Kerajaan Eswatini. Dengan luas wilayah 17.364 kilometer persegi dan jumlah populasi sebesar 1,1 juta penduduk, Kerajaan Eswatini merupakan salah satu negara dengan luas wilayah dan jumlah populasi terkecil di kawasan Afrika. Perubahan nama dari Kerajaan Swaziland menjadi Kerajaan Eswatini dilakukan oleh Y.M. Raja Mswati III pada tahun 2018 dalam rangka perayaan Hari Kemerdekaan ke-50 Kerajaan Eswatini sekaligus Hari Ulang Tahun ke-50 Raja. Nama ‘Eswatini’ sebenarnya merupakan nama asli negara tersebut sebelum dijajah oleh Inggris. Kerajaan Eswatini merupakan negara landlocked yang wilayahnya berbatasan dengan Afrika Selatan dan Mozambik. Y.M. Raja Mswati III telah memimpin negara Kerajaan Eswatini sejak tahun 1986.
Fakta menarik lainnya adalah, Kerajaan Eswatini perlahan melakukan transisi dari sistem monarki absolut ke monarki konstitusional. Setelah pemerintahan dilandaskan pada Dekrit Kerajaan, pada tahun 2005 Kerajaan Eswatini telah mengadopsi Konstitusi Kerajaan Eswatini. Pasal 1 Konstitusi dimaksud menyatakan bahwa Eswatini adalah kerajaan yang bersatu, berdaulat, dan berdemokrasi. Lebih lanjut Pasal 58 mengamanatkan bahwa tujuan politik Kerajaan Eswatini adalah menjadi negara demokratis yang berlandaskan prinsip-prinsip untuk memberdayakan dan mendorong partisipasi aktif seluruh lapisan masyarakat Kerajaan Eswatini dalam pemerintahan. Dalam sistem pemerintahan Kerajaan Eswatini terdapat pemisahan kekuasaan fungsi legislatif (sistem bikameral), eksekutif, dan yudikatif. Pemilihan legislatif dilakukan guna merepresentasikan 55 daerah administratif Kerajaan Eswatini yang dikenal dengan istilah Tinkhundla. Meskipun adanya kemajuan-kemajuan tersebut, kewenangan Raja masih sangat besar. Raja bisa menunjuk dan mengangkat Perdana Menteri, anggota kabinet, 10 (dari 65) anggota Parlemen, 20 (dari 30) anggota Senat, Hakim Agung (Chief Justice) dan hakim-hakim lainnya di Mahkamah Agung, serta Jaksa Agung. Selain itu, Raja juga memiliki kekebalan hukum, sebagaimana tercermin dalam Pasal 11 Konstitusi Kerajaan Eswatini.
Secara ekonomi, pada tahun 2021, produk domestik bruto (PDB) Kerajaan Eswatini tercatat senilai 4,94 miliar Dolar AS, relatif kecil jika dibandingkan dengan PDB Indonesia yang senilai 1,19 triliun Dolar AS. Produk ekspor utama Kerajaan Eswatini, antara lain, preparat bau-bauan (mixtures of odoriferous susbtances), industrial monocarboxylic fatty acids, dan gula olahan tebu. Sementara produk yang diimpor oleh Kerajaan Eswatini, antara lain, minyak petroleum, bahan baku industri, dan produk pangan hasil pertanian (jagung, beras, kedelai, dan legumes). Mengingat wilayahnya dikelilingi oleh wilayah Afrika Selatan, bisa dikatakan perekonomian Kerajaan Eswatini sangat bergantung dengan Afrika Selatan. Sekitar 82 persen produk yang diimpor oleh Kerajaan Eswatini berasal dari Afrika Selatan dan sekitar 61 persen produk ekspor Kerajaan Eswatini ditujukan ke Afrika Selatan. Hal ini menjadikan Afrika Selatan sebagai negara mitra dagang utama Kerajaan Eswatini.
Memiliki negara mitra dagang terbatas dan pasar yang cenderung didominasi oleh produk negara tetangga menjadi tantangan tersendiri bagi Kerajaan Eswatini sebagai negara landlocked. Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-18 Gerakan Nonblok yang diselenggarakan pada tahun 2019 di Baku, Azerbaijan, Y.M. Raja Mswati III menyampaikan dalam sambutannya bahwa Kerajaan Eswatini berkomitmen berpartisipasi dalam upaya kerja sama memajukan perekonomian global, namun demikian Kerajaan Eswatini membutuhkan bantuan dari negara lain, khususnya untuk mendukung kapasitas Kerajaan Eswatini dalam menyusun strategi mobilisasi sumber daya negaranya, serta berpartisipasi dalam rantai ekonomi global dan integrasi ekonomi kawasan. Meningkatnya eskalasi konflik global, seperti perang dagang antara Amerika Serikat dan RRT maupun invasi Rusia ke Ukraina, turut berkontribusi pada kenaikan harga komoditas global, khususnya komoditas pangan yang menjadi impor utama Kerajaan Eswatini.
Untuk itu, penting bagi Kerajaan Eswatini untuk mencari mitra dagang alternatif, dan salah satu mitra kerja sama yang potensial adalah Indonesia. Berdasarkan data World Bank, PDB Indonesia pada tahun 2021 mencapai 1,19 triliun Dolar AS, yang menjadikan Indonesia menduduki peringkat ke-16 negara dengan PDB terbesar di dunia. Dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat, Indonesia diprediksi akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-4 pada tahun 2050. Dengan pasar domestik yang sangat besar, tersedianya berbagai komoditas dan sumber daya manusia, serta pertumbuhan ekonomi yang stabil, Indonesia menarik bagi Kerajaan Eswatini. Selain faktor ekonomi, hubungan bilateral Indonesia dengan negara-negara di Afrika, termasuk Kerajaan Eswatini, juga dilandasi hubungan bersejarah ketika Indonesia memainkan peran penting dalam menginisiasi Konferensi Asia-Afrika (KAA) dan Gerakan Nonblok (GNB). Salah satu semangat yang diusung oleh kedua peristiwa bersejarah tersebut adalah mempromosikan perdagangan dan investasi negara-negara berkembang di kawasan Afrika dan Asia.
Sementara bagi Indonesia, kerja sama dengan negara-negara di kawasan Afrika, termasuk dengan Kerajaan Eswatini penting dilakukan utamanya di tengah ketidakpastian kondisi stabilitas politik dan ekonomi. Memperluas pasar nontradisional bagi ekspor Indonesia ke negara-negara di kawasan Afrika menjadi suatu pilihan dan kebutuhan, apalagi mengingat perekonomian regional kawasan Afrika diprediksi akan tumbuh.
Peluang Peningkatan Kerja Sama Bilateral
Hubungan bilateral Indonesia dan Kerajaan Eswatini sudah terjalin dengan baik sejak tahun 1991 dan hubungan diplomatik secara resmi dibuka pada tanggal 4 November 1993. Pelaksanaan tugas Perwakilan Indonesia untuk Kerajaan Eswatini dirangkap oleh KBRI Pretoria, Afrika Selatan, sementara perwakilan pelaksanaan tugas Perwakilan Kerajaan Eswatini untuk Indonesia dirangkap oleh Kedutaan Besar Kerajaan Eswatini di Kuala Lumpur, Malaysia. Kunjungan pada bulan Agustus 2022 bukan kunjungan pertama Y.M. Raja Mswati III ke Indonesia, melainkan kunjungan ketujuh. Sebelumnya Y.M. Raja Mswati III sudah 6 kali melakukan kunjungan ke Indonesia, yaitu pada tahun 2002, 2003, 2007, 2008, 2015 (dalam rangka menghadiri Peringatan Konferensi Asia-Afrika ke-60), dan 2019 (dalam rangka menghadiri Pelantikan Presiden Joko Widodo).
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, pada tahun 2021 nilai total perdagangan Indonesia dengan Kerajaan Eswatini tercatat sebesar 3,2 juta Dolar AS (eskpor Indonesia ke Kerajaan Eswatini sebesar 2,1 juta Dolar AS dan impor Indonesia dari Kerajaan Eswatini sebesar 1,1 juta Dolar AS). Peluang kerja sama bilateral Indonesia dan Kerajaan Eswatini cukup banyak yang dapat dieksplorasi. Dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman mengenai Penguatan Kerja Sama Bilateral antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Eswatini, kedua negara sepakat untuk berkomitmen membawa kerja sama yang telah terjalin selama ini ke tahap lebih tinggi. Indonesia dan Kerajaan Eswatini berkomitmen untuk mengembangkan kegiatan konkret dalam mempromosikan kerja sama ekonomi, memfasilitasi kemitraan antara sektor swasta kedua negara, mendorong keterlibatan sektor bisnis untuk mengeksplorasi peluang pasar, serta mempromosikan pengembangan kapasitas, berbagi pengetahuan, dan praktik terbaik. Sektor kerja sama prioritas berdasarkan Nota Kesepahaman tersebut adalah bidang perdagangan dan investasi, pertambangan, energi, perubahan iklim dan ekonomi hijau, pertanian, kerja sama infrastruktur dan pembangunan, kesehatan, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta pariwisata.
Salah satu peluang kerja sama yang dapat dieksplorasi, misalnya di bidang kesehatan, adalah ekspor vaksin. Dengan telah diresmikannya pabrik biofarmasi PT Etana Biotechnologies Indonesia sebagai pabrik vaksin COVID-19 berbasis mRNA pertama di Asia Tenggara, Indonesia dapat menjadi negara pengekspor vaksin ke negara-negara di kawasan Afrika, termasuk Kerajaan Eswatini. Selain itu, Indonesia dan Kerajaan Eswatini juga dapat menjajaki kerja sama di bidang pengobatan tradisional dan pelengkap (traditional and complementary medicine) menggunakan pendekatan pengobatan berbasis bukti (evidence-based). Indonesia dan Kerajaan Eswatini memiliki sumber daya tanaman obat dan herbal yang kaya. Diharapkan kerja sama yang terbentuk bukan sekadar perdagangan bahan baku tanaman obat, melainkan produk diversifikasi tanaman obat dan herbal, misalnya menjadi produk jamu, kosmetik, atau personal care. Saat ini perusahaan spa yang berasal dari Bojonegoro, Tirta Ayu, sudah beroperasi di Kerajaan Eswatini kurang lebih selama 3 tahun dan mendapat respons pasar yang baik. Rencana pengembangan bisnis Tirta Ayu untuk membangun training center dan pabrik produk personal care, kosmetik, serta minuman herbal di Kerajaan Eswatini, turut diangkat dalam pertemuan Presiden Joko Widodo dan Y.M. Raja Mswati III pada bulan Agustus 2022. Kerja sama ini tentunya tidak hanya sekadar meningkatkan nilai perdagangan barang dan jasa antara kedua negara, melainkan juga dapat mempromosikan kebudayaan dan produk kearifan lokal.
Selain kerja sama bilateral di berbagai bidang, Indonesia dan Kerajaan Eswatini juga dapat melakukan kerja sama secara triangular melalui mekanisme Kerja Sama Selatan-Selatan dan Triangular, maupun memanfaatkan mekanisme regional. Kerajaan Eswatini aktif menjadi anggota beberapa organisasi regional Afrika seperti African Union (AU), Common Market for Eastern and Southern Africa (COMESA), dan Southern African Development Community (SADC). Indonesia memiliki hubungan yang baik dengan organisasi-organisasi regional dimaksud. Salah satu bentuk kerja sama yang dapat dilakukan adalah kerja sama teknik untuk bertukar informasi dan pengalaman.
Tantangan dalam Peningkatan Kerja Sama
Meski peluang kerja sama antara Indonesia dan Kerajaan Eswatini sangat potensial, kerja sama kedua negara tentunya juga tidak luput dari tantangan, khususnya dalam hal peningkatan perdagangan bilateral kedua negara. Posisi geografis Kerajaan Eswatini sebagai negara landlocked menjadi tantangan tersendiri. Berdasarkan Office of the High Representative for the Least Developed Countries Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), perdagangan internasional dari dan menuju negara landlocked harus melalui prosedur yang lebih rumit, waktu yang lebih lama, dan biaya yang lebih mahal dikarenakan produk-produk ekspor dan impor tidak bisa langsung keluar/masuk ke wilayah negara tersebut, melainkan harus melalui transit di negara lain. Tantangan ini menjadi salah satu yang harus dihadapi oleh kedua negara. Sebagai salah satu solusi, Indonesia dapat memanfaatkan Persetujuan Perdagangan Preferensial (Preferential Trade Agreement/PTA) dengan Mozambik yang telah diratifikasi pada tahun 2021. PTA ini tidak hanya memfasilitasi penurunan tarif produk unggulan Indonesia untuk masuk ke pasar Mozambik, melainkan juga dapat dimanfaatkan menjadi jembatan menuju akses pasar yang lebih besar di kawasan Afrika, termasuk ke Kerajaan Eswatini melalui Pelabuhan Maputo, Mozambik.
Tantangan lainnya dalam perdagangan bilateral Indonesia-Kerajaan Eswatini adalah membangun kesadaran stakeholders, khususnya pelaku usaha ekspor, untuk meyakini bahwa negara-negara Afrika adalah pasar yang potensial. Masih kecilnya nilai perdagangan bilateral dengan negara-negara Afrika, termasuk Kerajaan Eswatini, tidak dipungkiri dari faktor bahwa pelaku usaha masih cenderung menjadikan negara-negara maju dengan pasar yang established sebagai tujuan utama ekspor. Bagi pelaku usaha, mencari mitra lokal, baik dalam hal produksi dan distribusi, lebih mudah dilakukan di pasar yang established. Sistem dan regulasi juga cenderung lebih jelas dan transparan di negara-negara maju. Oleh karena itu, selain membentuk perjanjian kerja sama perdagangan dengan negara mitra untuk mendorong penghapusan atau penurunan tarif, hal penting lainnya yang perlu dilakukan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perdagangan dan Kementerian Luar Negeri, adalah memfasilitasi pelaku usaha dalam negeri melakukan penetrasi ke pasar nontradisional di Kerajaan Eswatini maupun di negara-negara Afrika lainnya, salah satunya melalui identifikasi mitra lokal di negara tujuan maupun sosialisasi sistem dan regulasi yang berlaku.
Mewujudkan kerja sama yang lebih jauh dari sekadar kerja sama pemerintahan juga menjadi tantangan tersendiri. Hubungan bilateral antara Indonesia dan Kerajaan Eswatini perlu diekskalasi menjadi kerja sama yang mendekatkan dan membangun saling pengertian antara rakyat Indonesia dengan Kerajaan Eswatini. Hubungan bersejarah antara Indonesia dengan negara-negara di kawasan Afrika telah terbangun sejak pelaksanaan KAA dan GNB. Namun demikian, legasi dari hubungan ini hanya sekadar menjadi sejarah. Kedekatan emosional antarbangsa tidak lagi dirasakan generasi saat ini. Selain itu, dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat, RRT, atau Australia, peneliti atau pakar Indonesia yang memiliki spesialisasi pengetahuan tentang Afrika masih minim. Begitu pun minimnya pakar dari Kerajaan Eswatini ataupun negara Afrika lainnya yang memiliki spesialiasi pengetahuan tentang Indonesia. Apa lagi di level masyarakat akar rumput. Padahal kerja sama di level civil society dapat menjadi salah satu fondasi mewujudkan kerja sama bilateral yang setara dan saling pengertian.
Penguatan kerja sama bilateral antara Indonesia dan Kerajaan Eswatini merupakan salah satu langkah strategis untuk menunjukkan komitmen Indonesia dalam meningkatkan hubungan bilateral dengan negara-negara di kawasan Afrika, sekaligus untuk memperluas tujuan ekspor melalui penetrasi pasar nontradisional baru bagi produk-produk Indonesia. Namun demikian, kerja sama bilateral antara Indonesia dan Kerajaan Eswatini kiranya tidak hanya hubungan politik antarelit pemerintah dan hubungan dagang, melainkan juga mempererat kerja sama sosio-kultural yang menyentuh masyarakat kedua negara.
______________
*) Kepala Subbidang Hubungan Bilateral Afrika dan Timur Tengah, Asisten Deputi Bidang Hubungan Internasional, Kedeputian Polhukam, Setkab