Pemerintah berencana membentuk Dewan Kerukunan Nasional. Usai mengikuti sidang kabinet pertama di tahun ini, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Wiranto mengatakan, Dewan dibentuk untuk menuntaskan kasus-kasus dengan jalan musyawarah tanpa melalui proses hukum atau nonyudisial. Wiranto belum mau menyebut rincian kasus yang akan ditangani, termasuk berada di bawah siapakah koordinasi lembaga ini.
Tak jelasnya keterangan Wiranto itu membuat orang lantas mengasosiasikan dewan dengan penuntasan sejumlah kasus pelanggaran HAM berat yang hingga saat ini belum tunai. Sejak Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan, sejumlah langkah dan pertemuan dengan pihak terkait sudah digagas untuk menyelesaikan kasus-kasus itu. Termasuk penyelesaian baik melalui jalur hukum atau nonhukum. Luhut mendorong berbagai pihak baik pro dan kontra untuk menuntaskan kasus melalui pertemuan semacam Simposium Tragedi 65 yang digelar pada tahun lalu.
Tapi Wiranto memilih cara berbeda. Cara tertutup. KBR menghubungi Komnas HAM, korban pelanggaran HAM dan juga Kantor Sekretarit Presiden (KSP) untuk mendapat kejelasan tentang dewan itu. Nyaris semuanya senada, tak tahu apakah Dewan ini kelanjutan dari upaya penuntasan pelanggaran HAM yang diinisiasi di era Luhut.
Ketertutupan ini yang membuat orang jadi bersyak. Nama dewan mengandung kata kerukunan dan Wiranto menyebut jalan musyawarah, tapi bukan itu yang dia lakukan. Sejak tahun lalu korban pelanggaran 65 mengirim surat untuk beraudiensi dengan pemerintah. Alih-alih menemui, surat jawaban dari kantor Menkopolhukam September lalu malah menolak untuk menerima audiensi para korban pelanggaran HAM berat itu.
Bila menerima kunjungan saja enggan, bagaimana bisa bicara kerukunan, musyawarah dan menyelesaikan masalah? Wiranto sepatutnya mengubah pendekatan itu. Bukan zamannya pendekatan top down. Eranya adalah duduk bersama dan setara untuk mencari jalan keluar. Jalan keluar yang tak mengabaikan hak para korban dan tak melindungi para pelanggar HAM.